Kesederhanaan adalah Jalan Keselamatan

26/05/2024| IslamWeb

Allah—Subhânahu wata`âlâ—menciptakan manusia dan menjamin rezeki mereka. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya (rahim). Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfûzh)." [QS. Hûd: 6]

Merupakan tabiat manusia, apabila rezeki mereka diluaskan, mereka memakainya secara berlebihan hingga sampai pada taraf boros. Allah—Subhânahu wata`âlâ—menerangkan bahwa ini memang merupakan salah satu tabiat manusia, yaitu dalam firman-Nya (yang artinya): "Dan Jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat." [QS. Asy-Syûrâ: 27]. Juga dalam firman-Nya (yang artinya): "Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena ia melihat dirinya serba cukup." [QS. Al-`Alaq: 6-7]

Ketika syariat Islam datang membawa ajaran yang menjamin kebaikan dan kebahagiaan para hamba di dunia dan Akhirat, Syariat yang lurus ini memerintahkan pemeluknya untuk berlaku sederhana (tidak berlebihan) dalam segala hal. Termasuk dalam mempergunakan harta.

Makna Kesederhanaan

Yang kami maksud dengan kesederhanaan ini adalah sikap pertengahan antara dua kerusakan yang besar, yaitu sikap pelit dan boros. Seorang hamba hendaknya jangan menjadi orang yang pelit dan kikir terhadap diri sendiri dan keluarganya, serta tidak mau membantu orang yang membutuhkan. Namun di waktu yang sama, jangan pula menjadi manusia boros yang menghambur-hamburkan harta yang dianugerahkan Allah kepadanya untuk hal-hal yang tidak pada tempatnya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah engkau terlalu mengulurkannya (boros), karena itu akan membuatmu menjadi tercela dan menyesal." [QS. Al-Isrâ': 29]

Perintah Berlaku Sederhana di Dalam Al-Quran dan Sunnah

Oleh karena ajaran Islam tidak mungkin bertolak belakang dengan fitrah yang lurus, maka Agama ini pun telah memenuhi segala keperluan yang menjadi kebutuhan primer manusia. Syariat membolehkan manusia mengambil manfaat dari hal-hal yang baik, juga mempersilahkan manusia memberi keluasan fasilitas untuk diri, keluarga, bahkan seluruh manusia, dengan syarat tidak boleh berlebihan dan boros. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Makan dan minumlah, serta janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." [QS. Al-A`râf: 31]. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Makanlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah dengan tidak berlebih-lebihan dan berlaku sombong."

Ajakan kami untuk hidup sederhana dalam kehidupan dan nafkah bukanlah berarti mengharamkan hal-hal baik yang telah dihalalkan oleh Allah. Karena Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Katakanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?' Katakanlah: 'Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari Kiamat." [QS. Al-A`râf: 32]. Ajakan yang ingin kami sampaikan adalah ajakan untuk bersikap wajar dan moderat yang merupakan salah satu sifat Umat ini. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil (pertengahan)." [QS. Al-Baqarah: 143]

Kesederhanaan Adalah Jalan Keselamatan

Benar. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengajarkan kepada kita bahwa di antara faktor yang menyelamatkan diri kita adalah: "Sikap sederhana, baik dalam keadaan miskin maupun kaya." Oleh karena itu, beliau melarang kita menyia-nyiakan harta yang telah Allah berikan kepada kita. Tujuannya adalah agar kita tetap dapat menjaga kehormatan dan nama baik kita, serta tidak sampai menengadahkan tangan meminta-minta kepada orang lain. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (anak yatim yang belum balig) harta (mereka yang ada dalam pemeliharaanmu)." [QS. An-Nisâ': 5]

Individu atau negara yang tidak memiliki harta dan hidup di bawah garis kemiskinan tidak akan dihormati oleh orang atau bangsa lain. Dan salah satu jalan paling utama untuk menjaga nikmat harta ini adalah prinsip kesederhanaan dalam mempergunakannya, serta tidak berlebihan dalam belanja kehidupan. Ada ulama yang mengatakan, "Tidak pernah sikap boros terjadi pada sesuatu yang banyak melainkan pasti akan menghancurkannya. Sebaliknya tidak pernah perencanaan yang baik dilakukan terhadap sesuatu yang sedikit melainkan pasti akan mengembangkannya."

Tidak bergantung kepada orang lain adalah hal yang secara otomatis menjaga Agama dan kehormatan seorang hamba, sebagaimana dikatakan oleh Jibrîl—`Alaihis salâm—kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Ketahuilah, bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah dengan shalat malamnya, dan kehormatannya adalah dengan tidak bergantung kepada manusia lain." Dan ini tidak akan terjadi kecuali dengang berperilaku sederhana.

Perhatian Ulama Salaf Terhadap Harta

Karena ulama generasi salaf—Semoga Allah meridhai mereka—begitu memahami nilai kesederhanaan, kita melihat betapa mereka—dengan kezuhudan mereka terhadap dunia—sangat antusias bertindak sederhana (wajar) dalam membelanjakan harta. Mereka tidak menghambur-hamburkan harta yang diberikan Allah kepada mereka. Abu Bakar—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Sungguh aku sangat tidak suka terhadap sebuah keluarga yang menggunakan rezeki beberapa hari hanya untuk belanja satu hari."

Umar—Semoga Allah meridhainya—juga berkata, "Pemborosan dalam belanja hidup lebih aku khawatirkan terjadi pada kalian daripada kemiskinan. Karena sesuatu tidak akan berkurang jika disertai perbaikan, dan ia tidak akan tersisa jika disertai dengan perusakan."

Abu Ad-Dardâ` suatu ketika melihat biji-bijian berserakan di kamarnya, lalu ia memungutnya seraya berkata, "Sesungguhnya di antara bentuk kefakihan seseorang adalah adanya rasa kasihannya terhadap penghidupannya."

Suatu hari, sekelompok kaum yang harus membayar diyat mendatangi Qais ibnu 'Abâyah—salah salah seorang shahabat Nabi—untuk meminta bantuan. Mereka menemukannya sedang berada di kebunnya sedang memungut buah-buah yang jatuh, seraya memisahkan buah-buahan yang masih baik dengan yang sudah rusak. Setelah ia selesai melakukan itu, mereka mengajaknya berbicara. Lalu ia pun bersedekah membantu mereka. Sebagian dari mereka berkata, "Sedekah ini bertentangan dengan kesederhanaan hidupmu (memungut buah-buahan yang gugur)." Ia menjawab, "Tindakanku yang sempat kalian lihat itulah yang membuat aku dapat membantu kalian."

Seorang pujangga pernah berkata, "Orang yang mendidik anaknya di atas kesederhanaan sesungguhnya telah memberikan manfaat yang lebih besar bagi si anak daripada mewariskan harta berlimpah."

Kondisi Umat Mengharuskan Kesederhanaan yang Lebih

Seandainya Agama kita tidak menyuruh untuk berlaku sederhana dalam menggunakan harta, sebenarnya kondisi umat Islam yang terusir dan sengsara di berbagai tempat di penjuru dunia ini sudah cukup mendorong kita untuk meninggalkan sikap boros, lalu berperilaku wajar dalam berbelanja. Sikap itu berguna untuk membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan. Mereka bahkan tidak memiliki makanan untuk menghilangkan rasa lapar. Mereka juga tidak mempunyai pakaian untuk menutupi aurat mereka.

Semoga Allah menghapus penderitaan kaum muslimin dan memberikan kepada kita perilaku sederhana di dalam hidup, baik dalam keadaan miskin maupun kaya.

 

 

www.islamweb.net