Perbedaan yang Besar

12/03/2019| IslamWeb

berangkat menemui Syaikh Yusuf pada waktu yang telah disepakati, untuk ikut bersamanya menempuh pengembaraan ribuan mil dalam menguak makna komitmen beragama. Sepanjang perjalanan menuju tempat sang Syaikh, pikirannya dipenuhi oleh berbagai gambaran tentang makna komitmen beragama, tentang orang-orang yang komitmen dalam Agama, serta tentang karakter dan perilaku mereka. Gambaran-gambaran tersebut ada yang positif, tetapi juga ada yang negatif. Ia juga membayangkan bagaimana kira-kira jalannya dialog dengan Syaikh Yusuf nantinya.

Seperti biasa, Syaikh Yusuf datang tepat waktu. Lalu ia langsung menggandeng tangan Mu'âdz dan mengajaknya masuk ke mesjid. Setelah melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid, mereka berdua duduk untuk memulai perjalanan dialog ilmiah mereka. Berikut ini adalah isi pembicaraan mereka.

Mu'âdz memulai pembicaraan dengan menanyakan kabar Syaikh Yusuf. Dengan lembut dan senyum mengembang, Syaikh Yusuf menjawab, "Alhamdulillâh, Mu'âdz, kabar saya baik. Bagaimana dengan kabarmu?" Mu'âdz menjawab, "Alhamdulillâh, Syaikh, kabar saya juga baik."

Sambil tetap tersenyum, dan dengan nada bercanda, Syaikh Yusuf berbisik di telinga Mu'âdz, "Mu'âdz, apakah engkau masih ingin tahu tentang makna komitmen (ketaatan) beragama, ataukah keinginanmu itu sudah hilang disapu angin?" Mu'âdz menjawab dengan penuh kesungguhan, "Tentu, Syaikh, tekad saya untuk mengetahui hal itu masih tetap kuat. Kalau tidak, mana mungkin saya datang menemui Anda hari ini." Syaikh Yusuf tertawa kecil melihat kesungguhan Mu'âdz, lalu ia berkata, "Tentu, Mu'âdz, saya hanya sedikit bercanda denganmu."

Kemudian mimik wajah Syaikh Yusuf berubah serius. Ia berkata, "Baiklah, mari kita bersama-sama memulai perjalanan yang kita tunggu-tunggu ini untuk mengetahui makna komitmen beragama, agar kita tahu hakikatnya dan dapat menjelajahi kedalamannya."

"Wahai Mu'âdz pembicaraan kita tentang komitmen beragama ini akan kita bagi ke dalam beberapa fokus pembahasan:

1.    Hakikat makna komitmen.

2.    Sisi-sisi komitmen.

3.    Karakteristik komitmen.

4.    Rintangan-rintangan dalam berkomitmen.

Dalam setiap fokus pembahasan tersebut akan kita jumpai banyak poin yang akan menjelaskan dan memaparkannya."

Mu'âdz lalu menyahut dengan penuh antusias, "Baiklah Syaikh, segeralah kita mulai dengan pembahasan tentang hakikat komitmen itu. Saya dan juga banyak pemuda-pemuda yang lainnya tentu sangat membutuhkan pembahasan ini."

Syaikh Yusuf memandang Mu'âdz dalam-dalam, lalu berkata, "Baiklah Mu'âdz, tapi sebelumnya, saya akan bertanya kepadamu satu pertanyaan; Menurutmu, siapa orang yang paling komitmen dalam menjalankan agama Allah—`Azza wajalla?"

Mu'âdz sedikit menundukkan kepalanya, lantas mengangkatnya kembali setelah sejenak berpikir, seraya berkata, "Para shahabat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, bukankah begitu Syaikh?"

Syaikh Yusuf memandang Mu'âdz dengan penuh kekaguman, lalu berkata, "Tepat sekali Mu'âdz, para shahabat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah orang-orang yang paling komitmen menjalankan Islam, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan mereka. Oleh karena itu, kita mesti mengetahui apa perbedaan antara kita dengan mereka. Bukankah begitu Mu'âzd?" "Betul sekali Syaikh," sahut Mu'âdz.

Kemudian Syaikh Yusuf melanjutkan perkataannya, "Wahai Mu'âdz, perbedaan pertama adalah bahwa mereka berbeda dengan kita dalam satu hal yang sangat penting, yaitu dalam hal sumber yang mereka jadikan rujukan dalam urusan kehidupan mereka. Mereka hanya menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber rujukan mereka. Selain itu, dalam mengambil tuntunan dari sumber itu, mereka selalu berprinsip: 'Mengambil untuk dijalankan'."

Sembari menggelengkan kepalanya sebagai pertanda belum paham, Mu'âdz berkata, "Wahai Syaikh, saya belum memahami apa yang Anda katakan itu. Dapatkan Anda memberikan sedikit penjelasan lagi?"

Mendengar itu, Syaikh Yusuf tersenyum sambil berkata:

"Bersabarlah, saya akan menjelaskannya dengan detail. Coba engkau perhatikan hadits yang menguatkan pandangan saya ini. Suatu ketika, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—melihat Umar—Semoga Allah meridhainya—membaca beberapa lembaran kitab Taurat. Beliau sangat marah melihat perbuatan Umar itu, lantas beliau berkata kepadanya, "Apakah engkau masih ragu (dengan apa yang aku bawa) wahai Ibnul Khaththâb? Bukankah aku telah datang membawa (agama) yang putih bersih. Andaikan saudaraku Musa masih hidup, niscaya ia tidak punya jalan lain selain mengikutiku." [Menurut Al-Albâni: hasan]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menginginkan agar satu-satunya sumber rujukan bagi generasi shahabat di masa-masa awal pembentukan mereka adalah Kitab Allah (Al-Quran). Tujuannya adalah supaya mereka tunduk hanya kepada Kitab Allah saja, dan tegak berdiri hanya di atas tuntunannya semata. Oleh karena itulah beliau marah ketika melihat Umar—Semoga Allah meridhainya—melirik sumber rujukan lain selain Kitab Allah ini.

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menginginkan hal itu tetap berlaku bagi umat beliau hingga hari Kiamat. Namun takdir Allah berbicara lain. Umat Rasulullah telah mengambil jalan yang berbeda-beda sepeninggal beliau. Urusan kaum muslimin tidak lagi merujuk pada satu sumber, melainkan banyak sumber. Maka terjadilah apa yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Mereka mulai merujuk kepada sumber lain selain Kitab Allah. Mereka menjadikan filsafat dan logika Yunani, mitos-mitos dan paradigma kaum Persia, mitos-mitos kaum Yahudi dan Nasrani, serta berbagai produk peradaban yang gagal lainnya sebagai sumber rujukan mereka. Semua itu bercampur aduk dengan tafsir Al-Quran, Ilmu Kalam, Fikih, dan Ushul Fikih. Dengan fenomena seperti itu, generasi-generasi umat Islam berikutnya paska generasi shahabat merupakan generasi yang lahir dari produk–produk yang telah bercampur aduk itu. Sehingga kegemilangan generasi shahabat tidak mampu terulang kembali.

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah memperingatkan kita agar tidak mencampuradukkan berbagai konsep dan tuntunan hidup menjadi satu. Dalam sebuah hadits shahih, beliau pernah bersabda, "Sungguh kalian akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, dan sedepa demi sedepa, hingga jika mereka berjalan ke sarang biawak pun niscaya kalian akan mengikutinya." Para shahabat lalu bertanya, "(Apakah mereka yang Anda itu adalah) orang-orang Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab, "Siapa lagi."

Setelah mengetahui penjelasan seperti itu, barang kali kita tidak akan lagi merasa bingung ketika membandingkan kondisi generasi kita sekarang dengan generasi para shahabat dahulu yang merupakan generasi unggulan. Bagaimana mungkin kedua generasi itu dapat diserupakan, sementara sumber yang mereka jadikan rujukan berbeda satu sama lain?

Syaikh Ali Al-Qarni pernah berkata, "Orang yang objektif membandingkan antara kondisi umat kita pada masa awal dahulu—yang sekarang telah tersimpan dalam perut bumi dan buku-buku sejarah—dengan umat kita zaman sekarang yang masih eksis di atas permukaan bumi, ia pasti akan menjumpai perbedaan yang sangat mencolok antara keduanya. Hampir tidak ada keserupaan antara kedua generasi itu, kendati namanya sama. Jika kita ingin mengetahui sebab munculnya perbedaan yang mencolok itu, kita tidak perlu mencarinya jauh-jauh, karena ia dekat dengan kita. Sebab tersebut, demi Allah, tidak lain adalah karena umat Islam generasi awal selalu berpegang teguh kepada petunjuk Al-Quran. Hati mereka terikat dengan Al-Quran, dan mereka ridha menjalankan akhlak Al-Quran. Al-Quran telah mendidik mereka, menyucikan mereka, membersihkan diri mereka dari kotoran, menajamkan bakat mereka, mengasah kemampuan mereka, menguatkan tekad mereka, menjernihkan pemikiran mereka, dan menanamkan kebaikan dalam diri mereka."

Sumber yang dijadikan rujukan oleh para shahabat adalah sumber yang orisinil dan sempurna. Adapun sumber yang kita jadikan rujukan telah bercampur baur dengan adat, kebiasaan, tradisi, dan unsur-unsur lain yang salah satunya saja sudah cukup untuk mengotori kesucian sumber mulia itu, apalagi jika semuanya bercampur dan menyatu.

Ada sebuah kisah menakjubkan yang bisa dijumpai oleh para pembaca sirah Nabi. Sebuah kisah yang menunjukkan bahwa para shahabat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—benar-benar telah menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai satu-satunya sumber rujukan mereka.

Kisah itu diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih dari Abu Bakrah—Semoga Allah meridhainya,ia berkata, "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah berkhutbah di hadapan kami pada hari Nahr (Idul Adha). Ketika itu, beliau bertanya kepada kami, 'Tidakkah kalian tahu hari apa ini?' Kami menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu'. Beliau kemudian diam, sehingga kami mengira bahwa beliau akan menamainya dengan nama lain. Lalu beliau bersabda, 'Bukankah hari ini adalah hari Nahr?' Kami menjawab, 'Benar'. Lalu beliau bertanya lagi, 'Bulan apakah ini?' Kami menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu'. Beliau kembali diam, sehingga kami mengira bahwa beliau akan menamainya dengan nama lain. Lalu beliau bersabda, 'Bukankah ini bulan Dzulhijjah?' Kami menjawab, 'Benar'. Kemudian beliau bertanya lagi, 'Negeri apakah ini?' Kami menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu'. Beliau kembali diam, sehingga kami juga mengira bahwa beliau akan menamainya dengan nama lain. Lalu beliau bersabda, 'Bukankah ini adalah Tanah Suci?' Kami menjawab, 'Benar'. Selanjutnya beliau bersabda, 'Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah 'haram' (dimuliakan) di antara kalian, seperti 'haram' (mulia)-nya hari ini, pada bulan ini, di negeri ini, sampai waktu kalian bertemu dengan Tuhan kalian. (Dengan ini) apakah aku telah menyampaikannya?' Mereka menjawab, 'Ya'. Lalu beliau bersabda, 'Ya Allah, saksikanlah (bahwa aku telah menyampaikannya). Hendaknya orang yang hadir memberitahukan hal ini kepada yang tidak hadir, sebab bisa jadi orang yang mendengar dari orang kedua lebih paham daripada orang yang mendengar secara langsung. Dan janganlah kalian sepeninggalku kembali kepada kekafiran, hingga saling membunuh satu sama lain." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Perhatikanlah ungkapan yang berbunyi, "Sehingga kami mengira bahwa beliau akan menamainya dengan nama lain." Mereka sama sekali tidak merasa keberatan seandainya Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—merubah nama hari yang sudah mereka kenal sejak ribuan tahun yang lalu itu. Bahkan mereka juga tidak keberatan seandainya beliau merubah nama bulan dan nama negeri tempat mereka dibesarkan.

Demikian menakjubkan kesempurnaan sikap tunduk mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, wahai Mu'âdz, agar kita dapat seperti mereka dan dapat mengikuti jejak mereka, pertama-tama kita harus kembali kepada sumber orisinil yang selama ini menjadi sumber rujukan mereka, yaitu sumber yang dijamin kemurniannya, yang tidak akan bercampur atau pun tercemar oleh apa pun juga. Mari kita kembali kepada sumber itu untuk membangun pemahaman kita tentang hakikat eksistensi makhluk secara keseluruhan, hakikat eksistensi manusia, dan hubungan antara kedua eksistensi tersebut dengan keberadaan Dzat Yang Maha Sempurna, Allah—Subhânahu wata`âlâ. Dan dari sana kita membangun pemahaman kita tentang hidup, akhlak, sistem pemerintahan, politik, ekonomi, dan semua elemen-elemen kehidupan lainnya."

Mu'âdz, apakah engkau sudah paham?" Syaikh Yusuf bertanya. Mu'âdz menjawab dengan tegas, "Ya, Syaikh Yusuf, saya sudah paham semuanya."

Syaikh Yusuf melanjutkan penjelasannya:

"Ada satu hal lagi yang membedakan antara kita dengan generasi unggulan tersebut selain perbedaan sumber rujukan, yaitu perbedaan prinsip ketika mengambil ajaran dari sumber rujukan itu.

Prinsip mereka ketika membaca Al-Quran adalah bahwa mereka melakukan hal itu tidak hanya dimaksudkan untuk menambah wawasan atau demi kesenangan hati belaka. Mereka membaca Al-Quran bukan sekedar untuk memperbanyak bekal wawasan di kepala. Namun mereka membaca untuk mengetahui hukum Allah yang berlaku atas diri mereka, atas anggota masyarakat mereka, dan atas lingkungan di mana mereka hidup, untuk kemudian mengamalkannya ketika itu juga.

Ya, itulah yang disebut dengan prinsip, "Mengambil untuk dijalankan". Kita membaca Al-Quran dan Sunnah bukan malah untuk menjadi beban yang kelak memberatkan diri kita, melainkan untuk dijalankan dalam ranah yang nyata. Kita mengambil konsep dari Al-Quran adalah untuk difungsikan sebagaimana tujuan diturunkannya, yaitu menjadi pedoman hidup bagi semua kalangan.

Oleh karena itu, para shahabat tidak pernah menghafal/mempelajari Al-Quran dalam jumlah yang banyak dalam satu majelis. Karena mereka merasa bahwa itu berarti semakin memperbanyak beban dan kewajiban yang harus mereka jalankan ketika itu. Biasanya mereka hanya mencukupkan 10 ayat saja dalam satu waktu, sehingga mereka dapat benar-benar menghafalnya dan mengamalkannya. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud—Semoga Allah meridhainya.

Dengan prinsip seperti ini (keinginan mengambil untuk diamalkan), terbukalah bagi mereka pintu kenikmatan dan jendela ilmu pengetahuan dari Al-Quran. Sesuatu yang tidak akan dapat mereka raih jika mereka membaca Al-Quran hanya dengan tujuan studi, kajian, dan penelaahan saja. Prinsip itu pula yang membuat mereka mudah untuk mengamalkannya, serta merasa ringan menjalankan berbagai kewajiban yang terkandung di dalamnya. Al-Quran pun kemudian menyatu dalam diri mereka, sehingga mereka mampu merealisasikannya di dalam diri mereka dan di dalam realita hidup mereka. Mereka mampu menjadikan Al-Quran sebagai konsep hidup yang terus bergerak dalam ranah yang nyata, sehingga tidak hanya menjadi penghuni alam pikiran dan lembaran-lembaran mushaf saja. Al-Quran dapat mereka ejawantahkan menjadi sebuah fenomena luar biasa yang mengubah arah perjalanan hidup manusia.

Jadi, wahai Mu'âdz, engkau tidak akan pernah menjadi orang yang benar-benar komitmen memegang agama Allah kecuali jika engkau telah memiliki dua prinsip itu, yaitu hanya merujuk kepada sumber hakiki (Al-Quran dan Sunnah), dan mengambil ajaran dari sumber itu untuk langsung dijalankan.

Milikilah dua prinsip ini, niscaya engkau akan menjadi orang yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—ketika menggambarkan manusia-manusia yang berprinsip seperti itu, "Orang ini tidak terbelenggu oleh satu bentuk dan ikatan apa pun (selain ridha Allah). Apa yang diamalkannya bukanlah apa yang sesuai dengan seleranya, melainkan apa yang dikehendaki oleh Tuhan-nya, meskipun sebenarnya ada aktivitas lain yang lebih membuatnya senang. Pakaiannya adalah apa yang tersedia. Makanannya adalah apa yang ada. Kesibukannya adalah menunaikan apa yang diperintahkan oleh Allah pada waktunya. Ia tidak terbelenggu oleh satu bentuk amal tertentu, tidak diperbudak oleh satu ikatan tertentu, dan tidak dikuasai oleh satu simbol apa pun. Ia beramal dengan merdeka, sesuai dengan tuntunan yang diperintahkan kepadanya. Ia disukai oleh setiap orang yang baik, dan dijauhi oleh semua pendosa. Ia bagaikan hujan, di mana pun turun, ia membawa manfaat. Ia seperti pohon kurma yang tidak rontok daunnya, dan seluruh bagiannya bermanfaat, sekalipun durinya. Ia berlaku tegas terhadap orang-orang yang suka menyalahi aturan-aturan Allah. Ia akan marah ketika hukum-hukum Allah dilanggar. Ia adalah milik Allah, berbuat karena Allah, dan senantiasa bersama dengan Allah. Alangkah merasa asingnya ia di tengah manusia. Namun alangkah dekatnya ia dengan Allah. Alangkah besar kegembiraan, ketenangan, dan ketenteramannya bersama Sang Pencipta."

Perasaan antusias Mu'âdz mencapai puncaknya mendengarkan penuturan Syaikh Yusuf itu, sehingga ia berkata, "Sungguh perkataan yang indah, wahai Syaikh Yusuf. Karakter dan prinsip apa lagi yang dimiliki oleh orang yang komitmen menjalankan agama Allah?"

Lalu Syaikh Yusuf berkata sembari tersenyum, "Hari ini kita akan cukupkan pembahasan sampai di sini dulu. Praktik dari apa yang kita dapatkan dalam pembahasan ini lebih penting daripada hanya sekedar teori belaka."

Mu'âdz pun membalas senyuman Syaikh Yusuf sembari berkata, "Apa yang harus saya lakukan sekarang, wahai Syaikh Yusuf?"

Sambil meluruskan duduknya, Syaikh Yusuf menjawab dengan nada yang tegas, "Wahai Mu'âdz, yang dituntut darimu adalah bahwa dari sekarang engkau harus mulai melihat kembali segala gerak gerik hidupmu, apakah sudah sejalan dengan standar dan pemahaman baru yang kita sepakati hari ini, ataukah belum? Engkau harus melihat kembali segala urusan hidupmu, apakah sumber rujukan dalam urusan-urusanmu itu adalah Al-Quran dan Sunnah, ataukah tradisi dan kebiasaan? Apakah dalam belajar agama, prinsip yang engkau gunakan adalah mengambil pelajaran untuk dijalankan, ataukah hanya sekedar untuk didengarkan saja?"

Setelah mendengar penjelasan Syaikh Yusuf tersebut, Mu'âdz pun lalu bangkit berdiri dan berkata, "Baiklah Syaikh Yusuf, sampai jumpa lagi di waktu mendatang, insyâallâh."

"Insyâallâh, Mu'âdz, semoga engkau selalu berada dalam lindungan Allah—Subhânahu wata`âlâ," balas Syaikh Yusuf mengakhiri pertemuan mereka hari itu.

[Sumber: www.islammemo.cc]  

 

www.islamweb.net