Cahaya Terakhir

13/03/2019| IslamWeb

Saya seorang istri yang memiliki seorang putra dan seorang putri. Sejak memulai kehidupan bersama suami saya, kami hidup lapang dan berkecukupan. Sepanjang kehidupan perkawinan saya, saya menggunakan jasa sekian banyak pengasuh dalam mengasuh anak-anak saya. Namun masing-masing dari mereka tidak pernah tinggal bersama saya lebih dari dua bulan. Mereka semuanya lari karena tidak tahan menghadapi kekejaman suami saya yang memang bertabiat kasar. Ia begitu "kreatif" membuat berbagai macam siksaan untuk setiap pengasuh yang bekerja pada kami. Dan saya tidak menyangkal bahwa kadang-kadang saya juga ikut menyertainya melakukan itu.

Ketika anak perempuan saya telah berusia tujuh tahun dan anak laki-laki saya telah duduk di bangku SMP, datanglah berkunjung ke rumah kami seorang petani kenalan suami saya dengan membawa putrinya yang berumur tujuh tahun. Suami saya pun menyambutnya dengan sombong dan angkuh.

Si petani yang sederhana itu mengatakan bahwa ia datang membawa putrinya untuk bekerja pada kami dengan imbalan dua puluh pound Mesir dalam sebulan. Kami pun setuju.

Si petani lalu meninggalkan putrinya. Anak perempuan itu pun menangis keras sembari memegangi baju jubah ayahnya. Namun lelaki itu tetap pergi dengan berlinang air mata.

Si gadis kecil itu memulai kehidupannya yang baru bersama kami. Ia selalu bangun pagi-pagi sekali untuk membantu saya menyiapkan makanan untuk kedua anak saya. Kemudian ia membawa tas-tas sekolah, membawanya turun ke jalan, dan terus berdiri bersama kedua anak saya sampai keduanya dibawa bus sekolah. Setelah itu, ia kembali ke apartemen untuk menikmati sarapannya yang biasanya berupa fûl (sejenis kacang-kacangan yang masak seperti bubur) tanpa minyak, ditambah roti yang mulai membusuk. Kemudian ia mulai melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah: membersihkan rumah, mengepel, membeli sayuran, dan memenuhi semua panggilan kami sampai tengah malam. Barulah setelah itu ia tergolek di lantai bagai orang terbunuh, dan terlelap tidur. Dan ketika ada sedikit saja tersalah, lupa, atau menunda pekerjaan yang diperintahkan, suami saya biasa menghujaninya dengan pukulan yang sangat keras. Namun ia menanggung semua pukulan itu sembari menangis dan sabar. Meskipun demikian, ia sangat amanah (bisa dipercaya), bersih, dan tulus kepada majikannya. Ia bisa merasa senang dengan hal-hal yang sangat sederhana.

Meski saya akui bahwa saya biasa menyertai suami saya dalam berlaku keras dan menyiksa para pembantu kami, tetapi terhadap gadis kecil ini saya merasa iba karena budi baik dan ketundukannya. Saya pun kemudian meminta suami saya agar tidak memukulnya. Tetapi ia menjawab, "Sesungguhnya golongan manusia semacam ini tidak ada gunanya mendapat perlakuan yang baik."

Si gadis kecil itu terus menanggung siksa dalam diam dan sabar. Sampai pun ketika tiba hari raya dan kedua anak saya keluar rumah dengan penuh riang gembira, si gadis kecil yang malang itu tetap bekerja bersih-bersih dan mencuci tanpa mengeluh.

Sementara ayahnya, kami hanya melihatnya beberapa kali saja ketika ia datang untuk mengambil gaji putrinya itu. Selanjutnya ia mengutus salah seorang kerabatnya untuk menerima upah bulanan putrinya. Si gadis kecil itu juga tidak pernah melihat ibu dan saudari-saudarinya kecuali hanya tiga kali: Pertama, ketika kakak laki-lakinya yang paling tua meninggal dunia. Kedua, ketika ia menderita penyakit menular dan kami khawatir kedua anak kami tertular penyakit itu, sehingga kami mengungsikannya ke kampung halamannya. Dan ketiga, ketika ayahnya meninggal dunia.

Sekarang, saya selalu menangis setiap kali teringat kejamnya hukuman kami kepadanya bila ia melakukan kesalahan apa pun. Suami saya pernah menyetrumnya dengan kabel listrik!! Dan sering sekali kami tidak memberinya makan malam di malam-malam yang dingin menggigit, sehingga ia pun melewati malam dalam kondisi kelaparan. Seingat saya, selama bertahun-tahun ia tidak pernah tidur malam tanpa menangis!!

Anda pasti bertanya-tanya, mengapa ia begitu kuat menanggung semua siksa tersebut dan tidak berusaha melarikan diri dari neraka kami.

Saya jawab, ketika gadis itu mendekati usia remaja, suatu hari ia keluar rumah untuk membeli sayuran, dan ia kemudian tidak kembali ke rumah. Suami saya lantas bertanya kepada penjaga gerbang apartemen kami tentang gadis itu. Ia mendapatkan informasi bahwa sudah sejak lama gadis itu selalu berbincang-bincang dengan seorang pemuda yang bekerja pada sebuah toko daging di jalan yang sama dengan apartemen kami itu. Ada kemungkinan ia telah sepakat dengan pemuda itu untuk menikah, sehingga pemuda itu bisa mengangkatnya keluar dari kehidupan yang kejam ini.

Tetapi belum lewat seminggu, pengaruh suami saya mampu mendatangkannya kembali dari tempat persembunyiannya. Ketika ia kembali, kami pun menyambutnya dengan dengan berbagai jenis siksaan. Suami saya menyetrumnya dengan listrik dan anak laki-laki saya ikut  menendangnya dengan keras. Hanya putri saya yang tidak ikut menyiksa. Ia merasa sedih atas apa yang diperbuat terhadap pembantu yang malang itu.

Kembalilah si gadis malang itu kepada kehidupannya yang penuh kesengsaraan bersama kami, dan ia pun pasrah menerima nasibnya. Jika ia melakukan kesalahan atau menunda suatu pekerjaan sebentar saja, suami saya akan memukulnya dengan keras. Bila kami keluar rumah untuk berlibur,  kami biasa meninggalkan untuknya sisa-sisa makanan minggu itu. Kemudian perlahan-lahan, kami mulai melihat gelas-gelas dan piring-piring sering jatuh dari kedua tangannya, dan ia seringkali tersandung ketika berjalan. Kami lalu memeriksakannya ke dokter. Dokter menegaskan kepada kami bahwa pandangannya telah sangat lemah dan tidak dapat melihat benda yang ada di bawah kakinya. Artinya, ia hampir buta. Namun meskipun demikian, kami tidak juga mengasihaninya. Ia masih saja harus melakukan semua pekerjaan rumah dan pergi keluar untuk membeli sayuran dari pasar. Seringkali saya menamparnya bila ia kembali dari pasar dengan membawa sayur-sayuran yang tidak segar. Istri penjaga gerbang apartemen kami pun merasa iba kepadanya. Ia lalu membelikan gadis itu sayur-sayuran supaya terhindar dari pemukulan kami.

Kondisi ini terus berlangsung selama beberapa waktu. Selanjutnya, pada suatu hari, si gadis itu keluar dari rumah setelah ia betul-betul buta, dan ketika itu tidak kembali lagi. Namun kali ini kami tidak lagi peduli untuk mencarinya.

Tahun demi tahun berlalu. Suami saya pun memasuki masa pensiun dan kehilangan jabatan dan pengaruhnya. Anak laki-laki saya lulus kuliah, bekerja, dan kemudian menikah. Kami bahagia atas pernikahannya. Kebahagiaan kami terasa sempurna ketika kami mengetahui bahwa istrinya hamil. Setelah bulan-bulan kehamilan berlalu, istrinya pun melahirkan. Namun kami terkejut saat mengetahui bahwa ternyata si bayi buta, tidak bisa melihat. Sebuah kejutan yang sangat menyakitkan bagi kami. Kegembiraan pun berubah menjadi kesedihan. Kami memeriksakan si bayi ke dokter-dokter, namun tidak ada gunanya. Anak laki-laki saya dan istrinya pun pasrah menerima realita yang ada. Kami memasukkan cucu kami ke tempat pengasuhan anak-anak tuna netra. Dan menantu perempuan saya memutuskan untuk tidak hamil lagi karena takut bencana seperti itu akan terulang.

Tetapi para dokter berusaha menenangkan dan mendorongnya untuk hamil lagi. Kami juga ikut memotivasinya. Ia pun kemudian hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Dokter pun menyampaikan kabar gembira kepada kami bahwa si bayi bisa melihat  seperti anak-anak lainnya. Kami pun merasakan kebahagiaan luar biasa karenanya. Tujuh bulan kemudian, kami mencermati penglihatan anak itu hanya terfokus ke satu arah, tidak beralih dari sana. Kami pun memeriksakannya ke dokter spesialis mata. Sang dokter mengejutkan kami dengan kenyataan yang lebih menyakitkan, yaitu bahwa si bayi hanya dapat melihat secercah cahaya dan dapat segera kehilangan penglihatannya. Suami saya kemudian terserang kondisi psikis yang merusak hari-harinya. Ia membenci segala sesuatu. Para dokter menyarankan agar ia dimasukkan ke klinik psikiatris untuk mengobatinya dari depresi.

Hati saya tersekat. Tiba-tiba saja saya teringat si gadis malang yang lari dari neraka kami dalam keadaan buta setelah melalui masa sepuluh tahun bersama kami, di mana selama itu ia merasakan segala macam derita; setruman listrik, pemukulan, penghinaan, dan tidak mendapatkan haknya. Saya pun semakin panik. Apakah ini hukuman dari langit untuk kami atas apa yang telah kami perbuat terhadap gadis malang itu?!

Bayangan gadis yatim yang kami abaikan pengobatannya dan telah kami buat menjadi buta itu selalu menghantui saya dalam kesendirian. Sambil berharap Tuhan mengampuni semua yang kami lakukan, saya berusaha menemukan gadis malang itu untuk menebus segala yang pernah kami perbuat terhadap dirinya.

Setelah mencari-cari dan bertanya-tanya tentang gadis itu, kami mengetahui bahwa ia bekerja sebagai pembantu di sebuah mesjid. Saya pun pergi menemuinya dan membawanya untuk tinggal bersama saya di sisa-sisa kehidupan saya. Meskipun kenangannya bersama kami demikian pahit, namun ia senang melihat saya mencarinya dan ingin mengajaknya kembali. Ia ternyata tetap menjaga hubungan yang tidak pernah kami jaga itu. Ia pun kembali bersama saya, sembari meraba-raba jalanan, sementara saya memegang tangannya. Gadis itu pun lalu menetap bersama kami. Saya pun merawat bahkan melayaninya dan kedua cucu saya yang juga tuna netra. Harapan dan doa saya, semoga Allah mengampuni perbuatan-perbuatan saya di masa lalu.

Saya ingin mengatakan kepada semua orang yang tidak memiliki kasih sayang di hatinya, "Sesungguhnya Allah Mahahidup, tidak pernah tidur. Karenanya, janganlah kalian bertindak kejam kepada siapa pun. Akan datang suatu hari di mana kalian akan menyesali apa yang telah kalian perbuat pada waktu kalian kuat dan berkuasa."

Saya harap kisah ini memberikan pelajaran kepada semua orang dalam memperlakukan orang lain, khususnya para pembantu, para pekerja, dan orang-orang semacam mereka.

 

 

[Surat Kabar "Al-Ahrâm" Mesir, tanggal 15/1/1991 M. Disadur dari buku "Kamâ Tadînu Tudânu" (Sebagaimana Engkau Berbuat, Seperti Itu Pula Engkau akan Mendapatkan Balasannya)]

 

 

www.islamweb.net