Hati yang Bersih

13/03/2019| IslamWeb

Abu Fahd, seorang rekan kerja yang telah berumur sekitar 50 tahun. Pada suatu malam, untuk merayakan kepindahannya ke rumah baru, ia menyelenggarakan jamuan makan malam untuk rekan-rekan sejawat. Tapi apa yang terjadi? Ah, andai saja saya tidak memenuhi undangan itu. Allah Mahatahu bahwa saya sungguh menyesali kepergian saya ke jamuan itu. Silakan Anda simak bagaimana ceritanya agar Anda tahu mengapa saya menyesal.

Rekan-rekan malam itu telah berkumpul, lalu pergilah kami ke rumah sahabat kami itu. Di antara kami ada yang telah lanjut usia dan ada juga yang masih muda. Banyak sekali teman-teman yang hadir memadati majelis jamuannya itu. Tiga orang putranya (Muhammad, Anas, dan Mu'âdz) mengambil posisi di ujung ruangan.

Semula Abu Fahd menuangkan kopi dengan riang, tertawa-tawa penuh suka cita. Kemudian datanglah saat yang menentukan itu, yang mengubah kondisi dirinya. Mengubah kegembiraannya menjadi kesedihan. Dan saya telah membuatnya menangis, tanpa saya tahu apa yang disembunyikan oleh pria berusia lima puluh tahun itu.

Saya merasa tidak enak melihat Abu Fahd menuangkan kopi. Seorang pria yang sudah berumur menuangkan kopi untuk kami yang masih muda-muda. Saya tidak biasa melihat hal itu di lingkungan saya. Saya bangkit dan bersikeras kepadanya agar sayalah yang menuangkan kopi. Tetapi ia malah bersumpah dan memaksa saya agar duduk. Dengan agak emosi, saya pun berkata kepadanya, "Mana Fahd? Kenapa ia tidak datang menemui orang-orang dan membantu ayahnya?" Saya memang tidak tahu-menahu tentang Fahd, kecuali bahwa Fahd adalah putranya yang tertua. Karena itulah, ia disebut Abu Fahd.

Saya baru saja pindah kantor. Saya belum tahu berbagai rahasia rekan-rekan sejawat saya atau apa saja privasi mereka. Bagi saya, mereka ibarat kotak-kotak yang tertutup. Saya tidak tahu apa pun tentang kehidupan pribadi mereka.

Ketika saya bertanya tentang Fahd, semua yang hadir tidak bersuara tentang putra sulung sahabat kami itu. Paras muka Abu Fahd pun berubah. Hilanglah senyumannya. Lidah-lidah pun menjadi kelu. Saya sadar, bahwa saya telah menghadirkan suasana duka. Lalu saya pun terdiam.

Abu Fahd memalingkan mukanya setelah meletakkan cerek di atas meja. Ia keluar dari majelis itu diikuti oleh ketiga orang putranya. Saya menoleh ke arah rekan-rekan saya yang duduk di samping saya.

Saya bertanya, "Ada apa sebenarnya?"

Salah seorang rekan menjawab, "Fahd sudah meninggal dunia. Engkau mendatangkan suasana duka."

"Kapan?" tanya saya lagi.

"Sepuluh tahun yang lalu," jawabnya.

Hah?! Sepuluh tahun?! Dan ia masih saja mengingatnya. Betapa halusnya hatimu, wahai Abu Fahd.

Abu Fahd kembali setelah melepaskan semua yang mengganjal dalam dirinya. Sisa-sisa tangisan masih tampak jelas di wajahnya. Kami pun menyantap hidangan makan malam. Dan saya bertekad untuk tetap tinggal di situ sampai tamu terakhir pergi, untuk meminta maaf kepadanya.

Begitulah, ketika rekan terakhir sudah pergi, saya mendekati Abu Fahd dan berkata, "Saya minta maaf. Saya tidak tahu kalau Fahd sudah meninggal dunia. Inilah takdir. Dan ini adalah jalan yang juga akan dilalui oleh semua makhluk yang bernyawa."

Abu Fahd menoleh ke arah saya dan berkata, "Tidak apa. Tidak perlu engkau meminta maaf. Kenangan tentang Fahd memang tidak akan pernah hilang."

Saya berkata, "Tapi, wahai Abu Fahd, sepuluh tahun berlalu dan engkau masih saja menangisinya. Di manakah keimanan Anda terhadap takdir?"

Ia menjawab, "Saya beriman kepada takdir. Kesedihan saya bukan karena kematiannya. Saya juga kehilangan seorang putri bersamanya dalam suatu kecelakaan, saat kami hendak kembali ke Riyadh dari Abha, di suatu liburan musim panas. Tetapi saya tidak menangisinya seperti saya menangisi Fahd. Fahd wafat dalam keadaan sedang menangis. Ia wafat setelah saya memarahinya. Ia wafat setelah saya memukulnya. Ia wafat sebelum saya mendekapnya. Saya belum menghibur hatinya kembali."

Ternyata, waktu itu, Abu Fahd beserta keluarganya datang dari Abha. Fahd saat itu berusia sepuluh tahun. Ia bermain-main di bangku belakang dan membuat ayahnya terganggu. Abu Fahd tidak tahan lagi. Tali ikatan sorbannya pun ia turunkan. Ia lalu memukul Fahd dengan keras. Fahd menangis, dan sang ayahnya pun merasa sedih. Walaupun ikut sedih, tapi Abu Fahd berkata di dalam hatinya, "Aku akan membuat hatinya senang kembali nanti di Riyadh."

Kecelakaan itu pun terjadi, saat Fahd masih menangis terisak-isak. Fahd dan seorang bayi perempuan meninggal dunia. Sedang anggota keluarga lainnya luka-luka. Mereka dibawa ke Riyadh dengan memakai pesawat evakuasi medis.

Abu Fahd berkata, "Andai ia hidup kembali walau hanya sesaat. Ia waafat ketika penyesalan begitu menyesak di dadaku. Aku hanya ingin mendekapnya dan mengusap air matanya. Aku beriman kepada ketetapan dan takdir Allah. Namun, penyesalan itu masih saja menggelayut di hatiku. Ia wafat dengan membawa hati yang luka. Ia wafat bersama tangisan. Ia wafat tanpa sempat aku dekap ke dadaku dan tanpa sempat aku hibur hatinya. Andai saja hari-hari yang lalu bisa kembali lagi."

******

Kita kadang-kadang bersikap keras terhadap orang yang kita cintai. Dan kita selalu mengatakan bahwa perjalanan hari-hari cukup untuk dapat membuat mereka senang kembali. Sementara kita tidak pernah tahu, bahwa kematian barangkali mempunyai pandangan yang lain.

Salah seorang kerabat saya misalnya. Ibunya meninggal dunia dalam keadaan marah kepadanya. Sang ibu meninggal dunia saat ia menunda-nunda dengan berkata, "Besok saya akan membuat hati beliau senang kembali." Sang ibu ternyata meninggal sebelum besok!!

Penyesalan pun terus menggelayut di dadanya sejak kematian sang ibunda. Dan rasa sesal itu tidak akan meninggalkannya kecuali bersama kematian.

******

Seorang suami keluar dari rumahnya setelah istrinya membuatnya marah. Padahal dengan cara sederhana sudah cukup untuk membuat gunung kemarahan sang suami kembali meleleh. Namun rasa gengsi membuat sang istri enggan melakukan itu!

Ia berkata, "Aku akan menyembunyikannya sampai ia kembali." Tetapi, sang suami ternyata keluar dan tidak pernah kembali lagi!!

******

Seorang istri ditinggalkan oleh suaminya di rumah. Lalu sang istri meninggal dunia dengan membawa derita. Sang suami keluar rumah Karena sikap keras kepala mendorongnya agar tidak segera membuat hati sang istri senang kembali.

Ia kembali ke rumah, dan berdiri di ambang pintu. Ia menyembunyikan setangkai mawar beludru untuk sang istri. Namun, ketika ia masuk, ia menemukan sang istri sudah terbaring di tikar kematian.

******

Seorang anak durhaka membanting pintu dengan kuat, dan di belakangnya terlihat seorang ibu tengah menangis, atau seorang ayah yang meratap pedih. Sang anak melakukan itu demi memperturutkan keinginan kawan-kawannya, sehingga ia menunda untuk segera bersimpuh mencium kedua telapak kaki ayah dan ibunya demi mendapat ridha dan maaf mereka. Ia menutup pintu, sementara ia berkata kepada dirinya sendiri, "Ketika aku pulang nanti, aku akan berusaha menyenangkan kembali ayah dan ibu." Namun ia baru kembali saat seseorang menyampaikan berita kematian mereka berdua.

******

Sebuah pesan untuk saya, Anda, dan semua manusia yang masih berhati bersih: Ingatlah selalu! Jangan pernah membuat marah orang terkasih, kemudian menunda untuk membuatnya senang kembali sampai esok hari!

Para pembaca yang budiman! Terlepas dari nyata atau tidaknya cerita di atas, ia sesungguhnya mengisahkan realita yang terjadi pada banyak kasus. Karenanya, jangan jadikan diri Anda salah satu dari kasus-kasus itu.

 

 

www.islamweb.net