Perang Sampai Mati Menghadapi Tiga Musuh Abadi

13/03/2019| IslamWeb

Oleh: Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—berkata dalam pendahuluan bukunya, "Al-Wâbilush Shayyib":

"Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dan memilihnya dari seluruh makhluk yang ada di bumi. Allah jadikan hatinya sebagai gudang iman, tauhid, keikhlasan, cinta, rasa malu, serta kesadaran akan keagungan dan pengawasan-Nya. Jika semua itu ada pada diri manusia, Allah akan membalasnya dengan ganjaran yang paling baik dan paling sempurna, yaitu kesempatan menatap wajah-Nya, meraih keridhaan-Nya, serta menjadi penghuni Surga-Nya.

Di sisi yang lain, Allah menguji manusia dengan syahwat, amarah, dan kelalaian. Allah juga mengujinya dengan sang musuh, yaitu Iblis yang tidak pernah bosan menggodanya. Iblis senantiasa berusaha masuk melalui nafsu dan tabiat manusia itu sendiri. Nafsu manusia akan cenderung suka mengikuti bisikan Iblis, karena Iblis menggodanya dengan sesuatu yang memang disenanginya. Dengan demikian, berpadulah tiga kekuatan: Iblis, hawa, dan nafsu dalam mengendalikan si manusia. Ketiga musuh yang tidak terlihat ini menyuruh anggota tubuh untuk melampiaskan keinginan mereka. Bila sudah demikian, tubuh tiada lain merupakan alat yang tidak bisa berbuat apa-apa selain patuh. Inilah gambaran kondisi tiga kekuatan itu, dan demikianlah situasi yang dihadapi anggota tubuh manusia. Anggota tubuh senantiasa tunduk kepada semua perintah dan arahan yang diinginkan oleh ketiga kekuatan itu. Beginilah keadaan yang harus dihadapi oleh seorang manusia (ketika ketiganya berkuasa).

Namun dengan rahmat-Nya, Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang memutuskan untuk menolong manusia dengan pasukan dan amunisi lain dalam menghadapi musuh yang ingin menghancurkannya itu. Allah mengutus rasul-Nya, menurunkan kitab-Nya, dan menguatkan hamba-Nya dengan keberadaan Malaikat agung untuk menghadapi Syetan, musuhnya. Ketika Syetan memerintahkan kepadanya untuk melakukan maksiat, sang Malaikat menyuruhnya melaksanakan perintah Allah. Malaikat itu menjelaskan kepadanya betapa kehancuran akan menimpanya jika mengikuti perintah musuh.

Demikianlah, suatu saat, bisikan Syetan datang mengunjunginya, dan di saat yang lain, bisikan Malaikat mengingatkannya. Orang yang menang hanyalah orang yang ditolong oleh Allah—`Azza wajalla. Dan orang yang terpelihara hanyalah orang yang dijaga oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ.

Di samping nafsu al-ammaârah (yang selalu menyuruh kepada keburukan), Allah juga memberi manusia nafsu al-muthma`innah (yang tenang dan suka kepada kebaikan). Seandainya nafsu al-ammârah menyuruhnya melakukan keburukan, nafsu al-muthma`innah mencegahnya. Ketika nafsu al-ammârah mencegahnya melakukan kebaikan, nafsu al-muthma`innah tampil untuk menyuruhnya melakukan itu. Manusia kadang kala mengikuti nafsu al-ammârah, dan di lain waktu tunduk kepada nafsu al-muthma`innah. Ia akan dikendalikan oleh nafsu yang berhasil mengalahkan lawannya di antara dua nafsu itu. Boleh jadi salah satu dari dua nafsu itu kalah untuk selamanya, sehingga tidak bisa bangkit lagi.

Di samping hawa (keinginan buruk)—yang selalu mendorong untuk mengikuti Syetan—dan juga nafsu amarah, Allah juga memberi manusia cahaya nurani, mata hati, dan akal yang mencegahnya berjalan mengikuti hawa nafsu. Setiap kali ia bergerak mengikuti kehendak hawa nafsunya, ketika itu, akal, mata hati, dan nuraninya akan berseru, "Jangan! Jangan! Sesungguhnya yang ada di depanmu adalah kehancuran dan kesengsaraan. Engkau akan dimangsa oleh para pencuri dan penyamun jika engkau berjalan mengikuti jalan ini."

Manusia kadang kala mengikuti nasihat hatinya, sehingga ia berjalan ke arah yang benar dan baik. Tetapi di lain waktu, ia mengikuti kehendak hawa nafsunya, sehingga ia pun 'dirampok', harta dan pakaiannya dirampas. Saat itu, ia akan tersadar dan berkata, 'Oh, dari mana mereka masuk kepadaku?'

Aneh, ia tahu dari arah mana ia didatangi oleh pencuri dan penyamun itu. Ia mengenal jalan yang berisi para penyamun jahat di dalam hidupnya, namun ia tetap mau melewati jalan itu. Sebabnya adalah karena si penunjuk jalan ke arah itu (yaitu hawa nafsu) sudah sukses menguasai dirinya. Seandainya ia mau menundukkan nafsu itu dengan melanggar perintahnya, mengancamnya saat ia mengajak ke jalan bahaya itu, serta melawannya saat ia berusaha menarik kepada keburukan, niscaya ia akan mampu mengalahkannya. Namun yang ia lakukan justru sebaliknya. Ia mengokohkan posisi nafsu itu di dalam dirinya, ia ulurkan tangannya. Ia tidak ubahnya seperti orang yang menyerah kepada musuh, lalu si musuh menyiksanya dengan kejam. Ia meminta tolong, namun tidak ada yang mau menolong. Beginilah keadaan seorang hamba yang menyerah kepada Syetan, hawa nafsu, dan nafsu al-ammârah-nya, kemudian ingin menyelamatkan diri, tetapi ternyata tidak lagi mampu keluar dari penjara itu.

Ketika seorang hamba diuji dengan sebuah cobaan, ia juga dibantu dengan keberadaan bala tentara, senjata, dan benteng-benteng. Dikatakan kepadanya, 'Perangi dan lawanlah musuhmu! Ambillah bala tentara ini sesuka hatimu. Gunakanlah senjata ini sekehendakmu. Dan berlindunglah engkau di dalam benteng mana pun yang engkau sukai. Kemudian berperanglah hingga mati. Karena ujung perjuangan ini sangat dekat, dan pertempuran ini akan segera berakhir. Engkau kemudian ibarat berhubungan dengan seorang raja paling agung yang mengirim utusan untuk menjemputmu. Para utusan itu membawamu ke istana sang raja. Saat itu, engkau tidak lagi akan merasakan kesusahan. Antara engkau dan musuhmu akan dipisahkan. Saat itu, engkau diberi kebebasan hidup di rumah kehormatan yang dapat engkau kitari sesuka hatimu. Sedangkan musuhmu akan dikekang di dalam penjara yang sangat mencekam, dan engkau dapat melihatnya. Penjara yang dulu ia ingin agar engkau tempati, sekarang telah menjadi tempat tinggalnya. Pintu-pintu penjara itu telah dikunci. Ia telah putus asa untuk dapat keluar dari sana. Tidak ada lagi harapan untuk memperoleh pertolongan. Sedangkan engkau, saat itu bebas melakukan apa saja yang engkau mau. Hatimu pun telah tenteram. Ini semua adalah balasan atas kesabaranmu dalam rentang masa yang singkat itu, serta kesiagaanmu untuk senantiasa berjuang. Hanya sesaat saja, dan semuanya akan segera berakhir. Seakan kesulitan yang engkau alami tidak pernah ada'."

[Al-Wâbilush Shayyib, hal. 31]

www.islamweb.net