Jauhilah Fitnah

01/05/2023| IslamWeb

Kata fitnah memiliki banyak makna, walaupun pada asalnya bermakna ujian dan cobaan. Kata fitnah bisa bermakna kekaguman (keterpedayaan) terhadap sesuatu. Fitnah juga memiliki makna pertikaian dan peperangan yang terjadi antar manusia dalam mencari kesenangan duniawi atau kekuasaan.

Makna-makna di atas dan juga beberapa makna lainnya dari kata fitnah terdapat di dalam Al-Quran. Namun fitnah yang dimaksud di sini adalah suatu kondisi yang menimpa seseorang atau sebuah kelompok, berupa kehancuran atau penurunan standar keimanan secara drastis, atau berbentuk kegoncangan dalam barisan umat Islam.

Jenis-Jenis Fitnah dan Cara Mengatasinya

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—mengatakan bahwa Fitnah ada dua macam: Pertama, fitnah syubhat. Dan ini adalah fitnah yang paling berbahaya. Kedua, fitnah syahwat. Terkadang kedua jenis fitnah ini terkumpul dalam diri seseorang. Dan ada kalanya seseorang ditimpa oleh salah satunya saja.

Fitnah syubhat disebabkan oleh lemahnya mata hati dan kurangnya ilmu, apalagi jika kedua hal itu dibarengi dengan niat yang buruk dan dominasi hawa nafsu. Di situlah terjadi fitnah (musibah) yang terbesar dan bencana paling dahsyat. Segala keburukan akan terjadi ketika kesesatan niat disetir oleh hawa nafsu, dibarengi pula oleh lemahnya mata batin dan minimnya ilmu tentang ajaran yang dibawa oleh Rasul. Orang yang mengalami hal seperti inilah yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang disebutkan Allah dalam firman-Nya (yang berarti): "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka…" [QS. An-Najm: 23]

Fitnah yang satu ini akan berujung pada kekufuran dan kemunafikan. Ia adalah fitnah yang menjangkiti orang-orang munafik dan para ahli bid'ah, sesuai dengan tingkat bid'ah mereka. Semua mereka itu sesungguhnya membuat bid'ah karena berangkat dari pengaruh syubhat, sehingga di mata mereka terdapat kerancuan dalam definisi kebenaran dan kebatilan, begitu juga antara hidayah dan kesesatan. Tidak ada yang selamat dari fitnah ini kecuali orang yang tulus mengikuti Rasulullah dan menjadikan beliau sebagai hakim dalam semua perkara agama, baik dalam hal yang kecil maupun yang besar, zahir maupun batin, aqidah maupul amal perbuatan, hakikat maupun syariat-syariat, dengan cara menerima dari beliau semua hakikat iman dan syariat Islam.

Bentuk kedua dari fitnah adalah fitnah syahwat. Allah—Subhânahu wata`âlâ—menggandengkan penyebutan kedua jenis fitnah ini dalam firman-Nya (yang artinya): "(Keadaan kalian, wahai orang-orang munafik dan musyrik), adalah seperti keadaan orang-orang sebelum kalian. Mereka lebih kuat daripada kalian, harta dan anak-anak mereka juga lebih banyak daripada milik kalian. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kalian juga telah menikmati bagian kalian." [QS. At-Taubah: 69]. Maksudnya, mereka telah menikmati jatah mereka dari kehidupan dunia dan syahwat duniawi. Allah—Subhânahu wata`âlâ—kemudian melanjutkan, "Dan kalian membicarakan (hal yang batil) sebagaimana mereka membicarakannya." [QS. At-Taubah: 69]. Maksud pembicaraan yang batil di sini adalah syubhat.

Dalam ayat ini, Allah mengisyaratkan kerusakan hati dan agama yang diakibatkan oleh menikmati "bagian" dan membicarakan perkara yang batil. Karena kerusakan Agama bisa datang dengan meyakini dan memperbincangkan kebatilan atau dengan melakukan perbuatan yang berlawanan dengan ilmu yang benar. Bentuk yang pertama adalah bid'ah dan sejenisnya, sedangkan bentuk yang kedua adalah perbuatan fasik.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa fitnah syubhat dapat dihilangkan dengan keyakinan yang benar. Sedangkana fitnah syahwat harus diberantas dengan kesabaran. Oleh sebab itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—menggantungkan kepemimpinan dalam Agama kepada dua hal ini. Hal itu disinyalir dalam firman-Nya (yang berarti): "Dan Kami jadikan di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan meyakini ayat-ayat Kami." [QS. As-Sajdah: 24]

Ayat ini menunjukkan bahwa dengan kesabaran dan keyakinan, kita bisa meraih kepemimpinan dalam Agama. Dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, kita bisa menolak fitnah syahwat, dan dengan kesempurnaan mata hati dan keyakinan, kita bisa menolak fitnah syubhat. Wallahul musta`ân.

Penyebab Seseorang Terjatuh ke Dalam Fitnah

Faktor utama yang menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam fitnah adalah adanya kesiapan di dalam hati untuk menerima fitnah. Hal itu sebagaimana disinyalir dalam sebuah hadits: "Fitnah-fitnah akan didatangkan ke dalam hati manusia. Dan hati yang berhasil dirasuki oleh fitnah itu akan diteteskan satu titik hitam."

Di samping itu, juga karena adanya kesiapan untuk berusaha keras mengundang fitnah tersebut. Dalam sebuah hadits shahîh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Orang yang berjalan di dalam fitnah itu lebih baik daripada orang yang berlari. Barang siapa yang mendekat kepadanya niscaya akan ditenggelamkannya."

Perkara yang paling merangsang munculnya fitnah adalah perbincangan mulut. Imam Al-Qurthubi ketika menjelaskan penyebab munculnya sekian banyak fitnah mengatakan bahwa fitnah itu "dimulai dengan berbohong di hadapan para pemimpin yang zalim, begitu pula dalam menyampaikan berita kepada mereka. Hal seperti itu terkadang malah membangkitkan murka dan pembunuhan, melebihi tumbuhnya fitnah itu sendiri."

Betapa banyak fitnah besar terjadi karena seseorang membangun sikapnya atas dasar informasi yang salah. Hal itu seperti yang terjadi pada dua shahabat yang mulia, Abu Bakar dan Umar—Semoga Allah meridhai mereka. Yaitu ketika Abu Bakar mengusulkan penunjukan seorang laki-laki sebagai pemimpin utusan Bani Tamîm, sementara Umar mengusulkan laki-laki yang lain. Abu Bakar berkata kepada Umar, "Engkau hanya ingin berbeda denganku." Umar membantah, "Aku tidak ingin berbeda denganmu." Suara mereka kemudian meninggi di hadapan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Bahkan perawi hadits mengtakan, "Hampir saja kedua orang pilihan ini terjerumus ke dalam kecelakaan."

Perkara yang paling berbahaya dalam memunculkan fitnah adalah mengedepankan pandangan akal di atas hukum Syariat. Imam Al-Bukhâri meriwayatkan bahwa Sahal Ibnu Hanif berkata, "Wahai manusia, tuduhlah (anggap kelirulah) pendapat akal kalian di hadapan Agama kalian."

Kadang kala Anda berusaha menghindari fitnah, namun orang-orang penyebar fitnah itu malah mengejar Anda, sedangkan Anda tidak suka membicarakannya. Terkait hal ini, Abud Dardâ'—Semoga Allah meridhainyapernah berkata, "Jika engkau mengkritik, mereka juga akan mengkritikmu. Jika engkau meninggalkan mereka, mereka tidak akan meninggalkanmu. Jika engkau lari dari mereka, mereka akan mengejarmu."

Boleh jadi kesediaan Anda menerima amanah kepemimpinan yang sebenarnya tidak mampu Anda jalankan bisa menjadi penyebab fitnah bagi Anda dan orang-orang di sekitar Anda. Oleh sebab itu, Amru ibnul 'Âsh—Semoga Allah meridhainyamenyampaikan keluhannya yang sangat dalam saat ia meninggal. Ia teringat masa hidupnya bersama Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Ia berkata, "Seandainya saat itu aku meninggal, niscaya kaum muslimin akan mengatakan, 'Selamat untuk 'Amru. Ia telah masuk Islam, dan ia dalam kebaikan, lalu meninggal dunia, sehingga diharapkan ia akan masuk Surga'. Namun kemudian aku harus bergelimang dengan kekuasaan dan berbagai hal, aku tidak tahu, apakah yang selama ini aku lakukan adalah kebaikan atau malah keburukan bagiku…"

Jika Anda dalam posisi sebagai panutan atau sebagai pemimpin, jangan bebani orang lain dengan sesuatu yang tidak sanggup mereka pikul, agar Anda tidak malah membuat fitnah (bencana) untuk mereka. Ketika Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—tahu bahwa Mu'âdz ibnu Jabal—Semoga Allah meridhainya—memanjangkan bacaan saat mengimami shalat, beliau bersabda kepadanya, "Wahai Mu'âdz, apakah engkau pembuat fitnah?!"

Dalam sebuah khutbah, Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Ketahuilah! Janganlah kalian memukul kaum muslimin, sehingga dengan itu kalian menghinakan mereka. Janganlah kalian memenjarakan mereka tanpa bukti sehingga dengan itu kalian membuat fitnah untuk mereka. Janganlah kalian menghalangi hak-hak mereka, sehingga dengan itu kalian mengkafirkan mereka."

Menyibukkan diri dengan berbicara tanpa beramal sering mendatangkan berbagai fitnah dan masalah. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah berkata, "Jika manusia telah meninggalkan jihad fi sabilillah, berarti Allah telah menguji mereka dengan menebarkan permusuhan antar mereka, sehingga terjadi fitnah (kekacauan) antar mereka—seperti yang kita alami." Dalam sebuah pepatah dikatakan, "Pasukan yang mengalami pengangguran (tidak ada pekerjaan) sangat mahir membuat kekacauan."

Di antara efek buruk fitnah adalah membuat lupak orang-orang yang terjebak di dalamnya akan kebenaran yang mereka ketahui dan aturan yang selama ini mereka patuhi. Ketakwaan orang yang terjebak ke dalam fitnah akan menjadi ringan dan Agamanya akan menjadi tipis. Oleh sebab itu, dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa ketika sekelompok orang diusir dari telaga beliau di Akhirat kelak, sementara beliau mengira bahwa mereka adalah bagian dari umat beliau, dikatakanlah kepada beliau: "Engkau tidak tahu bahwa mereka telah kembali surut ke belakang (meninggalkan ajaran Islam)." Ibnu Mulaikah, perawi hadits ini berkata, "Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari tindakan mundur ke belakang (murtad) dan terkena fitnah (perpecahan)."

Dalam hadits yang berbicara tentang pertanyaan Hudzaifah tentang keburukan, disebutkan bahwa Hudzaifah bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah maksud masa 'hudnah 'alad dakhn' (damai di tengah dengki)?' Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Hati sekelompok kaum tidak akan kembali kepada kondisinya semula." Penyarah hadits berkata, "Maksudnya, hati mereka tidak akan bersih dari kedengkian dan amarah, seperti pada masa sebelumnya."

Anda akan dapat melihat betapa seseorang yang cerdas tidak tahu untuk apa ia gunakan akalnya saat terjadi fitnah. Ibnu Hajar—Semoga Allah merahmatinya—menyampaikan sebuah hadits dari Ibnu Abi Syaibah dalam Bab "Fitan". Dalam hadits tersebut dikatakan: "Kemudian terjadi fitnah yang bergejolak seperti gelombang lautan, yaitu (kondisi di mana) manusia menjadi seperti binatang-binatang." Yakni, seakan mereka tidak lagi memiliki akal. Hal itu dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy'ari: "Akal kebanyakan manusia pada zaman itu telah hilang."

Ketika menjelaskan anjuran untuk ber-isti'adzâh (meminta perlindungan kepada Alah) dari fitnah, bahkan bagi seorang yang tahu bahwa ia berada dalam posisi yang benar sekalipun, Ibnu Hajar menjelaskan alasannya, yaitu: "Karena fitnah bisa saja mendatangkan keburukan yang tidak terbayangkan."

Di antara bahaya terbesar dari terjerumusnya seseorang ke dalam fitnah (perpecahan) adalah hilangnya pengaruh nasihat terhadap dirinya. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa salah seorang saudara Abu Musa Al-Asy'ari bergegas ikut ke dalam fitnah (kekacauan) yang terjadi di tengah kaum muslimin. Abu Musa lalu melarangnya, namun ia mengabaikan larangan tersebut. Abu Musa pun berkata, "Aku mengira bahwa cukup bagimu sedikit nasihat dariku, tidak seperti yang aku lihat sekarang."

Orang yang terlibat dalam fitnah juga akan meremehkan maksiat (dosa). Abdullah ibnu Umar pernah berkata, "Dalam kondisi fitnah, membunuh bukanlah sesuatu yang engkau lihat sebagai masalah besar."

Langkah Selamat dari Fitnah

Di antara perkara yang menyelamatkan kita dari fitnah adalah mengalah dan merelakan hak di dunia, meskipun bersabar dalam hal ini merupakan perkara yang sulit diterima oleh jiwa manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan: "Orang yang bahagia adalah orang yang menghindari fitnah—sebanyak tiga kali, dan orang yang diuji lalu bersabar dengan terang." [HR. Abî Dâwûd]

Barang siapa yang dikelilingi oleh fitnah dan tidak ada jalan lain baginya untuk melepaskan diri, hendaklah ia segera lari menyelamatkan Agamanya dari fitnah tersebut, atau hendaklah ia memperbanyak ibadah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Ibadah di zaman fitnah ibarat hijrah kepadaku."

Berbekal dengan amal yang shalih adalah solusi yang penting untuk menjaga diri dari terjatuh ke dalam fitnah sebelum ia benar-benar terjadi. Dalam sebuah hadits, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Bersegeralah melakukan amal-amal shalih sebelum datang fitnah." Imam Nawawi menjelaskan hadits ini dengan berkata, "Makna hadits ini berisi anjuran untuk bersegera melakukan amal-amal ibadah sebelum hal itu tidak bisa dilakukan dan kita disibukkan oleh berbagai fitnah (kekacauan) bertubi-tubi yang menyita energi."

Barang siapa yang merasa bahwa pada dirinya terdapat potensi-potensi fitnah, hendaklah ia segera membuangnya. Hal itu disinyalir dalam sebuah hadits: "Patahkanlah saat itu (saat fitnah) panah-panah kalian!" Bahkan dalam kisah tentang tiga orang shahabat yang tidak ikut dalam perang Tabuk, Ka'ab ibnu Mâlik—Semoga Allah meridhainya—yang merupakan salah seorang dari mereka bercerita bahwa ia menerima surat dari Raja Ghassân. Raja Ghassân kepadanya, "Aku telah menerima berita bahwa sahabatmu (Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam) telah memperlakukanmu dengan kasar. Padahal Allah tidak menempatkanmu di tempat yang hina dan tersia-sia. Datanglah ke tempat kami, kami akan memberi kelapangan kepadamu." Ka'ab ketika itu berkata, "Ini juga adalah salah satu ujian. Aku pun segera mencari tungku, lalu aku membakar surat itu di sana."

Berusahalah agar Anda tidak menjadi pemimpin di tengah kondisi fitnah (perpecahan). Usamah—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "(Jika diamanahkan menjadi pemimpin dua orang), aku tidak akan mengatakan kepada salah seorang, 'Engkau lebih baik'." Ibnu Hajar berkata, "Usamah berpandangan bahwa ia tidak akan manjadi pemimpin bagi seorang pun. Hal itu tersirat dalam ucapannya, 'Aku tidak akan mengatakan kepada seorang pemimpin bahwa ia adalah manusia terbaik'."

Berdoa agar kita terjaga dari keburukan fitnah juga merupakan salah satu cara agar selamat dari fitnah. Dalam sebuah hadits, Nabi diajarkan sebuah doa: "(Ya Allah), jika Engkau menghendaki terjadi fitnah pada hamba-hamba-Mu, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah." [HR. Ahmad]

Umar—Semoga Allah meridhainya—berkata dalam doanya, "Kami berlindung kepada Allah dari keburukan fitnah." Sedangkan Anas ibnu Malik—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Dengan berlindung kepada Allah dari kejahatan fitnah (kekacauan)."

Di antara tindakan yang bisa menyelamatkan Anda dari keburukan fitnah adalah mengingkari fitnah itu, tidak menyukainya, dan tidak membantu penyebarannya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Dan setiap hati yang mengingkarinya akan diukir di dalamnya sebuah titik putih, sampai kemudian hati itu menjadi putih bersih seperti batu licin, tidak terpengaruh oleh fitnah selama masih ada langit dan bumi."

Juga termasuk faktor terpenting untuk menyelamatkan diri dari fitnah adalah memahami Agama dan mampu membedakan batasan-batasan Syariat dengan jelas. Ibnu Hajar menukil dari Ibnu Abi Syaibah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah, bahwa ia berkata, "Fitnah tidak akan dapat memberi mudharat (bahaya) kepadamu selama engkau mengetahui Agamamu. Fitnah itu hanya berbahaya jika engkau tidak dapat mengetahui dengan jelas mana yang benar dan mana yang batil."

Di samping beberapa faktor penyelamat ini, hati juga mesti senantiasa digantungkan kepada Allah. Benarlah ungkapan yang mengatakan: "Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah." Terhindar dari fitnah lebih merupakan karunia dari Tuhan daripada sekedar sebuah hasil usaha manusiawi. Oleh sebab itu, berusahalah dan mintalah pertolongan kepada Allah. 

www.islamweb.net