Membela Diri

14/03/2019| IslamWeb

Karakter keseimbangan yang menjadi keistimewaan Agama kita membuat seorang mukmin pada suatu kondisi harus bersifat tawaduk, toleran, penuh maaf, lapang dada, dan ketika marah juga mudah memaafkan. Tetapi pada kondisi-kondisi tertentu, seorang mukmin juga harus sangat mementingkan harga dirinya, menuntut haknya, membalas tindakan orang yang menzaliminya, serta membela dirinya dari penindasan orang yang berbuat jahat kepadanya. Pertanyaannya, kapankah seorang mukmin harus membela diri?

Ibnul 'Arabi menjawab pertanyaan ini dalam ungkapannya: "Ketika orang yang jahat terang-terangan melakukan kejahatan, berbuat buruk kepada orang banyak, serta mengganggu semua orang dari yang kecil hingga yang besar, maka membalas perilakunya itu lebih diutamakan."

Ia juga menerangkan kondisi yang mengharuskan kita untuk memberi maaf, yaitu: "Bila kejahatan dilakukan secara tidak disengaja, atau dilakukan oleh orang yang mengaku salah dan meminta maaf, maka pada kondisi seperti ini, memberi maaf lebih utama."

Hal ini juga ditegaskan oleh Ath-Thabari dalam Kitab Ahkâm-nya. Ia sepakat dengan Ibnul 'Arabi bahwa dalam kondisi pertama, membela diri lebih utama, dan itu dapat dipahami dari perkataan Ibrahim An-Nakha'i tentang perilaku tokoh-tokoh Salaf: "Mereka tidak suka merendahkan diri mereka sehingga orang-orang fasik berani berlaku semena-mena kepada mereka." Imam At-Thabari menyatakan bahwa pemberiaan maaf hanya berlaku apabila si pelaku menyesal dan berhenti melakukan perbuatannya.

Imam Al-Qurthubi juga menganggap baik dan menyetujui perincian seperti ini. Ia berpendapat bahwa pemberian maaf berlaku untuk orang-orang yang tidak terus-menerus berlaku jahat. Ia berkata, "Adapun terhadap orang yang selalu mengganggu dan berlaku zalim maka kita lebih baik membela diri dari perbuatannya."

Ketika menafsirkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri" [QS. Asy-Syûra: 39], Imam Al-Qurthubi menyatakan, "Ini umum bagi seluruh pelaku kezaliman, baik orang kafir maupun selainnya. Maksudnya, apabila mereka dizalimi oleh orang yang zalim, mereka tidak menyerah terhadap kezaliman itu."

Setelah memaparkan sejumlah pendapat ulama, Al-Qurthubi mengomentarinya dengan berkata, "Secara umum, memberi maaf itu dianjurkan. Tetapi terkadang keadaannya jadi berbalik pada beberapa kondisi, sehingga tidak memberi maaf menjadi lebih dianjurkan. Itu terjadi apabila diperlukan untuk mencegah bertambahnya kezaliman dan demi memutus aksi kejahatan. Dalam hadits Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—ada yang menunjukkan hal itu." Lalu ia berdalil dengan hadits tentang pembelaan 'Aisyah terhadap pernyataan Zainab—Semoga Allah meridhai mereka berdua—yang nanti akan dijelaskan.

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa." [QS. Asy-Syûrâ: 39-40].. Salah satu penafsiran dari ayat ini adalah bahwa mereka membalas perbuatan orang yang berbuat zalim terhadap mereka, serta tidak pasrah begitu saja menghadapi kezaliman orang lain.

Abu Su'ûd berkata, "Ayat ini menggambarkan mereka dengan sifat keberanian, setelah sebelumnya mereka digambarkan dengan semua sifat-sifat terpuji. Ini tidak berarti menafikan bahwa mereka memiliki sifat pemaaf. Sebab kedua sifat itu terpuji pada tempatnya masing-masing."

"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa." Maksudnya, balasan dari perbuatan zalim adalah membela diri dari perilaku orang yang zalim itu tanpa melebihi kejahatan yang ia lakukan.

Al-Fakhrur Râzi berkata: "Ketika AllahSubhânahu wa Ta`âlâberfirman (yang artinya): 'Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri', Allah melanjutkannya dengan pernyataan bahwa pembelaan itu harus bersifat sepadan dan tidak berlebih dari kezaliman yang diterima. Pembalasan itu dinamakan dengan 'sayyi`ah (kejahatan)' karena ia juga membuat sakit orang yang dibalas."

Ketika dimintai fatwa tentang ucapan Sa'îd ibnul Musayyib, "Aku tidak akan menghalalkan (harga diriku) kepada seorang pun", Imam Malik menjelaskan bahwa makna ucapan itu adalah tidak memberi maaf terhadap seorang yang zalim. Ia berkata: "Aku tidak berpendapat bahwa ia menganggap orang yang menzaliminya itu bebas (dibiarkan begitu saja)."

Menjelaskan alasan fatwa Imam Malik ini, Ibnul `Arabi berkata, "Apabila seseorang berbuat zalim, maka sikap yang benar adalah tidak membiarkannya, supaya orang-orang yang berlaku zalim tidak merasa bangga dan bebas melakukan perbuatan mereka yang buruk."

Ash-Shâwi juga ikut menegaskan hal ini dalam Hâsyiyah (catatan kaki)-nya terhadap Tafsir Al-Jalâlain. Ia menyatakan, "Salah satu bentuk kemuliaan akhlak adalah memberi maaf dan sabar menahan diri ketika marah, dengan syarat, kesabaran itu tidak mengurangi harga diri." Apabila perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka kewajiban yang harus dilakukan saat itu adalah marah, bukan bersabar. Inilah yang dimaksud oleh Imam Asy-Syâfi'i, "Barang siapa yang dibuat marah tapi tidak juga marah, berarti ia adalah keledai." Seorang penyair berkata, "Kesabaran seorang pemuda yang tidak pada tempatnya adalah sebuah kebodohan"

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi." [QS. An-Nisâ': 148]. Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi menukilkan perkataan Abu Ishaq Az-Zajjâj tentang bacaan lain dari ujung ayat ia atas yaitu: "illa man zhalama (kecuali orang yang berbuat zalim)". Abu Ishaq berkata, "Maknanya adalah: kecuali orang yang berbuat zalim kemudian berkata buruk, maka selayaknya ia dibimbing."

Imam Al-Qurthubi mengomentari hal ini dengan berkata, "Hal ini ditunjukkan oleh banyak hadits. Di antaranya adalah sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam: 'Bimbinglah orang-orang bodoh di antara kalian!' Juga sabda beliau: 'Tolonglah saudaramu, baik yang menzalimi maupun yang dizalimi.' Para shahabat bertanya, 'Orang yang dizalimi jelas harus kami tolong, tapi bagaimana kami menolong saudara kami ketika ia menzalimi?' Beliau menjawab, 'Engkau cegah ia dari perbuatan zalim itu'."

Dalam sebuah hadits yang panjang, para istri Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah membujuk Sayidah Zainab untuk meminta Nabi memperlakukan mereka secara sama dengan Sayidah 'Aisyah. Sebab mereka merasa bahwa posisi 'Aisyah di hati Rasulullah tidak sama dengan istri-istri beliau yang lain. Mereka melihat bahwa hadiah orang-orang lebih banyak datang ketika beliau sedang berada di rumah 'Aisyah. Kemudian Zainab pun berbicara panjang lebar kepada 'Aisyah, sementara 'Aisyah terus memandang kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. 'Aisyah berkata, "Sampai aku tahu bahwa Rasulullah tidak melarang aku membela diri." Dalam riwayat lain, "Sampai Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Silahkan engkau membela diri'. Lalu aku menjawab pernyataan Zainab, dan aku melihat sampai air liur di mulutnya kering pun ia tidak mampu menjawab apa-apa. Kemudian aku melihat wajah Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—berseri-seri."

Namun walau demikian, seorang muslim yang membela dirinya tidak boleh melakukan tindakan yang melebihi kezaliman yang dilakukan oleh saudaranya. Ia tetap tidak berhak menutupi hak-hak yang semestinya didapatkan oleh saudaranya. Dalam versi Imam Muslim, masih dalam hadits di atas, 'Aisyah tetap menyampaikan secara jujur kelebihan-kelebihan Zainab. Ia berkata kepada sang madu yang memang ia ungguli dari sisi kedudukan di sisi Rasullullah itu, "Aku tidak pernah melihat ada seorang perempuan pun yang lebih baik dalam hal Agama, lebih bertakwa, lebih jujur, lebih menyambung silaturahim, lebih banyak bersedekah, lebih banyak berkorban untuk bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah daripada Zainab. Hanya saja ia cepat marah, namun juga cepat redanya." [HR. Muslim]

Itulah adab yang memang diajarkan oleh Nabi. Walaupun harus ada kalimat celaan yang keluar dari mulutnya, 'Aisyah tetap tidak melampaui batas keadilan dan tidak lupa memaafkan.

Selain itu, kita juga harus membedakan antara pembelaan diri menghadapi saudara yang memiliki banyak kebaikan dengan pembelaan diri menghadapi orang zalim yang terus-menerus berbuat zalim, atau orang kafir yang sombong. Apabila Anda memperkirakan bahwa pembelaan diri dari sikap saudara yang menyakiti Anda akan membesar masalah dan memperburuk situasi, maka tutuplah pintu Syetan serta pertimbangkanlah positif dan negatifnya.

Dalam Sunan Abu Dâwûd, terdapat hadits yang menjelaskan hal ini. Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki mendatangi Abu Bakar—Semoga Allah meridhainya, kemudian mengucapkan kata-kata yang tidak sopan kepadanya di hadapan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Ketika orang ini mengganggunya untuk ketiga kali, Abu Bakar membela diri. Rasulullah pun ketika itu langsung berdiri. Abu Bakar bertanya, "Apa ada yang tidak engkau sukai dariku, wahai Rasulullah?" Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Malaikat dari langit turun untuk mendustakan (membantah) perkataan orang itu tentang dirimu. Ketika engkau membela diri, Syetan pun datang. Dan aku tidak mau duduk ketika Syetan datang." Al-Khathhâbi berkata menjelaskan hadits ini, "Syetan datang ketika Abu Bakar membela diri, sebab pembelaan itu justru menggoda si pencela, apalagi sebelumnya sudah terlihat tanda-tanda tidak baik dari dirinya dengan terus mengulang celaan kepada Abu Bakar. Itu tentu akan menjadi sebab meruncingnya masalah."

Kalaupun harus kalah, hendaknya seorang muslim meneladani Nabi Nuh—`Alaihis salâm—ketika kesulitan menghadapi kaumnya. Hal itu diabadikan dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Lalu ia pun memohon kepada Tuhannya, 'Hamba ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu tolonglah (hamba)."

Namun kalau seorang muslim mampu membela diri dengan tetap memperhatikan aturan dan syarat-syaratnya sesuai Syariat, maka tidak ada alasan baginya untuk tunduk kepada orang-orang zalim.

Adapun firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Adapun orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan." [QS. Asy-Syûra: 43], Imam Al-Qurthubi pernah menerangkan pendapatnya, "Bahwa ayat ini adalah pemberian maaf bagi orang yang tidak terus-menerus melakukan kejahatan. Adapun orang yang terus-menerus melakukannya, maka yang lebih utama adalah membela diri dari tindakannya."

Adapun menahan amarah merupakan sikap yang baik dan dianjurkan ketika telah dapat menundukkan dan menang menghadapi seorang yang zalim. Dan apabila diketahui bahwa orang itu bertobat dan menyesal secara tulus, atau ia melakukan kezaliman itu karena kesalahan yang tidak terus-menerus ia lakukan, maka memberi maaf ketika itu lebih utama. Adapun memberi maaf dalam kondisi lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa adalah maaf yang terpaksa, dan itu tidak memiliki keistimewaan apa-apa.

Menghidupkan semangat membela diri adalah sesuatu yang penting, agar umat ini tidak terbiasa pasrah menerima penghinaan, baik dari orang fasik yang menindasnya ataupun dari orang kafir yang membantainya. Karena umat yang terbiasa tunduk di hadapan kezaliman dan pembantaian berarti telah kehilangan spirit amar ma'rûf nahi munkar dan semangat jihad.

Nah, apakah kita termasuk orang yang mampu membela diri ketika itu harus dilakukan menghadapi orang-orang yang tidak akan sadar kecuali dengan adanya perlawanan?

 

 

www.islamweb.net