Kerjasama; Semboyan Orang Beriman

14/03/2019| IslamWeb

Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Manusia secara fitrah adalah makhluk sosial, cenderung ingin bergabung dengan orang lain demi mewujudkan berbagai keinginannya yang memang tidak bisa terwujud kecuali dengan bekerjasama dan menjadi anggota sebuah komunitas. Kepentingan pribadi, mesjid, umat, dan berbagai kepentingan lainnya tidak mungkin bisa dicapai kecuali dengan adanya kerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan. Sebuah anak panah dapat memasukkan tiga orang sekaligus ke dalam Surga. Kalau orang yang pertama tidak membuatnya, dan orang kedua tidak menyiapkannya, maka orang yang ketiga tidak akan bisa menembakkannya di jalan Allah. Oleh sebab itu, adalah sebuah kemestian kita melakukan kerjasama untuk mewujudkan tujuan dan maksud tertentu. Jika kita lihat kehidupan semut dan lebah, kita akan menemukan kaidah yang tidak berbeda. Untuk menghasilkan madu yang bisa kita ambil dari sarangnya, ternyata kawanan lebah menerapkan pembagian tugas yang rapi. Ada yang menjadi ratu, ada lebah jantan, dan ada lebah betina yang menjadi pekerja. Kita tidak mungkin bisa mendapatkan madu hanya dari akitivitas lebah ratu saja. Beginilah seharusnya seorang muslim ketika berhubungan dengan saudaranya dalam masyarakat; tidak mempermasalahkan di mana pun mereka menempatkannya, baik di depan, di tengah, maupun di belakang. Di posisi mana pun, ia tetap menekuni pekerjaannya dan mengikhlaskannya untuk Allah—Subhânahu wata`âlâ.

Kerjasama yang Lemah Berarti Akal yang Lemah

Kita dapat memperhatikan dalam kenyataan, betapa jika manusia tidak disatukan oleh kebenaran niscaya mereka akan dicerai-beraikan oleh kebatilan. Jika mereka tidak diikat oleh ibadah kepada Allah niscaya mereka akan dikotak-kotakkan oleh penyembahan terhadap Syetan. Jika mereka tidak ditarik oleh kenikmatan Akhirat niscaya mereka akan saling berperang dan berselisih untuk mengejar kesenangan dunia yang fana. Dan ironisnya, yang terakhir inilah yang justru menjadi realita kehidupan kita saat ini. Sebagian dari kita memendam permusuhan terhadap sebagian yang lain. Jika terlihat tidak demikian, biasanya itu hanyalah sekedar basa-basi sesaat. Itu semua sebenarnya disebabkan oleh lemahnya akal. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Engkau mengira bahwa mereka itu bersatu, padahal hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak berpikir." [QS. Al-Hasyr: 41]

Sesungguhnya tali ikatan yang membuat kita laksana satu tubuh adalah ikatan Islam. Tanpa ikatan Islam, kita akan menjadi seperti manusia zaman jahiliah, bahkan lebih buruk dari itu. Dalam sebuah hadits, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Janganlah kalian kembali kafir setelah aku (meninggal); sehingga sebagian kalian membunuh sebagian yang lain." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Ikatan Islam adalah ikatan yang meleburkan semua ikatan nasab, suku, bangsa, kelompok, dan berbagai fenomena fanatisme kebatilan yang lainnya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan berpegangteguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliah) saling bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian, sehingga jadilah kalian karena nikmat-Nya itu orang-orang yang bersaudara. Dan kalian sebelumnya telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk." [QS. Âli `Imrân: 103]

Para Musuh yang Selalu Siaga

Kita sesungguhnya sedang melalui saat-saat yang mengharuskan kita bersatu padu menghadapi musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kita semua. Energi kejahatan senantiasa siaga untuk menghancurkan kita. Mereka telah mengumumkan perang melawan Islam dan kaum muslimin. Ini adalah tabiat mereka sejak zaman dahulu sampai sekarang. Mereka berseru, seperti digambarkan dalam firman Allah (yang artinya): "Maka himpunkanlah segala daya kalian, kemudian datanglah dengan berbaris. Dan sungguh beruntunglah orang yang menang pada hari ini." [QS. Thâhâ: 64]

Kerjasama mereka sekarang untuk melancarkan konsipirasi jahat itu adalah sesuatu yang sudah menjadi rahasia umum. Kita tidak memungkiri bahwa terdapat banyak faktor kelemahan kita yang membuat musuh mampu menguasai kita. Penyebab perpecahan kita pun begitu banyak. Namun demikian, semua ini tidak semestinya menghalangi kita untuk terus berusaha dan mengedepankan prinsip dasar kita. Perbedaan pendapat dan mazhab, keragaman pandangan tentang kekuasaan dan politik, serta berbagai kepentingan pribadi tidak selayaknya menjadi penghalang bagi kita untuk mewujudkan ukhuwwah îmâniyah serta kerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan. Sebaliknya, kita harus mampu membuat semua perbedaan itu tunduk di bawah prinsip dasar yang besar itu. Kemaslahatan sosial (bersama) merupakan kepentingan universal. Tuntutan Agama agar kita bersatu dan larangannya kita bercerai-berai harus didahulukan di atas semua perbedaan itu. Inilah ciri-ciri orang yang menjunjung tinggi keagungan agama Allah dan menyadari besarnya bahaya yang sedang dilalui umatnya.

Kaum muslimin adalah komunitas umat yang memiliki kesatuan kehormatan, memiliki hak untuk saling menopang, serendah apa pun derajatnya, dan mereka merupakan satu kekuatan di hadapan orang-orang yang memusuhi mereka. Hal itu ditegaskan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam sabda beliau, "Seorang mukmin bagi mukmin yang lain bagaikan satu bangunan. Sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain." Dan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—ketika itu menyilangkan jari-jari beliau. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang melepaskan seorang mukmin dari sebuah kesulitan dunia, maka Allah akan melepaskannya kelak dari kesulitan hari Kiamat. Barang siapa yang memudahkan seseorang yang sedang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan baginya di dunia dan Akhirat. Barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan Akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya." [HR. Muslim];

Dalam hadits lain, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Tidaklah seorang muslim membiarkan seorang muslim pada saat kesuciannya dinodai dan kehormatannya dilecehkan melainkan Allah akan membiarkannya pada saat ia menginginkan pertolongan-Nya. Tidaklah seseorang menolong seorang muslim pada saat kesuciannya dinodai dan kehormatannya dilecehkan melainkan Allah akan menolongnya pada saat ia membutuhkan pertolongan-Nya." [HR. Abû Dâwûd dll. Sanad-nya: hasan]

Pada suatu ketika, seseorang berkata kepada Anas ibnu Malik—Semoga Allah meridhainya, "Apakah engkau tahu bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Tidak ada persekutuan di dalam Islam'? Anas menjawab, "Sesungguhnya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah membuat persekutuan (menyatukan) antara orang Quraisy dan orang Anshar di kota beliau (Madinah)." [HR. Muslim]

Semangat Ulama Salaf untuk Kerjasama dan Persatuan

Ketika sebagian pemberontak ingin membunuh Utsman ibnu Affan—Semoga Allah meridhainya—pada saat ia dikepung di rumahnya, Abdullah ibnu Salam datang. Utsman lalu berkata kepadanya, "Kenapa engkau ke sini?" Ia menjawab, "Aku ke sini untuk menolongmu." Utsman lalu berkata, "Temuilah mereka, dan jauhkanlah mereka dariku. Sesungguhnya engkau berada di luar lebih baik bagiku daripada engkau berada di dalam." Abdullah ibnu Salâm pun keluar dan menemui para pengepung di luar rumah Utsman. Di antara yang ia katakan kepada mereka adalah: "Sesungguhnya Allah memiliki pedang yang terjaga dari kalian (tidak ditebaskan kepada kalian). Sesungguhnya para Malaikat mendampingi kalian dengan mendiami negeri yang menjadi tempat tinggal Nabi kalian ini. Aduhai, ingatlah Allah kalau kalian ingin membunuh laki-laki ini. Demi Allah, seandainya kalian membunuhnya, berarti kalian telah mengusir para tetangga kalian dari kalangan Malaikat, pedang Allah yang tersarung itu pun akan terhunus untuk kalian, dan tidak akan pernah disarungkan lagi sampai hari Kiamat."

Setelah ditikam oleh seorang pengikut kelompok Khawarij bernama Abdurrahman ibnu Muljam, Ali ibnu Abi Thalib—Semoga Allah meridhainya—masuk ke dalam rumahnya. Ia kemudian jatuh pingsan, dan ketika sadar, ia memanggil Al-Hasan dan Al-Husen—Semoga Allah meridhai mereka. Ali berkata kepada mereka, "Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ, mencintai Akhirat, dan zuhud terhadap dunia. Janganlah kalian sedih bila gagal mendapatkan apa pun dari kesenangan dunia ini, karena kalian pasti akan meninggalkannya. Berbuat baiklah kalian, jadilah lawan bagi orang yang zalim dan penolong bagi orang yang dizalimi." Kemudian Ali memanggil anaknya yang bernama Muhammad seraya berkata, "Apakah engkau sudah mendengar wasiatku kepada dua saudaramu ini?" Ia menjawab, "Iya." Ali melanjutkan, "Aku juga mewasiatkannya kepadamu."

Para ahli sejarah menceritakan, bahwa pada suatu ketika, seorang wanita muslimah jatuh ke dalam tawanan musuh, dan kehormatannya dilecehkan. Ia lalu berteriak, "Manakah Al-Mu'tashim?!" Saat diberitahu tentang kejadian tersebut, Al-Mu'tashim, sang khalifah Islam ketika itu langsung menyiapkan kudanya, tanpa menunda-nunda. Ia diikuti oleh pasukannya sampai mereka berhasil menaklukkan Amuriah. Setelah berhasil mengalahkan musuh, Al-Mu'tashim berkata, "Mana wanita yang berteriak itu?"

Jauh sebelum itu, Khalifah Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—pernah menyatakan khawatir bila seekor kambing tergelincir di pinggiran sungat Eufrat, lalu ia diminta mempertanggungjawabkannya pada hari Kiamat, kenapa ia tidak menerangi jalan untuk kambing itu. Jika kekhawatiran Umar terhadap binatang saja sudah seperti itu, tentu kekhawatirannya jika seorang muslim terpeleset atau dibunuh secara tidak benar jauh lebih besar.

Uwais ibnu 'Âmir, salah seorang pembesar tabi'in pernah meminta ampun kepada Allah karena ia berada dalam keadaan kenyang, sedangkan di dunia masih terdapat makhluk yang kelaparan.

Di Zaman yang Asing

Adapun di zaman yang asing ini, kebodohan telah membuat sebagian orang Islam bahkan mau memberi bantuan kepada musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Mereka menjadikan musuh-musuh sebagai sahabat yang mereka tolong dengan segala milik mereka. Padahal, para musuh jahat itu justru membuat wanita-wanita musliman kehilangan suami, membuat anak-anak muslim kehilangan bapak, menodai kesucian umat, menjajah negeri-negeri Islam, dan tidak pernah menghormati hubungan kedekatan dan perjanjian dengan kita. Kenapa orang-orang muslim seperti ini tidak kembali kepada Islam dan menerapkan syariat Tuhan mereka? Kenapa mereka tidak memikirkan permasalahan yang sedang dihadapi oleh kaum muslimin? Padahal, orang yang tidak memikirkan urusan kaum muslimin berarti bukanlah bagian dari mereka. Orang-orang seperti ini kita ingatkan dengan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." [QS. Al-Mâ'idah: 2]

Terakhir, adalah sesuatu yang sudah dimaklumi bahwa perbaikan kondisi Umat, terwujudnya apa yang menjadi maslahat mereka, teraturnya semua urusan mereka secara baik, terwujudnya kesatuan kata antar mereka, dan munculnya rasa gentar musuh terhadap mereka tidak akan pernah ada kecuali dengan mewujudkan solidaritas keislaman. Solidaritas itu terealisasi dalam bentuk saling tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, saling melengkapi, saling membantu, saling menyayangi, saling menasihati, serta saling berwasiat dengan kebenaran dan sabar menjalankannya. Tidak diragukan lagi, bahwa mewujudkan ini semua merupakan sebuah kewajiban terpenting dan perkara yang fardhu atas setiap muslim.

Semoga Allah membimbing kita semua agar bekerja sesuai dengan petunjuk-Nya, serta senantiasa berusaha mewujudkan kebaikan negeri dan Umat kita.

 

 

www.islamweb.net