Meredam Kemarahan

21/03/2019| IslamWeb

Salah satu yang menjadi catatan dalam interaksi sosial manusia adalah bahwa sebagian mereka terkadang menyakiti saudara mereka dengan berbagai macam perilaku buruk, baik dengan lidah, tangan, maupun anggota badan mereka yang lain, baik dalam urusan ekonomi maupun yang lain. Objek perbuatan itu terkadang adalah jiwa, terkadang kehormatan dan nama baik, terkadang harta benda dan perhiasan, terkadang juga keluarga dan karib-kerabat, dan lain-lain.

Jika perlakuan buruk itu ditanggapi oleh korbannya secara langsung demi melampiaskan dorongan nafsunya, sudah tentu akan mengakibatkan bahaya yang besar, merusak hubungan baik, dan menebar permusuhan di antara individu masyarakat.

Allah—Subhânahu wata`âlâ—mengajarkan para hamba-Nya yang beriman tentang pentingnya menghias diri dengan akhlak sabar dan meredam amarah, bahkan membalas perbuatan buruk dengan cara yang terbaik. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dengannya ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar." [QS. Fushshilat: 34-35]

Maka betapa kita membutuhkan akhlak yang mulia ini guna mengokohkan ikatan hati, membangun ikatan-ikatan sosial yang telah runtuh, dan demi mendapat keridaan serta Surga Allah. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." [QS. Âli `Imrân: 133-134]

Syariat Islam yang suci memperbolehkan kita untuk membalas perbuatan jahat orang lain dengan balasan yang setimpal. Akan tetapi, meski demikan, Syariat menerangkan bahwa memberi maaf dan meredam kemarahan jauh lebih utama dan lebih baik. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan jika kalian memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. Akan tetapi jika kalian bersabar sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." [QS. An-Nahl: 126]

Di Antara Keutamaan Meredam Amarah

Meredam kemarahan memiliki keutamaan-keutamaan yang sangat besar. Selain yang telah kita sebutkan di atas, masih ada beberapa keutamaan lain yang di antaranya disebutkan oleh dalil-dalil berikut:

1.    Diriwayatkan dari Umar—Semoga Allah meridhainya, bahwa seorang laki-laki pernah menghadap kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai oleh Allah? Dan perbuatan apakah yang paling dicintai-Nya?" Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menjawab, "Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain, dan amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah kebahagiaan yang dimasukkan oleh seseorang ke dalam hati seorang muslim, atau mengangkat kesusahannya, atau membayarkan utangnya, atau mengusir laparnya. Dan sungguh, jika aku berjalan bersama saudaraku untuk membantu keperluannya lebih aku sukai daripada beriktikaf di mesjid ini—yaitu Mesjid Nabawi—selama satu bulan. Barang siapa yang menahan amarahnya niscaya Allah akan menutup aibnya, dan barang siapa yang meredam kemarahannya—padahal kalau mau ia dapat melampiaskannya—niscaya Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari Kiamat. Barang siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk suatu keperluan sampai ia dapat memenuhinya niscaya Allah akan memantapkan kakinya pada Hari di mana kaki-kaki terpeleset (di titian Shirât)."

2.    Diriwayatkan dari Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidak ada tegukan yang lebih besar pahalanya di sisi Allah daripada tegukan kemarahan yang disembunyikan oleh seseorang demi mengharap ridha Allah."

3.    Diriwayatkan dari Anas—Semoga Allah meridhainya,ia berkata, "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah melewati sekelompok orang yang sedang bergulat. Lalu beliau bertanya, 'Ada apa ini?' Orang-orang menjawab, 'Ia adalah laki-laki yang setiap kali bergulat dengan orang lain, ia selalu mampu mengalahkannya'. Rasulullah pun bersabda, 'Maukah kalian aku tunjukkan orang yang lebih kuat darinya? Yaitu seorang laki-laki yang disakiti oleh perkataan seseorang tapi ia mampu meredam kemarahannya, ia berhasil mengalahkan amarahnya, mengalahkan Syetannya, dan mengalahkan Syetan temannya itu'."

4.    Diriwayatkan dari Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, "Suatu ketika, RasulullahShallallâhu `alaihi wasallamkeluar menuju mesjid sambil mengisyaratkan dengan tangan beliau ke arah tanah, lalu bersabda, 'Barang siapa yang memberi tenggang waktu kepada orang yang kesusahan (membayar utang) atau memaafkan utangnya niscaya Allah akan melindunginya dari panasnya Jahanam. Ketahuilah bahwa amalan Surga itu ibarat tanjakan di bukit (tiga kali), ketahuilah pula bahwa amalan Neraka itu ibarat dataran di lembah. Orang yang berbahagia adalah yang menjaga diri dari segala godaan. Tidak ada tegukan yang lebih aku sukai daripada tegukan kemarahan yang disembunyikan oleh seorang hamba. Tidaklah seorang hamba menyembunyikan kemarahannya karena Allah melainkan Allah akan mengisi dadanya dengan keimanan."

5.    Diriwayatkan dari Mu`âdz ibnu Anas, dari ayahnya—Semoga Allah merahmati keduanya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang meredam kemarahan sementara ia mampu melampiaskannya niscaya Allah`Azza wajallaakan memanggilnya di hadapan semua makhluk, kemudian menyuruhnya untuk memilih mana saja bidadari yang ia kehendaki."

Di Atas Akhlak yang Indah Inilah Generasi Salaf Terdidik

·         Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya tidak akan melampiaskan kemarahannya. Dan barang siapa yang takut kepada Allah niscaya tidak akan melakukan setiap apa yang ia inginkan. Kalaulah bukan karena hari Kiamat, tentu akan terjadi selain yang kalian lihat sekarang."

·         Diriwayatkan dari Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Suatu ketika, `Uyainan ibnu Hishn bertamu kepada keponakannya, Al-Hurr ibnu Qais yang termasuk orang-orang dekat Umar. Dan para qari (penghafal Al-Quran) merupakan anggota majelis dan teman musyawarah Umar, baik yang tua maupun yang masih muda. `Uyainah berkata kepada keponakannya, 'Sungguh, engkau mempunyai wibawa di hadapan sang pemimpin ini. Mintakanlah izin bagiku untuk menemuinya'. Al-Hurr berkata, 'Aku akan memintakan izin bagimu untuk menemuinya'. Lalu Al-Hurr memintakan izin untuk `Uyainah, dan Umar pun mengizinkannya masuk. Ketika ia masuk, ia berkata dengan lancang: 'Hai Ibnul Khaththâb! Demi Allah, engkau tidak memberikan yang banyak kepada kami, Engkau juga tidak memberi hukum dengan adil terhadap kami!' Umar pun marah hingga hampir memukulnya, tapi Al-Hurr berkata, 'Wahai Amîrul Mukminîn! Sesungguhnya AllahSubhânahu wa Ta`âlâberfirman kepada Nabi-NyaShallallâhu `alaihi wasallam—(yang artinya): 'Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh'. [QS. Al-A`râf: 199]. Sungguh, orang ini termasuk orang-orang yang bodoh. Demi Allah, Umar tidak berani melampaui ayat itu ketika dibacakan kepadanya, dan ia adalah orang yang sangat teguh memegang Kitab Allah."

·         Suatu ketika, seorang budak datang kepada Abu Dzarr—Semoga Allah meridhainya—setelah mematahkan kaki kambing milik Abu Dzarr. Abu Dzarr bertanya, "Siapa yang mematahkan kaki kambing ini?" Budak itu menjawab, "Aku yang melakukannya dengan sengaja untuk membuatmu marah sehingga engkau memukulku dan engkau pun berdosa." Abu Dzarr berkata, "Aku akan membuat marah (Syetan) yang mendorongmu untuk membuat aku marah itu." Lalu ia memerdekakan budak itu.

·         Seorang laki-laki pernah mencela `Adi ibnu Hâtim, tapi ia di tetap diam. Setelah laki-laki itu selesai berkata-kata, `Adi berkata, "Jika masih ada sesuatu yang tersisa pada dirimu katakanlah, sebelum pemuda-pemuda kampung ini datang. Karena jika mereka mendengar engkau berkata seperti ini kepada pemimpin mereka pasti mereka tidak akan rela."

·         Muhammad ibnu Ka`ab—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Tiga perkara yang apabila seluruhnya ada dalam diri seorang hamba berarti ia telah menyempurnakan keimanan kepada Allah. Yaitu: jika ia merasa senang, kesenangannya itu tidak menjerumuskan dirinya ke dalam kebatilan. Jika marah, kemarahannya tidak mengeluarkan dirinya dari kebenaran. Dan jika berkuasa, ia tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya."

·         Seorang laki-laki pernah berkata kepada Wahab ibnu Munabbih—Semoga Allah merahmatinya, "Si fulan telah mencelamu!" Wahab menjawab, "Apakah Syetan tidak menemukan pos (penyampai berita buruk ini) selain engkau?!"

·         Imam Al-Ghazâli—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Sesungguhnya kemampuan meredam amarah dibutuhkan oleh manusia ketika kemarahannya bergolak, dan ini membutuhkan usaha yang keras. Akan tetapi jika ia terbiasa melakukannya beberapa lama niscaya itu akan menjadi kebiasaannya sehingga kemarahannya tidak akan bergolak lagi. Jika bergolak pun, ia tidak akan sulit meredamnya. Dan ketika itulah ia disebut sebagai seorang yang halîm (sabar dan santun)."

·         Ibnu Katsîr—Semoga Allah merahmatinya—menyebutkan sifat-sifat penduduk Surga ketika menafsirkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian." sampai ke firman-Nya (yang artinya): ".dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain." [QS. Âli `Imrân: 133-134]. Beliau berkata, "Jika kemarahan mereka bergolak, mereka meredamnya dan tidak melampiaskannya. Selain itu, mereka juga memaafkan orang yang berbuat buruk terhadap mereka."

·         Ibnu Katsîr menyebutkan dalam biografi Umar ibnu Abdul Aziz—Semoga Allah merahmatinya, bahwa seorang laki-laki pernah berkata kasar kepadanya hingga membuatnya marah dan hendak memukulnya, tetapi ia segera mencegah dirinya. Kemudian ia berkata kepada laki-laki itu, "Apakah engkau ingin Syetan mengobarkan amarahku karena wibawa kekuasaan, sehingga aku menyakitimu hari ini untuk engkau minta balasannya kelak? Pergilah, semoga Allah mengampunimu. Kami tidak memerlukan pembicaraan denganmu."

Karena itu, wahai saudaraku, marilah kita membiasakan diri meredam amarah dan menghias diri dengan akhlak hilm (sabar). Semoga Allah memenuhi hati kita dengan iman dan hikmah, serta menambah kemuliaan kita kelak pada hari Kiamat.

 

 

www.islamweb.net