Ramadhan Bulan Silaturahim (Bagian I)

01/05/2019| IslamWeb

Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Ramadhan adalah bulan kebaikan dan silaturahim, tempat menebarkan kasih sayang antar sesama. Di dalamnya, hati menjadi lembut dengan zikir menyebut nama Allah, jiwa pun tunduk mengikuti seruan Allah. Sehingga dengan demikian, yang akan terlihat hanya amal-amal yang suci dan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam.

Tulisan ini akan berbicara secara khusus tentang silaturahim, berikut berbagai keutamaannya dan faktor-faktor yang dapat membantu untuk melestarikannya. Semoga ini bisa membangkitkan semangat kita untuk semakin rajin menjalin silaturahim, sekaligus menghindari perilaku memutuskan hubungan dan menjauhi faktor-faktor yang mengarah ke sana.

Terdapat banyak nas Syariat yang berbicara tentang keagungan dan keutamaan silaturahim, sekaligus peringatan agar kita tidak memutuskannya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):

·         "Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim…" [QS. An-Nisâ': 1];

·         "Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturahim)? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka." [QS. Muhammad: 22-23]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda:

·         "Tidak akan masuk Surga orang yang memutuskan hubungan." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Sufyân berkata, "Maksudnya adalah memutus hubungan silaturahim.";

·         "Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menjalin tali silaturahim." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim];

·         "Allah menciptakan makhluk, dan ketika Dia selesai menciptakannya, berdirilah rahim. Allah berfirman (yang artinya): 'Diam (berhentilah)'. Rahim berkata, 'Aku berada dalam posisi orang yang berlindung kepada-Mu dari memutus hubungan silaturahim'. Allah berfirman (yang artinya): 'Tidak maukah engkau bila Aku hubungkan orang yang menghubungkanmu dan Aku putuskan orang yang memutuskanmu?' Rahim berkata, 'Tentu, wahai Tuhanku'. Allah lalu berfirman (yang artinya): 'Engkau boleh mendapatkan itu.'" [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dengan demikian, jelaslah bagi kita keagungan silaturahim, betapa ia adalah syiar keimanan kepada Allah dan hari Akhirat, sekaligus sebab dilapangkannya rezeki dan dipanjangkannya umur manusia. Menghubungkan silaturahim juga membuat Allah membentangkan tali hubungan dengan pelakunya. Bahkan silaturahim merupakan salah satu penyebab utama masuknya seseorang ke dalam Surga, memudahkan hisabnya di Akhirat, menghapus dosanya, menghiasi kuburnya, serta menjauhkannya dari kematian yang buruk.

Menghubungkan silaturahim adalah perkara yang disepakati oleh seluruh agama samawi dan setiap fitrah manusia yang normal. Ia merupakan tanda kemurahan hati, keluasan cakrawala berpikir, kondusifnya lingkungan pendidikan, dan sehatnya jiwa kesetiaan. Menghubungkan silaturahim mengangkat derajat pelakunya dan mengharumkan namanya. Sebagaimana silaturahim juga membuat tersebarnya kasih sayang dan cinta antara orang-orang yang menghubungkannya.

Menjalin silaturahim adalah lawan dari memutuskan hubungan. Arti silaturahim adalah berbuat baik kepada orang-orang dekat yang memiliki hubungan nasab atau hubungan pernikahan dengan kita. Bentuknya bisa dengan mengunjungi, menanyakan keadaan mereka, bertanya tentang kondisi mereka, memberi hadiah dan bersedekah kepada yang fakir di antara mereka, bersikap lembut terhadap yang terpandang dan kaya di antara mereka, serta menghormati yang tua dan menyayangi yang kecil di antara mereka.

Bentuk lainnya adalah menjamu mereka, menyambut mereka dengan baik ketika datang bertamu, memuliakan mereka, menyertai mereka dalam kebahagian, menghibur mereka saat ditimpa kesusahan, mendoakan mereka, berbaik sangka kepada mereka, rajin menasihati mereka, selalu mendakwahi mereka kepada kebenaran, menyuruh mereka melakukan perbuatan yang makruf (baik), mencegah mereka dari kemungkaran, serta memperbaiki hubungan dengan mereka ketika terjadi perselisihan.

Hubungan kekerabatan seperti ini dilakukan bila para kerabat berada dalam kondisi shalih dan berperilaku baik, atau belum diketahui kondisinya. Adapun jika si kerabat berada dalam kondisi kafir atau fasik, maka hubungan silaturahim dilakukan dengan cara mengerahkan tenaga untuk menasihati dan mengingatkan mereka. Jika seorang muslim sudah kehabisan cara untuk membimbing mereka, misalnya mereka justru membangkang dan angkuh, atau ia merasa khawatir akan terpengaruh oleh mereka atau jatuh ke dalam perangkap mereka, maka hendaklah ia menjauh dan meninggalkan mereka secara baik-baik. Artinya, meninggalkan mereka dengan cara yang tidak menyakiti, apa pun bentuknya. Selain itu, ia harus tetap banyak berdoa agar mereka mendapatkan hidayah. Jika ia kemudian melihat ada peluang atau kesempatan untuk mendakwahi mereka, hendaklah ia memanfaatkannya dan kembali berusaha tanpa kenal lelah.

Walaupun menjalin hubungan silaturahim sangat agung, namun ternyata banyak orang yang menyia-nyiakan dan melalaikannya. Di antara mereka ada yang tidak berhubungan dengan kerabatnya sama sekali, baik melalui harta, kedudukan, maupun akhlak. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, ia tidak pernah mengunjungi mereka, tidak pernah melamar hati mereka dengan pemberian atau hadiah, tidak pernah pula membantu memenuhi kebutuhan mereka, melepaskan kesusahan mereka, atau mengobati penderitaan mereka. Bahkan sebaliknya, justru menyakiti dan melontarkan kata-kata kasar kepada mereka.

Di antara manusia ada juga yang tidak mau ikut berbahagia saat kerabatnya berbahagia, tidak mau ikut bersedih saat mereka kesulitan, dan tidak pula mau memberi kepada yang fakir di antara mereka. Ia justru mendahulukan orang yang jauh ketimbang kerabatnya sendiri dalam hal menjalin hubungan dan memberi sedekah.

Di antara manusia ada juga yang hanya mau menjalin hubungan dengan para kerabatnya ketika mereka yang memulai hubungan itu, dan memutus hubungan dengan mereka jika mereka memutuskannya. Orang seperti ini, pada hakikatnya bukanlah menghubungkan tali silaturahim, tetapi hanya membalas kebaikan dengan kebaikan yang sama. Dan itu bisa dilakukan terhadap orang dekat atau pun orang jauh. Orang yang menjalin hubungan silaturahim pada hakikatnya adalah orang yang takut kepada Allah terkait hubungannya dengan para kerabatnya, sehingga ia tetap menjalin hubungan dengan mereka, baik mereka menghubungkan silaturahim dengannya maupun tidak.

Di antara bentuk tindakan memutuskan hubungan silaturahim adalah, Anda menyaksikan sebagian orang yang Allah karuniakan ilmu dan kesempatan berdakwah, gigih mendakwahi orang-orang yang jauh, tapi lupa atau lalai mendakwahi orang-orang dekatnya. Ini adalah tindakan yang tidak wajar, karena orang terdekat lebih berhak mendapatkan kebaikan kita daripada orang yang jauh. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." [QS. Asy-Syu`arâ': 214]

Jika kita renungkan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan hubungan silaturahim, kita akan menemukan bahwa pemutusan hubungan ini terjadi karena beberapa hal, di antaranya:

·         Ketidaktahuan akan akibat memutuskan hubungan silaturahim serta keutamaan menjalinnya;

·         Lemahnya ketakwaan dan adanya sifat sombong. Sebagian orang ada yang jika menduduki jabatan penting, atau mendapat posisi terhormat, atau menjadi saudagar dan orang terkenal, ia menyombongkan diri di hadapan kerabatnya, enggan mengunjungi dan menjalin hubungan kasih sayang dengan mereka;

·         Terputusnya komunikasi dalam waktu yang lama, sehingga mendorong munculnya rasa asing dan terbiasa tidak menjalin hubungan;

·         Celaan yang keras. Sebagian orang ada yang jika dikunjungi oleh kerabatnya justru menghujaninya dengan berbagai celaan atas kelalaiannya dalam menunaikan haknya, atau keterlambatannya mengunjunginya. Dari situ, muncullah rasa tidak suka dalam diri kerabat yang dicela itu, atau muncul rasa takut mengunjungi si kerabat yang mencela;

·         Sikap yang berlebihan. Sebagian orang, jika dikunjungi oleh saudaranya, biasa bertindak melebihi batas yang wajar. Untuk menyambut saudaranya, ia menghabiskan dana dalam jumlah yang besar. Padahal, boleh jadi ia tidak memiliki banyak harta. Hal itu mengakibatkan kerabatnya enggan mengunjunginya, karena tidak mau menyusahkannya. Sebaliknya, ada juga sebagian orang yang jika dikunjungi oleh saudaranya, justru tidak memperdulikan mereka, tidak mendengarkan cerita-cerita mereka, bahkan tidak berbahagia dengan kehadiran mereka. Ia tidak menyambut mereka kecuali dengan rasa berat dan sikap yang dingin. Hal ini tentu akan mengurangi keinginan kerabatnya datang mengunjunginya;

·         Sifat kikir. Sebagian orang, jika dikaruniai oleh Allah harta atau jabatan, menjauhkan diri dari kerabatnya, agar mereka tidak menyulitkannya dengan berbagai tuntutan;

·         Menunda pembagian warisan. Dalam beberapa kasus, ada keluarga yang belum membagi harta warisan, baik karena malas maupun karena tidak adanya kesepakatan antara anggota keluarga. Semakin terlambat pembagian warisan semakin besar pula kemungkinan terjadinya perselisihan, semakin banyak juga masalah yang muncul, dan semakin menumpuk prasangka buruk, sehingga putuslah hubungan silaturahim;

·         Usaha bersama antara sesama kerabat. Banyak orang yang berserikat dengan saudaranya atau kerabatnya yang lain dalam sebuah proyek atau usaha, tanpa ketentuan yang jelas, juga tanpa keterusterangan. Usaha mereka hanya dibangun di atas sikap basa-basi, rasa malu, dan baik sangka. Ketika penghasilan semakin besar dan usaha semakin luas, muncullah perselisihan dan bangkitlah kezaliman, dan Syetan pun mulai bermain. Prasangka buruk pun muncul, apalagi jika mereka termasuk orang-orang yang kurang bertakwa dan tidak memiliki sifat îtsâr (mendahulukan kepentingan orang lain). Atau salah satu dari mereka egois mempertahankan pendapatnya, atau lebih keras bekerja dari yang lain. Dari situ, rusaklah hubungan dan datanglah perpecahan. Bahkan barangkali hal itu kadang berakhir di pengadilan, sehingga mereka menjadi objek celaan orang lain. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini." [QS. Shâd: 24];

·         Kesibukan mengejar dunia;

·         Perceraian antara kerabat, jika tidak dilakukan dengan cara yang baik;

·         Jauhnya jarak dan rasa malas melakukan ziarah;

·         Tempat tinggal yang sangat berdekatan terkadang juga dapat menjadi faktor penyebab putusnya hubungan silaturahim, karena adanya perebutan hak, atau masalah anak-anak yang kadang membuat orang tua ikut terlibat;

·         Kurangnya kesabaran menghadapi kerabat. Misalnya, ketika seorang kerabat lupa mengundang kerabatnya dalam acara-acara tertentu, terkadang itu dianggap sebagai kesengajaan atau penghinaan. Prasangka itu pada akhirnya mengarah kepada permusuhan dan ketidakakuran.

     

     Oleh: Muhammad ibnu Ibrahim Al-Hamd

www.islamweb.net