Setelah Sepuluh Hari Pertama Ramadhan Berlalu

| IslamWeb

Oleh: Misy`al ibnu Abdil Aziz Al-Falâhi

Sepuluh hari pertama Ramadhan telah pergi, atau hampir berlalu. Ada banyak pertanyaan bergejolak di dalam jiwa di saat-saat perpisahan dengan sepertiga pertama bulan agung ini. Berapakah kebaikan kita yang telah diabadikannya untuk kita? Dan berapakah keburukan kita yang telah dicatat di dalamnya? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan panjang yang bergelayut di dada pada saat-saat seperti ini.

Pertanyaan Pertama: Seberapa besar Agama ini mendapatkan porsi perhatian kita? Apakah kita telah hidup untuknya? Ataukah kita hidup untuk diri kita sendiri dan orang-orang terdekat kita saja? Berapa besar perjuangan yang telah kita kerahkan untuknya? Seberapa besar pikiran yang kita persembahkan untuknya? Kehidupan adalah sesuatu yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan makhluk-makluk lain. Tidak ada perbedaan kecuali dengan ketinggian obsesi dan sasaran yang ingin diraih di dalamnya. Menjelang sepuluh hari kedua Ramadhan, saya berharap semoga saya dan Anda semua tidak termasuk golongan yang disinyalir dalam firman Allah—`Azza wajalla—(yang artinya): "Mereka rela berada bersama orang-orang yang tertinggal…" [QS. At-Taubah: 87]

Kaum muslimin generasi awal telah tiada, dan sejarah mengabadikan untuk kita sebuah perkataan Bakar ibnu Abdillah: "Barang siapa yang ingin melihat orang paling berilmu yang kami dapati pada zamannya, maka lihatlah Al-Hasan, karena kami tidak menemukan orang yang lebih berilmu daripadanya. Barang siapa yang ingin melihat orang yang wara' (hati-hati dalam hidup) yang kami temukan pada zamannya, maka lihatlah Muhammad ibnu Sîrîn, karena ia biasa meninggalkan beberapa perkara yang halal karena takut berdosa. Barang siapa yang ingin melihat orang paling banyak ibadah yang pernah kami temukan, maka lihatlah Tsâbit Al-Bunâni, karena kami tidak pernah melihat orang yang lebih banyak beribadah daripadanya. Barang siapa yang ingin melihat orang paling bagus hafalannya yang kami temukan pada zamannya dan paling layak meriwayatkan hadits sebagaimana ia mendengarnya, maka lihatlah Qatâdah."

Alangkah indahnya, seandainya saya dan Anda termasuk salah satu dari mereka ini.

Pertanyaan Kedua: Hangatnya kebahagiaan yang kita rasakan di awal Ramadhan seakan bertanya kepada kita, apakah hati kita masih mengagungkan bulan ini? Masihkah hati kita merasakan kesuburan hari-harinya? Ataukah perasaan kita sudah kembali seperti semula, dingin di saat-saat kebaikan melimpah, dan lemah di musim ketaatan seperti ini?

Semoga Allah merahmati generasi salafushshalih. Biografi mereka seakan menceritakan dunia khayalan, ketika misalnya Al-Awza`i menceritakan, "Sa`id ibnul Musayyab memiliki keutamaan yang sepengetahuan kami tidak dimiliki oleh seorang pun dari kalangan tabi`in yang lain. Ia tidak pernah absen shalat berjemaah di mesjid selama empat puluh tahun. Dalam dua puluh tahun di antaranya, ia tidak pernah melihat tengkuk-tengkuk orang lain."

Istri Masrûq bercerita, "Demi Allah, tidaklah Masrûq bangun pada suatu malam melainkan betisnya bengkak karena lamanya ia berdiri (shalat). Kadang aku duduk di belakangnya sambil menangis karena kasihan kepadanya. Jika malam sudah larut, dan ia merasa letih, ia shalat sambil duduk, dan tidak mau meninggalkan shalat. Jika selesai shalat, kadang ia merangkak seperti kuda karena lelah."

Abu Muslim berkata, "Seandainya aku melihat Surga dengan mata kepalaku atau melihat Neraka dengan mata kepalaku, niscaya aku tidak bisa lagi memiliki tambahan amal. Seandainya dikatakan kepadaku bahwa neraka Jahanam sedang dinyalakan, aku pun tidak akan mampu lagi menambah amalku."

Ia juga berkata, "Apakah para shahabat Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengira bahwa mereka mengalahkan kita untuk dekat dengan beliau. Demi Allah, aku akan berpacu dengan mereka untuk mendekati beliau, agar mereka mengetahui bahwa di belakang mereka juga adalah para hamba-hamba sejati."

Mengaca pada riwayat-riwayat ini, berapa banyakkah shalat jemaah yang kita tinggalkan? Berapakah amal sunnah yang lenyap ditelan hiruk-pikuk kegiatan kita? Sudah berapa banyakkah daging saudara kita yang kita 'cabik' dengan 'taring-taring' kita? Berapa banyakkah pengkhianatan yang telah dilakukan oleh mata kita dalam hal-hal yang haram? Berapa banyakkah langkah dosa yang telah dilakoni oleh kaki kita? Berapa banyak dinding-dinding keharaman yang telah kita terobos? Maksiat, apa pun bentuknya, bahkan walaupun kita masih melakukannya pada malam-malam Ramadhan, janganlah jadikan ia sebagai parit yang mengelilingi kita.

Seorang ulama mengatakan, "Cela mana pada maksiat yang membuat engkau tidak menjauhinya? Waktu yang diambilnya dari usiamu yang berharga ketika engkau melakukannya, dan itu tidak akan hilang begitu saja, tetapi tetap menjadi kesialan bagimu? Ataukah lubang yang digalinya di dalam hati dan akalmu, lalu ia hiasi dengan kegemaran dan kecanduan, serta menjadi kenangan lampau yang dihiasi Syetan untuk memperdayamu melakukan hal yang sama? Ataukah rasa berat melakukan ketaatan dan ibadah, serta rasa bosan dan kehilangan kelezatan dalam melaksanakannya? Ataukah berpalingnya Allah darimu, dan Dia biarkan engkau dengan dirimu sendiri sehingga engkau terjatuh ke dalam dosa? Ataukah ciri khusus yang membedakanmu dengan orang lain ketika maksiat itu memasukkanmu ke dalam golongan para penjahat yang bejat? Ataukah rasa takut bila kelak hatimu berpaling dari Islam ketika engkau sudah mencium aroma kematian di saat sakaratul maut? Celakalah seandainya engkau mati tidak dalam pelukan Islam."

Pertanyaan Ketiga: Wahai para dai, tokoh-tokoh perbaikan, kaum pendidik, hitunglah pada bulan Ramadhan ini, kebaikan apa yang telah Anda persembahkan untuk masyarakat Anda dan Agama Anda, sudahkah Anda berhasil memilih cara yang tepat dalam menyampaikannya? Karena kesuksesan seorang pedagang tergantung kepada caranya menawarkan barangnya. Dan Anda lebih penting memiliki cara yang baik dan penyampaian yang menarik daripada para pedagang itu.

Masyarakat Anda, dengan segala elemennya, apakah yang sudah Anda persembahkan untuk mereka? Mesjid di komplek rumah Anda, tetangga Anda, dan karib kerabat Anda lebih berhak mendapatkan perlakuan baik Anda. Lalu sebesar apakah perhatian yang telah Anda berikan kepada mereka?

Inilah beberapa pertanyaan yang sering terucap. Bukankah Ramadhan merupakan kesempatan yang terbuka untuk menjawab semuanya? Saya berharap demikian.

Saya hanya berharap, semoga Anda tidak mengeluarkan diri Anda dari gerbong para dai, para tokoh perbaikan, dan para pendidik, siapa pun Anda, dan bagaimana pun kondisi Anda. Ini adalah tanggung jawab semua individu. Semakin pandai kita melarikan diri dari tanggung jawab, semakin kita membutuhkan orang yang menyelamatkan dan mengeluarkan kita dari kesesatan yang besar.

Abu Ishaq Al-Fazâri berkata, "Aku tidak melihat ada orang yang seperti Al-Auza`i dan Ats-Tsauri. Al-Awza`i adalah seorang laki-laki dari kalangan umum. Sedangkan Ats-Tsauri adalah dari kalangan khusus. Seandainya aku disuruh memilih untuk umat ini, niscaya aku akan memilihkan Al-Auza`i."

Terakhir, sepuluh hari yang pertama telah berlalu. Seandainya kita telah melakukan kelalaian di dalamnya, maka tangisan dan jeritan tidak akan berguna lagi. Namun hari-hari Ramadhan yang tersisa kini masih lebih banyak daripada yang telah pergi. Marilah kita perlihatkan kepada Allah kebaikan diri kita. Kita berlindung kepada Allah dari berlanjutnya episode kelalaian dan kemalasan dalam diri kita. Pertemuan dengan Ramadhan berikutnya bukanlah sesuatu yang bisa kita pastikan. Sedangkan kematian terus menanti. Sebuah kerugian, meskipun kecil dan remeh, bagi hamba-hamba sejati tetaplah sebuah keburukan besar.

Selamat jalan sepuluh hari pertama Ramadhan. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari Neraka serta memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang menang. Semoga Allah menolong kita semua untuk beramal lebih baik pada sisa bulan Ramadhan yang masih ada. Semoga Allah senantiasa memelihara kita semua.

www.islamweb.net