Bulan Ramadhan adalah kesempatan paling besar untuk bertobat dan kembali kepada Allah. Ia adalah bulan yang penuh rahmat, bulan penghapusan dosa dan kesalahan, bulan keselamatan dari Neraka dan kemenangan meraih Surga. Orang yang berbahagia adalah orang yang menyadari hal ini lalu bersegera melakukan hal-hal yang mendekatkan dirinya denganTuhannya melalui tobat, istigfar, serta menyesali segala kesalahan yang telah diperbuat.
Jika ada yang tidak juga bertobat pada bulan Ramadhan ini, di bulan apa lagi ia akan bertobat? Jika saat pintu-pintu Surga terbuka lebar, pintu-pintu Neraka tertutup rapat, dan Syetan-syetan dibelenggu, ada yang masih belum mau kembali kepada Allah, lalu kapan lagi ia akan melakukannya? Kapankah lagi ia akan melepaskan diri dari maksiat?
Sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan tobat dan ampunan, bulan pembebasan dari Neraka. Merugilah seseorang yang bertemu dengan bulan Ramadhan lalu keluar darinya tapi belum mendapat ampunan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: "Betapa hinanya seseorang yang memasuki Ramadhan kemudian berpisah dengannya sebelum ia diampuni." [HR. At-Tirmîdzi. Menurut Al-Albâni: shahîh]
Mengapa kita tidak bertobat padahal Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah membentangkan tangan-Nya bagi orang-orang yang bertobat? Mengapa kita tidak mau bertobat sementara Allah telah membuka pintu tobatnya bagi orang-orang yang mau menyesali dosa-dosanya? Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy`ari—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya Allah—Subhânahu wata`âlâ—membentangkan tangan-Nya pada malam hari supaya bertobat orang-orang yang berbuat maksiat di siang hari. Dan Dia membentangkan tangan-Nya di siang hari supaya bertobat orang-orang yang bermaksiat di malam hari; hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya." [HR. Muslim]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Dzarr Al-Ghifâri—Semoga Allah meridhainya, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menyebutkan bahwa Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian selalu berbuat salah di siang dan malam hari, sementara Aku mengampuni semua dosa-dosa. Maka mohon ampunlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian." [HR. Muslim]
Wahai pelaku dosa, ingatlah bahwa rahmat Allah begitu luas. Bukankah Dia yang telah membuka pintu tobat untuk orang-orang munafik? Dia berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka. Dan engkau sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang bertobat dan mengadakan perbaikan [melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk memperbaiki perbuatan buruk yang pernah dilakukannya] dan berpegang teguh pada (agama) Allah, serta tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang-orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar." [QS. An-Nisâ': 145-146]
Bahkan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menghina-Nya pun tidak dikecualikan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—dari keluasan rahmat-Nya. Mereka berkata, seperti diceritakan dalam firman Allah (yang artinya): "'Tangan Allah terbelenggu (kikir)', sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu. Dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbentang." [QS. Al-Mâ'idah: 64]. Allah tidak mengecualikan mereka dari rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu. Tentang mereka ini, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Mâ'idah: 74]
Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga berfiman tentang orang-orang musyrik (yang artinya): "Jika mereka bertobat, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudara kalian seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui." [QS. At-Taubah: 11]
Bukankah Allah yang telah memanggil umat Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang telah melampaui batas dalam maksiat, serta menyuruh mereka bersimpuh di hadapan-Nya? Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Az-Zumar: 53]
Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga memanggil orang-orang yang beriman untuk bertobat, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat nasûhâ (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Tuhan kalian menutupi kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." [QS. At-Tahrîm: 8]
Bagaimana mungkin Allah tidak memanggil mereka untuk diberi ampunan, sedangkan manusia yang paling mulia, paling agung, dan paling bertakwa di antara mereka, yaitu Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang pun senantiasa mengajak umat beliau untuk meminta ampun. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang." [QS. Al-Fath: 1-2]. Allah juga berfirman (yang artinya): "Dan Kami telah menghilangkan darimu beban (dosa)-mu." [QS. Asy-Syarh: 2]. Namun demikian, beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia bertobatlah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya aku bertobat kepada-Nya seratus kali dalam sehari." [HR. Muslim]
Bukankah merupakan kewajiban bagi diri kita untuk menghadapkan muka kepada Allah pada bulan yang mulia ini? Bulan yang bertabur karunia kedermawanan Allah. Di antara bentuk kedermawanan-Nya adalah betapa Dia sangat senang dengan tobat hamba yang pernah bermaksiat kepada-Nya. Allah menyukai tobat orang yang pernah melanggar dan mengabaikan perintah-Nya. Dia berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." [QS. Al-Baqarah: 222]
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Sungguh Allah begitu gembira melihat seorang hamba-Nya yang bertobat kepada-Nya, melebihi kegembiraan seseorang dari kalian yang sedang bersama hewan kendaraannya di tengah padang pasir, lalu tiba-tiba hewan itu lari darinya sementara makanan dan minumannya ada bersama hewan itu. Ia pun kehabisan harapan utnuk mendapatkan kembali tunggangannya itu, sehingga ia mendatangi sebuah pohon dan berbaring di bawah naungannya dalam keadaan putus asa. Ketika ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba hewan tunggangannya telah berdiri di dekatnya. Ia pun segera memegang tali kekang hewan itu dan berseru, 'Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu'. Ia salah berucap kerena demikian gembiranya." [HR. Muslim]
Disinilah kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri tentang kualitas tobat kita, apakah ia diterima oleh Tuhan kita atau tidak? Karena tobat yang benar memiliki tanda-tanda yang dapat diketahui. Imam Ibnul Qayyim menyebutkannya dalam kitab Madârijus-Sâlikîn:
"Taubat yang benar dan diterima memiliki tanda-tanda. Di antaranya: (Pertama), setelah bertobat, pelakunya menjadi lebih baik daripada sebelum bertobat. (Kedua), Rasa takut kepada Allah selalu menyertainya. Ia tidak pernah, walau sekejap mata, merasa telah aman dari kemungkinan Allah meninggalkannya. Rasa takutnya akan terus berlanjut hingga ia mendengar perkataan Malaikat untuk mencabut ruhnya, seperti disebutkan dalam ayat (yang artinya): 'Janganlah kalian takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan Surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian.' [QS. Fushshilat: 30]. Ketika itulah baru rasa takutnya hilang. (Ketiga), hatinya tercabik-cabik karena rasa penyesalan dan takut. Ini tentunya sesuai dengan ukuran besar kecilnya dosa yang ia lakukan. Inilah penafsiran Ibnu `Uyainah terhadap firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya), 'Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka telah hancur luluh (sangat bersedih karena penyesalan).' [QS. At-Taubah: 110]."
Ibnul Qayyim melanjutkan, "Tidak diragukan lagi, bahwa dahsyatnya rasa takut akan hukuman yang besar dari Allah jelas membuat hati sesak dan seakan terlepas. Inilah yang dimaksud dengan kondisi hati mereka hancur luluh. Dan inilah hakikat tobat, karena pelakunya merasakan betapa hatinya tercabik-cabik karena menyesali dosa yang pernah diperbuat, juga karena rasa takut akan hukuman berat yang akan menimpanya. Barang siapa yang di dunia hatinya tidak merasa tersayat-sayat karena pilu dan rasa takut atas dosa yang pernah ia perbuat, niscaya hatinya akan tersayat-sayat ketakutan di Akhirat kelak, saat kepastian itu terjadi, saat ia melihat balasan indah untuk orang-orang yang taat dan azab untuk para pembangkang yang tidak taat. Jadi ketersayatan hati itu pasti akan terjadi, kalau tidak di dunia pasti di Akhirat."
Di antara indikasi tobat yang benar juga adalah munculnya perasaan kepedihan hati yang tidak serupa dengan perasaan mana pun. Tidak terjadi kecuali pada orang-orang yang melakukan dosa, bukan karena rasa lapar atau latihan fisik, tidak juga dengan rasa cinta semata. Ia ada di luar semua itu. Kondisi di mana hati luluh sempurna di hadapan Tuhannya, di segala sisinya, sehingga membuatnya terlempar dan tergeletak hina di hadapan Tuhannya, penuh rasa rendah dan khusyuk. Keadaan seperti ini akan memberikan gabungan perasaan-perasaan mahal, mulai dari hati yang merasa tersayat, rasa hina, hingga rasa ketundukan di hadapan Allah. Perasaan-perasaan yang begitu berharga bagi seorang hamba, mengundang manfaat luar biasa untuk dirinya, sekaligus demikian berguna mendekatkannya kepada Tuhannya. Tidak ada yang lebih disukai oleh Allah melebihi ketundukan hati, perasaan hina, perasaan nista, dan ketergeletakan seorang hamba di hadapan-Nya dengan penuh kepasrahan diri.
Demi Allah, betapa manisnya munajatnya pada saat-saat seperti ini: "Aku memohon dengan kemuliaan-Mu dan kehinaanku, (betapa diri ini hina) kecuali bila Engkau mengasihaniku. Aku memohon kepada-Mu dengan kemahakuatan-Mu dan kelemahanku, kemahakayaan-Mu atas diriku, dan kebutuhanku kepada diri-Mu. Ubun-ubunku yang berdusta dan bersalah ini ada di tangan-Mu. Hamba-hamba-Mu selain diriku begitu banyak, sementara aku tidak memiliki Tuan selain diri-Mu, tidak ada tempat bersandar dan memohon perlindungan selain kepada-Mu. Aku memohon kepada-Mu seperti halnya orang-orang miskin. Aku berdoa kepada-Mu layaknya makhluk yang hina dina. Aku meminta kepada-Mu layaknya permohonan dari makluk buta yang dipenuhi ketakutan, layaknya permohonan makhluk yang lehernya tunduk ke haribaan-Mu, makhluk yang mautnya berada di tangan-Mu, makhluk yang berurai air mata di hadapan-Mu, makhluk yang tunduk hatinya kepada-Mu.
Semoga shalawat dan salam selalu terlimpah kepada hamba dan rasul utusan-Mu, Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga, para shahabat, dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau sampai hari Kiamat.