Berpuasa dan Berbuka dalam Perjalanan

23/11/2021| IslamWeb

 

Diriwayatkan dari `Aisyah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Hamzah Ibnu `Amr Al-Aslamy—Semoga Allah meridhainya—berkata kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Apakah saya boleh berpuasa dalam perjalanan?" Hamzah memang banyak berpuasa. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pun menjawab: "Kalau engkau mau puasa, silakan berpuasa. Dan kalau engkau mau berbuka, silakan berbuka." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas—Semoga Allah meridhai keduanya. Ia berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan. Beliau tetap berpuasa hingga sampai di `Usfân. Kemudian beliau minta dibawakan sebuah bejana berisi air. Lalu beliau minum di siang hari agar orang-orang melihatnya. Beliau pun tetap dalam kondisi berbuka hingga tiba di Makkah." Ibnu Abbas ketika itu mengatakan, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah berpuasa dalam perjalanan, dan pernah juga berbuka. Maka, barang siapa hendak berpuasa, silakan ia berpuasa. Dan barang siapa ingin berbuka, silakan ia berbuka." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Diriwayatkan dari Anas Ibnu Malik—Semoga Allah meridhainya. Ia berkata, "Kami pernah melakukan perjalanan bersama Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Orang yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, dan orang yang berbuka juga tidak mencela yang berpuasa." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Diriwayatkan dari Abû Sa`îd Al-Khudri—Semoga Allah meridhainya. Ia berkata, "Kami pernah berperang bersama Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pada bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada juga yang berbuka. Namun yang berpuasa tidak mencemooh orang yang berbuka, dan yang berbuka pun tidak mencemooh orang yang berpuasa. Mereka memandang bahwa, kalau orang merasa mempunyai kekuatan lantas ia berpuasa, maka hal itu bagus. Dan mereka juga memandang bahwa, siapa yang merasa lemah lantas ia berbuka, maka hal itu juga bagus." [HR. Muslim, At-Tirmidzi, dan Ahmad]

Dan diriwayatkan juga dari Abû Sa`îd Al-Khudri—Semoga Allah meridhainya. Ia berkata, "Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—ke Makkah, dan kondisi kami sedang berpuasa. Lalu kami singgah di suatu tempat. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pun bersabda: "Sesungguhnya kalian sudah dekat dengan musuh kalian. Berbuka puasa akan membuat kalian lebih kuat." Ketika itu, hal tersebut merupakan rukhshah (dispensasi, keringanan). Karenanya, di antara kami ada yang tetap berpuasa dan ada juga yang berbuka. Kemudian kami singgah lagi di tempat yang lain. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pun bersabda: "Sesungguhnya kalian akan mendatangi musuh kalian pada waktu pagi. Berbuka puasa akan membuat kalian lebih kuat. Maka berbukalah kalian!" Saat itu, hal tersebut telah menjadi suatu ketetapan. Karenanya, kami pun berbuka." Selanjutnya Abû Sa`îd Al-Khudri mengatakan, "Sungguh setelah itu, aku benar-benar pernah melihat kami berpuasa bersama Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam perjalanan." [HR. Muslim, Abû Dâwûd dan Ahmad]

 

 

Beberapa Pelajaran dan Hukum-hukum yang Dapat Dipetik:

(Lihat: Syarhu Ibnil Mulaqqin `alal `Umdah: V/268-272 dan Tahdzîbus Sunan: III/284)

1.    Adanya toleransi Islam, kemudahan Syariat, dan diperhatikannya kondisi para mukallaf (orang-orang yang sudah menanggung kewajiban-kewajiban agama). Alhamdulillâh.

2.    Musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) dapat memilih antara berbuka dan tetap berpuasa. Namun tuntunan As-Sunnah bagi seorang musafir adalah hendaknya ia melakukan hal yang paling mudah baginya. Hadits-hadits tadi menunjukkan bahwa ia dapat memilih dalam hal ini.

3.    Yang paling baik bagi orang yang merasa sulit untuk berpuasa adalah berbuka. Sedangkan orang yang merasa sulit mengqadha puasa namun tidak merasa berat jika berpuasa ketika dalam perjalanan, maka yang paling baik adalah ia tetap berpuasa dalam perjalanan, untuk melepas tanggung jawabnya dan menghilangkan kesulitan yang membebaninya.

4.    Yang paling baik bagi orang yang selalu bepergian atau sering melakukan perjalanan karena tuntutan pekerjaan, seperti para sopir mobil-mobil angkutan dan semacamnya, adalah mereka tetap menjalankan puasa wajib dalam perjalanan mereka jika puasa tidak mendatangkan mudharat kepada mereka dan tidak menyusahkan mereka, untuk membebaskan tanggung jawab mereka. Bahkan, puasa wajib tetap harus mereka lakukan jika tidak tersedia cukup waktu bagi mereka untuk mengqadha. Seperti orang yang memang bepergian itu sudah menjadi kebiasaannya.

5.    Seorang mukallaf sebaiknya selalu berupaya membebaskan diri dari tanggung jawab melaksanakan kewajiban-kewajiban agama sesuai kemampuan.

6.    Yang diriwayatkan dari Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam perjalanan-perjalanan beliau adalah berbuka dan berpuasa berdasarkan pertimbangan yang dapat mewujudkan kemaslahatan yang jelas, menepis kerusakan, serta menghilangkan kemudharatan dan kesulitan. Dan seorang muslim harus konsisten mengikuti tuntunan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam hal tersebut.

7.    Dalam hadits Hamzah Al-Aslamy—Semoga Allah meridhainya—terdapat dalil tentang anjuran bertanya untuk mendapatkan ilmu dalam setiap perkara yang dihadapi seseorang, dari sisi kebolehan dan keutamaan perkara itu, sebagaimana yang dahulu dilakukan oleh para sahabat—Semoga Allah meridhai mereka.

8.    Seorang pemimpin dapat memerintahkan orang-orang untuk melaksanakan rukhshah (keringanan, dispensasi), sehingga pada ketika itu rukhshah pun menjadi suatu ketetapan yang tidak boleh dilanggar, karena wajib mematuhi pemimpin. Dan mematuhi pemimpin dalam kondisi ini bukanlah kepatuhan dalam kemaksiatan.

9.    Seorang pemimpin harus berlaku lemah lembut terhadap rakyatnya dan menjaga kondisi orang-orang yang lemah di antara mereka. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memerintahkan semuanya untuk berbuka puasa agar mereka menjadi lebih kuat ketika bertemu musuh, padahal di antara mereka ada yang staminanya tidak terpengaruh oleh puasa karena telah terbiasa berpuasa. Namun di antara mereka ada orang yang menjadi lemah karena puasa. Sehingga beliau menyuruh semuanya berbuka puasa demi menjaga mereka yang kondisinya bisa menjadi lemah karena berpuasa.

10. Ada kelapangan pada hukum-hukum yang di dalamnya seorang mukallaf dapat menentukan pilihan. Karenanya tak perlu ada yang diingkari. Demikian juga masalah-masalah khilâfiyah (yang diperdebatkan) yang belum jelas dalilnya. Perkara di dalamnya Insya Allah luas dan lapang.

11. Perbedaan di kalangan kaum muslimin dalam masalah mengambil rukhshah agama atau dalam memahami teks-teks agama, seharusnya tidak menjadi penyebab perpecahan dan permusuhan.

12. Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan tingkat persaudaraan, rasa cinta serta pemahaman terhadap agama yang terdapat pada diri para shahabat—Semoga Allah meridhai mereka. Sehingga orang yang mengambil rukhshah tidak mencela orang yang tetap berpuasa, dan orang yang berpuasa tidak mencemooh orang yang mendapat keringanan untuk berbuka.

13. Boleh melakukan perjalanan di bulan Ramadhan, karena Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pun melakukan perjalanan di bulan Ramadhan pada tahun terjadinya penaklukkan kota Makkah. (At-Tamhîd: XXII/48).

14. Orang yang hendak melakukan perjalanan keesokan harinya, tidak boleh berniat akan berbuka pada malam harinya. Karena ia tidak dikatakan sudah musâfir dengan adanya niat itu, tetapi dengan sudah dilakukannya perjalanan. (At-Tamhîd: XXII/49).

15. Orang yang berencana akan melakukan perjalanan, tidak boleh berbuka ketika masih berada di tempat kediamannya sampai ia betul-betul pergi atau menaiki kendaraannya. (At-Tamhîd: XXII/49).

 

 

 

www.islamweb.net