Ibadah, Antara Masa-masa Rajin dan Masa-masa Malas

6-10-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

Seorang hamba ingin mendekatkan diri kepada Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dengan beberapa amalan sunnah, tetapi terkadang ia merasa malas melakukannya, padahal ia menemukan kenikmatan dalam beribadah. Apakah ia tetap diberi pahala atas ibadah tersebut walaupun ia berada dalam keadaan malas?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Jiwa yang ada di dalam diri seorang hamba memiliki masa-masa saat ia bersemangat dan masa-masa saat ia malas. Terkadang, jiwa manusia berada pada kondisi yang begitu baik dan prima, sehingga ia pun merasakan kenikmatan, kedamaian, dan ketenteraman dalam beribadah dan bergaul dengan orang-orang di sekelilingnya. Tetapi ada kalanya kondisi prima itu berkurang dan vitalitas diri melemah. Memang demikianlah tabiat manusia. Jarang sekali Anda menemukan seseorang yang selalu stabil dalam kebaikan dan tidak pernah tersentuh oleh keburukan.

Dalam hal ibadah, seorang hamba terkadang merasa kuat dan bersemangat, namun terkadang ia juga merasakan yang sebaliknya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari `Abdullâh ibnu `Amr—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sungguh, setiap amalan itu memiliki masa-masa semangatnya, dan setiap masa-masa semangat itu memiliki masa futûr (luntur)-nya. Barang siapa yang masa futûrnya menuju Sunnahku berarti ia telah mendapat hidayah, dan barang siapa yang masa futûrnya itu menuju ke selain itu maka berarti ia celaka." [HR. Al-Baihaqi; sanadnya shahîh]

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang hamba terkadang merasa bersemangat dan kuat (dalam beribadah), tetapi terkadang merasa jenuh dan luntur (futûr). Masa-masa futûr ini terkadang dilalui seseorang dengan tetap berada dalam koridor Sunnah, kebaikan, dan menjaga amalan-amalan dasar, seperti shalat lima waktu. Artinya, ia tidak terputus dari amal shalih secara total. Orang yang seperti ini tetap berada di atas kebaikan. Adapun jika ia benar-benar terputus dari amal shalih secara total, maka ia pun akan berada dalam bahaya, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tersebut: "Berarti ia celaka."

Tidak diragukan lagi, bahwa dalam masa futûr ini, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—tetap memberinya pahala atas ibadah yang ia lakukan. Bahkan bisa saja pahalanya lebih besar, jika dilihat dari dua sisi: pertama, karena ia tetap melaksanakan dan menjaga ibadahnya; kedua, karena ia tetap melawan rasa malas dalam dirinya serta tetap beramal.

Intinya, barang siapa yang terbiasa melakukan suatu amal kebaikan secara rutin maka hendaklah ia berusaha melawan rasa malas dalam dirinya, agar ketika datang masa futûr itu ia tidak sampai terputus total dari amal shalih tersebut. Ia boleh mengurangi ibadah (sunnah)-nya sejenak sampai vitalitas dan semangatnya kembali dan rasa jenuhnya menjadi pergi.

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net