Menyakiti Istri Agar Mau Menebus Maharnya adalah Suatu Bentuk Kezaliman yang Terlarang

7-4-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

Saya memiliki teman seorang perempuan yang telah menikah secara terpaksa dengan anak pamannya sejak empat bulan yang lalu. Suaminya ini tidak menghargainya dan keluarganya. Sejak hari pertama pernikahan mereka, laki-laki itu sudah banyak menghina dan memukulnya, serta memintanya untuk tidak mengunjungi keluarga dan kerabatnya. Laki-laki itu tidak melakukan apa-apa kecuali berdasarkan pendapat ibunya. Intinya, wanita ini ingin bercerai, tapi suaminya menuntut mahar yang telah dibayarkannya tunai, berjumlah empat puluh ribu Riyal. Perlu diketahui, bahwa laki-laki itulah yang sebelumnya memaksa wanita ini untuk menikahinya. Mohon penjelasannya, apakah si suami berhak menerima kembali mahar tersebut atau tidak?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Seorang suami tidak boleh menyakiti istrinya dan menekannya untuk mendapatkan kembali mahar yang telah ia bayarkan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya." [QS. An-Nisâ': 19]

Ibnu Al-Mundzir berkata, "Para ulama sepakat melarang suami untuk mengambil harta istrinya kecuali jika pembangkangan dan perilaku tidak baik itu bersumber dari dirinya (istri)." Dalam kondisi seperti itu, suami harus mempertahankannya dengan cara yang baik atau menceraikannya dengan cara yang baik pula.

Kesimpulannya, suami tidak boleh mengambil tebusan atas perceraiannya kecuali apabila kedurhakaan bersumber dari pihak istri dan suami sama sekali tidak pernah menyakitinya, atau si istri ingin bercerai dengannya bukan karena durhaka. Jika demikian kondisinya, suami boleh mengambil tebusan perceraian dari si istri. Tapi sebaiknya, ia tidak mengambil apa yang telah ia bayarkan sebagai mahar, sebagaimana yang diusulkan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—kepada Tsâbit ibnu Qais, dan sebagaimana masalah ini termasuk dalam keumuman firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): ".atau menceraikannya dengan cara yang baik."

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net