Hukum Menggabungkan Niat Puasa Qadhâ` dengan Puasa Sunnah

31-3-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

1. Mohon penjelasan tentang puasa Qadhâ', termasuk kondisi-kondisi yang membolehkan pelakunya untuk membatalkannya, dan berbagai kemungkinan terjadinya hal itu;2. Saya memiliki kewajiban meng-qadha` puasa dalam jumlah yang banyak. Pertanyaannya, apakah puasa Ayyâmul Bîdh (tanggal 13, 14, 15) setiap bulan Hijriah, begitu juga puasa-puasa sunnah lainnya, seperti puasa Arafah dan lain-lain, tetap bisa mendapat nilai puasa sunnah, sementara saya masih meng-qadhâ' puasa saya yang tertinggal.

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Puasa Ramadhân yang ditinggalkan seorang mukallaf karena suatu sebab, wajib di-qadhâ' (diganti di hari lain). Hal ini berdasarkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Barang siapa yang ditimpa sakit atau sedang berada dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." [QS. Al-Baqarah: 185]

Namun qadhâ' tidak wajib dilaksanakan segera, juga tidak disyaratkan harus berurutan, kecuali jika bulan Sya`bân hanya tersisa sejumlah hari puasa yang wajib di-qadha', sehingga qadhâ' puasa tidak boleh lagi ditunda. Hal itu disebutkan dalam sebuah hadîts yang diriwayatkan dari `Âisyah—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia berkata, "Aku pernah mempunyai utang puasa Ramadhân, lalu aku tidak bisa meng-qadhâ'-nya kecuali di bulan Sya`bân." [HR. Al-Bukahâri dan Muslim]

 

Siapa yang menunda qadhâ' puasa Ramadhân sampai masuk bulan Ramadhân berikutnya, tanpa ada halangan yang bisa diterima oleh Syariat, seperti sedang dalam perjalanan atau sakit, maka ia berdosa. Konsekuensinya, ia wajib segera meng-qadhâ' puasanya disertai dengan membayar kafarat kecil, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap puasa yang ia qadha'.

Sebagaimana tidak wajib dilakukan segera, puasa qadha' juga tidak wajib dilakukan secara berurutan. Tetapi apabila pada suatu hari, seseorang sudah memulai puasa dengan niat qadhâ' puasa Ramadhân maka ia tidak boleh membatalkan puasa hari itu tanpa halangan yang diterima oleh Syariat, karena keluasan waktu untuk menunda qadha' puasa hanya berlaku sebelum seseorang memulainya. Adapun jika sudah mulai berpuasa maka ia wajib menyelesaikannya sampai waktu berbuka.

Adapun orang yang sengaja meng-qadhâ' puasa Ramadhân pada hari-hari yang dianjurkan berpuasa—seperti Ayyâmul Bîdh, hari Arafah, dan sejenisnya—atau ia meng-qadhâ' puasanya bertepatan dengan hari-hari tersebut, dan ia berpuasa dengan niat qadhâ' saja tanpa niat puasa yang lain, diharapkan ia juga tetap mendapatkan pahala puasa sunnah itu seperti orang lain yang berpuasa pada hari-hari tersebut.

Adapun jika ia menggabungkan niat puasa qadhâ' dengan niat puasa sunnah, apakah puasa qadhâ'-nya sah? Ataukah hanya dianggap sebagai puasa sunnah? Ataukah tidak sah kedua-duanya? Ini menjadi permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Karena itu, untuk lebih aman dalam menjalankan kewajiban tanpa terlibat dalam permasalahan yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama, maka yang paling baik bagi orang yang harus meng-qadhâ' puasa adalah tidak menggabungkan niat puasa qadhâ' dengan niat puasa lainnya. Wallâhu a`lam

www.islamweb.net