Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Sejarah Islam
  5. Tokoh Islam
  6. Pemimpin

Sultan Abdul Hamid II

Sultan Abdul Hamid II

"Mereka tidak akan pernah bisa merebut Palestina, kecuali setelah mereka memotong-motong tubuhku. Saat itu, mereka boleh mengambilnya secara percuma. Namun selama aku masih hidup, mereka tidak akan pernah bisa menyentuhnya," [Sultan Abdul Hamid II]

Sultan Abdul Hamid II dilahirkan pada tahun 1258 H. / 1842 M. Ia tumbuh besar dalam istana Khilafah Utsmaniyah (Turki Utsmani) yang menjadi pusat perhatian kaum muslimin. Khilafah Utsmaniyah merupakan sandaran terbaik yang dijadikan tempat berlindung oleh kaum muslimin dari kejahatan musuh-musuh Islam ketika itu.

Hari-hari berlalu, dan tibalah masanya bagi Abdul Hamid II untuk memikul tanggung jawab di saat khilafah Turki Utsmani mendapatkan ancaman dari segala penjuru. Ia diangkat menjadi khalifah ketika Syaikhul Islâm di istana Khilafah Utsmaniyah mengeluarkan fatwa bersejarah dengan melengserkan Sultan Murad V dan mengangkat adiknya, Abdul Hamid II, sebagai khalifah kaum muslimin.

Sebelum menjalankan tugas-tugas barunya sebagai khalifah (sultan), Abdul Hamid II melaksanakan shalat dua rakaat sebagai tanda syukur, di mesjid Abu Ayyûb Al-Anshâri. Di mesjid itu pula, ia menerima langsung dari Syaikhul Islâm pedang Umar Ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—yang menjadi pedang kekhalifahan. Pawai pengangkatan khalifah di mulai dari sana, untuk kemudian berkeliling di jalan-jalan ibukota kesultanan Turki Utsmani, Istanbul. Bunga dan wewangian ditebarkan dari jendela-jendela rumah, untuk merayakan kehadiran Sultan yang baru. Ketika rombongan pawai sampai di dekat kuburan orang tua dan nenek moyangnya yang merupakan para pejuang heroik, Sultan turun dari kendaraannya, lalu mendoakan semoga Allah merahmati dan mengampuni mereka, sebagai wujud kesetiaan kepada mereka.

Sultan Abdul Hamid II memulai pemerintahannya dengan awal indah yang menunjukkan kebanggaannya kepada Islam dan ajaran-ajarannya. Peraturan yang pertama ia keluarkan adalah undang-undang yang menjamin persamaan bagi semua orang di hadapan hukum. Ia juga mengeluarkan perintah yang berisi kemerdekaan badan hukum, agar semuanya diterapkan sesuai dengan peraturan negara yang islami. Islam pun terus menjadi sumber undang-undang dan peraturan pada masa pemerintahannya. Ia juga sangat menghargai para ulama, dan tidak mau memutuskan perkara tanpa pertimbangan mereka. Ia sangat antusias berkonsultasi dengan mereka dan mendengarkan pendapat mereka.

Melalui tokoh mereka, Hertzel, kaum Yahudi berusaha membujuk Sultan Abdul Hamid II agar mengizinkan mereka membangun sebuah negara di Palestina (Baitul Maqdis). Mereka menyuguhkan uang kepadanya dalam jumlah yang begitu besar untuk ukuran saat itu. Diperkirakan nilainya 3 juta Poundsterling, ditambah dengan jumlah yang juga tidak sedikit untuk kesultanan Turki Utsmani setiap tahun. Semua itu akan didapatkan dengan syarat Sultan bersedia mengeluarkan pernyataan yang berisi izin bagi orang-orang Yahudi melakukan migrasi dan menetap di Palestina. Pada saat itulah Sultan Abdul Hamid II mengucapkan kata-katanya yang fenomenal dan ditulis oleh sejarah dengan tinta emas: "Aku tidak mau menyerahkan walaupun hanya sejengkal dari tanah negeri ini. Ia bukan milikku, tapi milik rakyatku. Mereka telah menyiram tanah ini dengan darah mereka. Silahkan orang-orang Yahudi itu menyimpan kembali harta mereka. Mereka tidak akan pernah mampu merebut Palestina kecuali setelah mereka memotong-motong tubuhku. Pada saat itu, mereka boleh mengambilnya secara percuma. Tapi selama aku masih hidup, mereka tidak akan pernah bisa menyentuhnya."

Konspirasi jahat Yahudi terus berlanjut. Hertzel berusaha lagi merayu Sang Sultan dengan tawaran yang lebih menggiurkan. Kesultanan Turki Utsmani pada saat itu memiliki hutang besar kepada Eropa. Orang-orang Yahudi berjanji melunasi seluruh hutang-hutang itu, dengan syarat Khalifah menerima permohonan mereka. Akan tetapi, Sultan Abdul Hamid II benar-benar merupakan seorang yang berpendirian kokoh laksana baja. Ia mengatakan, "Hutang bukanlah sesuatu yang aib, akan tetapi yang menjadi aib adalah bila aku menjual tanah untuk orang-orang Yahudi. Silahkan orang-orang Yahudi itu menyimpan kembali harta mereka. Kesultanan Utsmani tidak mungkin berlindung di balik benteng yang dibangun dengan dana musuh-musuh kaum muslimin."

Tipu daya dan konspirasi tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 1902 M., Hertzel meminta izin kepada Sultan untuk membangun sebuah Universitas Ibrani di Palestina, dengan dikelola oleh guru-guru Zionis. Sultan juga menolak tawaran ini, karena ia tahu bahwa universitas ini suatu saat akan dijadikan sebagai awal untuk menjajah negeri itu. Oleh sebab itu, ia pun dengan tegas menampik seluruh surat-surat mereka dan menolak hadiah yang mereka berikan.

Sejak saat itu, orang-orang Yahudi mulai menghasut Eropa dan Rusia untuk melawan Sultan Abdul Hamid II. Akibatnya, di daerah-daerah perbatasan, berbagai gerakan revolusi bergejolak. Rusia langsung mengumumkan perang melawan kesultanan Turki Utsmani. Eropa pun mulai mengkhianati perjanjian-perjanjian yang telah mereka sepakati dengan Turki Utsmani, lalu mengikuti Rusia untuk memerangi Sultan Abdul Hamid II.

Pada tahun yang sama, orang-orang Kristen di Tikrit melakukan pemberontakan atas provokasi Paus. Sultan pun melawan itu semua dengan diiringi doa-doa kaum muslimin dari belakang. Meskipun akhirnya kalah, namun para panglima dan prajurit Kesultanan Turki Utsmani telah menunjukkan sikap ksatria yang diakui oleh para musuh dari kalangan bangsa Eropa. Semua peristiwa itu tidak membuat Sultan berhenti melakukan berbagai perbaikan di seluruh penjuru Kesultanan Turki Utsmani. Ia menggiatkan pendidikan sipil dalam segala tingkatan dan bentuknya. Ia mendirikan Universitas Istanbul pada tahun 1885 M., yang pada awalnya dikenal dengan nama Dârul Funûn. Ia juga membangun asrama para pengajar, institut kesenian, serta sekolah dasar dan menengah sipil. Selain itu, ia juga memberikan perhatian kepada pendidikan militer, serta membangun perpustakaan-perpustakaan dan sekolah khusus bagi para dai.

Sultan Abdul Hamid II memperluas pembangunan jalur kereta api untuk transportasi haji, dengan tujuan memperpendek tempo perjalanan, sehingga semua orang dapat menjangkaunya. Ia juga menggunakan telegrap sebagai sarana terbaru untuk berkirim pesan, serta membangun proyek pembangunan universitas Islam. Ia berhasil melakukan semua itu dengan sukses. Ia juga berusaha mengembalikan wibawa khilafah seperti yang ada pada generasi awal Islam. Ia senantiasa menyeru kaum muslimin untuk bersatu. Dengan giat, ia menyebarkan seruan ini kepada semua kaum muslimin di seluruh negeri Islam.

Namun di sisi lain, secara diam-diam orang-orang Yahudi terus melakukan siasat untuk menjatuhkannya. Mereka menguasai media massa, lalu mereka sebarkan berita bohong tentang kehidupan pribadinya. Mereka juga membuka aibnya dan aib-aib keluarganya. Mereka berperan penting dalam membuat "Yayasan Persatuan dan Kemajuan Utsmani" yang melakukan revolusi militer selama satu tahun, dari tahun 1908 sampai 1909 M. Setelah itu, mereka akhirnya berhasil merenggut khilafah dari Sultan Abdul Hamid II, dan kemudian mengasingkannya ke Tesalonika pada bulan April 1909 M.

Abdul Hamid II menetap di pengasingannya sampai meninggal dunia pada tahun 1918 M., setelah menjadi khalifah di Kesultanan Turki Utsmani selama 34 tahun. Ia termasuk Sultan Turki Utsmani yang paling lama menjabat, sebagaimana ia juga merupakan Sultan yang paling banyak ditimpa fitnah dan tuduhan dusta.

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

Artikel Terkait