Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. ADAB ISLAM
  4. Adab Kepada Diri Sendiri

Tarbiyah Dzâtiyah (Mendidik Diri Sendiri); Mengapa?

Tarbiyah Dzâtiyah (Mendidik Diri Sendiri); Mengapa?

Sebuah wasiat penting pernah disampaikan oleh Abu Bakar kepada Umar—Semoga Allah meridhai keduanya—ketika ia memilih Umar sebagai khalifah yang menggantikannya. Wasiat itu berbunyi: "Sesungguhnya hal pertama yang aku peringatkan kepadamu adalah berhati-hatilah terhadap dirimu (hawa nafsumu) sendiri." Jihad (perjuangan) melawan hawa nafsu ini juga membutuhkan kesabaran. Barang siapa yang bersabar dalam melakukan jihad melawan hawa nafsu dan Syetannya, ia pasti akan sukses menaklukkannya, ia akan keluar sebagai pemenang, dan ia akan menjadi tuan yang terhormat bagi hawa nafsunya sendiri. Sebaliknya, siapa yang tidak bersabar dalam melakukan jihad itu, ia niscaya akan mengalami kekalahan, dan pada gilirannya, ia akan menjadi budak tawanan yang hina bagi hawa nafsunya sendiri. [Lihat: Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al-Hanbali]

Tema yang sedang kita bicarakan ini merupakan salah satu tema terpenting yang bersentuhan langsung dengan realita hidup para pemuda zaman sekarang. Tema ini sekaligus merupakan tema yang sangat mereka butuhkan. Karena jika tema ini dapat diterapkan dan membuahkan hasil, ia akan menimbulkan dampak positif yang besar dalam kehidupan banyak pemuda.

Dalam artikel ini, saya akan membahas tentang bagaimana kita mendidik diri kita sendiri. Pembahasan tentang pendidikan diri sendiri merupakan pembahasan yang sangat urgen. Anda tahu mengapa? Karena hal pertama yang menjadi tanggung jawab Anda adalah diri Anda sendiri. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi Anda untuk memperhatikan bagaimana Anda mendidik diri Anda sendiri, menjadikannya lebih baik, dan membuatnya mendapatkan kebahagian di dunia dan Akhirat.

Apa yang Dimaksud Dengan Pendidikan Diri?

Mungkin sekarang terlintas di dalam benak Anda sebuah pertanyaan, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pendidikan diri itu. Ketika kita membicarakan masalah pendidikan diri secara umum, atau masalah peran pemuda dalam pendidikan diri secara khusus, maka yang kita maksud adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seorang pemuda, baik secara personal maupun dengan berpartisipasi bersama program-program umum dan kolektif, untuk mendidik dirinya sendiri. Jadi, dalam pendidikan diri ini, setidaknya ada dua unsur penting: Pertama, adanya upaya personal murni yang dilakukan oleh pemuda yang bersangkutan. Kedua, adanya upaya semi personal yang dilakukannya dengan memanfaatkan media lain yang bersifat umum dan kolektif.

Mengapa Kita Harus Mendidik Diri Kita Sendiri?

Kita sangat perlu melakukan pendidikan terhadap diri kita sendiri. Karena jika ini tidak kita lakukan, maka kita akan menjadi orang yang sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—ketika membahas karakter orang yang lalai terhadap dirinya sendiri, serta tidak mempunyai tekad untuk menjalani hidup ini dengan kondisi diri yang baik, bersih, dan kuat. Ia berkata "Ia selalu terkungkung oleh karakter buruknya. Hatinya terhambat dari kesempurnaan yang menjadi dasar penciptaannya. Ia laksana penggembala kambing yang malas, membiarkan kambingnya berkeliaran kemana-mana. Ia merasa senang dengan kondisi santai dan menganggur, suka melenakan diri dengan ketidakberdayaan dan kemalasan." [Miftâhu Dâris Sa'âdah]

Di sini mungkin terlintas di dalam benak Anda pertanyaan lain seputar urgensi menyeru para pemuda agar memaksimalkan usaha dalam mendidik diri sendiri. Apakah gerangan sebabnya sehingga kita menyeru para pemuda untuk melakukan itu? Apa urgensinya? Dan apa konsiderannya?

Tidak diragukan lagi, bahwa ada sejumlah hal yang menjadi faktor pendorong bagi Anda, wahai kaum pemuda, untuk berupaya maksimal dalam memperhatikan dan mendidik diri. Di antara faktor-faktor itu ada yang berlaku untuk semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, baik kecil maupun besar. Di antaranya adalah:

1. Prinsip yang menyatakan: "Seseorang tidak akan menanggung dosa yang dilakukan oleh orang lain".

Ini merupakan prinsip yang menetapkan adanya tanggung jawab personal bagi setiap orang, sebagaimana yang Al-Quran ajarkan kepada kita. Setiap pemuda, dan bahkan setiap manusia yang Allah ciptakan, akan memikul tanggung jawabnya masing-masing. Tanggung jawab yang dipikulnya itu merupakan tanggung jawab personal. Hal itu sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al-Quran dengan gamblang dalam ayat (yang artinya): "Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhan kalianlah kembali kalian, lalu Dia memberitakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan di dalam (dada) kalian." [QS. Az-Zumar: 7]. Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga telah berfirman (yang artinya): "Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya." [QS. Al-Muddatstsir: 38]

Jika Anda membaca nas-nas di dalam Al-Quran dan Sunnah, Anda pasti akan menjumpai penegasan yang jelas tentang penetapan tanggung jawab personal bagi setiap orang. Hingga orang yang melakukan kesesatan karena tekanan orang lain sekali pun, baik tekanan tersebut bersifat pribadi maupun umum, juga tidak membuatnya terbebas dari tanggung jawab personal yang dipikulnya. Jika kita membuka Al-Quran, maka kita akan menjumpai di dalam banyak ayat contoh-contoh dialog yang berlangsung pada hari Kiamat kelak antara para pengikut dengan orang-orang yang mereka ikuti di dunia, juga antara orang-orang yang lemah dengan orang-orang sombong yang mereka ikuti. Orang-orang yang lemah itu mendatangi orang-orang sombong yang telah menyesatkan mereka di dunia, untuk meminta mereka menanggung sebagian siksaan yang mereka alami. Perhatikanlah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—berikut ini (yang artinya): "Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong, 'Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikut kalian, maka dapatkah kalian menghindarkan dari kami azab Allah (walaupun) sedikit saja?' Mereka menjawab, 'Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepada kalian. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri." [QS. Ibrâhîm: 21]

Sebagai contoh, seorang pemuda yang mengikuti jalan temannya yang sesat. Ia terus mengikutinya dari belakang, menjelajahi lorong-lorong kemaksiatan, hingga tergelincir bersamanya ke dalam kubangan dosa, dan tersesat di jalan yang gelap, yaitu jalan kesesatan yang jauh dari ketaatan kepada Allah. Maka pada hari Kiamat kelak, sang teman tersebut selain akan memikul dosanya sendiri, juga akan memikul dosa orang yang telah disesatkannya itu. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Agar mereka memikul dosa-dosa mereka dengan sepenuhnya pada hari Kiamat, juga sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu." [QS. An-Nahl: 25]

Namun, apakah pemuda lemah yang mengikuti kesesatan temannya itu akan terbebas dari pertanggungjawaban di hadapan Allah? Jawabannya adalah tidak. Ia tidak akan terbebas dari pertanggungjawaban itu. Bahkan usahanya ke sana ke mari untuk meminta pertolongan tidak akan dapat menyelamatkannya dari siksaan Allah. Ia akan datang menemui orang yang telah menyesatkannya untuk meminta pertanggungjawaban. Ia berharap sebagian siksaan yang dialaminya dapat dilimpahkan kepada orang yang telah menyesatkannya itu. Sebagaimana yang digambarkan dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikut kalian, maka dapatkah kalian menghindarkan dari kami azab Allah (walaupun) sedikit saja?' Mereka menjawab, 'Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepada kalian. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri." [QS. Ibrâhîm: 21]

Semua usaha yang dilakukannya itu tidak akan dapat membebaskannya dari pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Sekarang saya ingin bertanya kepada setiap pemuda yang insyâallâh pikiran dan hati mereka masih terhiasi oleh iman, "Bukankah ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa setiap orang, di lingkungan dan masyarakat mana pun ia berada, kelak akan memikul sendiri tanggung jawab personalnya? Hingga sekalipun ketika mengikuti kesesatan temannya itu, ia mengira sedang melakukan suatu kebaikan, semua itu tetap tidak akan dapat membuatnya terbebas dari pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Setelah mengetahui urgensi pendidikan diri dan pentingnya setiap kita mengemban tanggung jawab terhadap diri sendiri, hendaklah Anda wahai para pemuda bersegera untuk menceburkan diri ke dalam arena pendidikan diri, dan persiapkanlah apa-apa yang Anda perlukan untuk itu.

2. Prinsip yang menyatakan: "Anda akan datang kepada Allah kelak pada hari Kiamat secara sendiri-sendiri".

Mari kita kembali membuka kitab Allah, dan kita renungkan isi kandungannya. Karena dengan begitu, kita akan menemukan petunjuk dan jalan yang terang. Al-Quran kembali menegaskan pentingnya perihal yang sedang kita bicarakan ini, yaitu perihal pendidikan diri dan bahwa setiap orang akan memikul tanggung jawabnya sendiri, sehingga ia harus berupaya keras untuk mendidik diri. Kali ini, Al-Quran menegaskan kepada kita bahwa setiap orang, kelak pada hari Kiamat, akan dihadapkan kepada Allah sendiri-sendiri untuk menjalani proses penghitungan amal (hisab). Penegasan ini tentu semakin menguatkan adanya tanggung jawab personal yang harus dipikul oleh setiap orang, di samping juga semakin menegaskan pentingnya pendidikan diri. Karena setiap diri kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukannya selama hidup di dunia. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan takutlah kalian kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan orang lain sedikit pun, tidak akan diterima suatu tebusan darinya, tidak akan memberi manfaat syafaat apa pun kepadanya, dan tidak (pula) mereka akan ditolong." [QS. Al-Baqarah: 123]

Di dalam ayat lain, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari Kiamat dengan sendiri-sendiri." [QS. Maryam: 93-95]

Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah sendiri-sendiri, dan akan dihitung amalnya sendiri-sendiri pula. Oleh karena itu, setiap orang dituntut untuk menjalankan tanggung jawab masing-masing dalam mendidik, menyucikan, dan mengarahkan dirinya sendiri kepada jalan yang benar. Sehingga dengan demikian, diharapkan ia akan meraih kebahagiaan kelak pada hari Kiamat, hari yang di dalamnya harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang-orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih dan diri yang suci.

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga telah mengabarkan kepada kita gambaran kondisi yang akan berlaku pada hari itu. Beliau bersabda, "Setiap orang dari kalian akan diajak berbicara oleh Tuhannya pada hari Kiamat, tidak ada seorang penerjemah pun sebagai perantara antara ia dengan Tuhannya. Ia melihat ke arah kanan, namun tidak ada sesuatu pun yang dilihat selain perbuatan yang telah ia lakukan (di dunia). Dan ia melihat ke arah kiri, juga tidak ada sesuatu pun yang ia lihat selain amalan yang ia lakukan (di dunia). Kemudian ia melihat ke depan, dan ia melihat api Neraka telah ada di depan wajahnya. Maka selamatkanlah diri kalian dari api Neraka, meskipun dengan hanya menyedekahkan setengah biji kurma." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

3. Prinsip yang menyatakan: "Setiap manusia lebih tahu tentang dirinya sendiri".

Hal ketiga yang merupakan prinsip penting dalam mengungkap jawaban atas pertanyaan "mengapa kita harus mendidik diri kita sendiri?" adalah bahwa setiap manusia lebih mengetahui seluk beluk dirinya sendiri dibandingkan orang lain. Karena itu, adalah logis jika ia dituntut untuk mendidik dirinya sendiri, karena ia lebih tahu tentang dirinya ketimbang orang lain. Ia adalah orang yang paling tahu akan kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya, sehingga ia sendirilah orang yang paling mampu untuk berinteraksi dengan dirinya secara tepat. Orang bisa saja memperlihatkan keshalihan di hadapan banyak orang, atau melakukan kebaikan karena malu dan basa-basi, namun apa yang sebenarnya terjadi dalam dirinya, tiada orang yang lebih tahu kecuali dirinya sendiri. Maka dari itu, ia adalah orang yang paling mampu memperbaiki kekurangan-kekurangan dirinya sendiri, mengarahkan dirinya kepada jalan yang aman, serta menjaga dirinya sekuat tenaga agar tidak terperosok ke dalam lubang kehinaan dan kesesatan.

Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidak menciptakan manusia secara sia-sia, dan tidak membiarkan mereka hidup secara liar tanpa arah. Lihatlah, setelah menciptakan jasad manusia secara sempurna, lalu meniupkan ruh ke dalamnya, Allah memerintahkan para Malaikat untuk bersujud kepada manusia pertama itu. Kemudian Allah menurunkannya ke bumi bersama para jin untuk menghadapi berbagai ujian. Allah juga menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi agar dapat memakmurkan bumi dengan ketaatan kepada-Nya. Ad-Dusiri—Semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, "Khalifah Allah di muka bumi ini adalah makhluk yang dibebani hukum-hukum Allah untuk ia jalani sendiri dan untuk ia terapkan pula kepada selain dirinya."

Menurut para ahli pendidikan, setidaknya ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam suatu proses belajar mengajar. Ketiga unsur tersebut adalah: guru, metode pengajaran, dan murid. Tidak diragukan lagi, bahwa guru mempunyai peran yang besar dalam mendidik orang, serta melakukan perbaikan di tengah-tengah masyarakat. Namun selain melalui tangan guru, ada cara lain untuk mendapatkan pendidikan dan menyerap pengetahuan, yaitu apa yang kita namakan dengan Tarbiyah Dzâtiyah (Pendidikan Diri) ini. Dalam pendidikan diri, setiap orang berusaha mendidik dirinya sendiri serta mengarahkannya kepada jalan yang benar, sesuai dengan tujuan Allah ketika menciptakan dan mengangkatnya sebagai khalifah di muka bumi.

Oleh karena itu, sesunggunya setiap manusia memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendidik dirinya sendiri. Hal itu menjadi tanggung jawab yang harus dipikulnya di mana pun ia berada, baik ketika di bangku sekolah, di tempat kerja, di rumah, maupun di jalan. Ia dituntut untuk menggapai derajat kesempurnaan manusia yang seharusnya diidamkan oleh setiap orang yang sudah dewasa. Dan ia tidak akan menggapai derajat kesempurnaan tersebut kecuali dengan mengikuti tuntunan yang telah digariskan oleh Allah. Dalam hal ini, Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "Katakanlah: 'Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." [QS. Al-An'âm: 162-163]

Bisikan untuk Setiap Pemuda

Wahai para pemuda yang saya kasihi, Anda semua melihat betapa siang dan malam para dai, ulama, dan pendidik yang shalih berusaha dengan sekuat tenaga untuk melakukan perbaikan terhadap diri dan perilaku pribadi-pribadi umat ini, terkhusus para pemuda. Usaha keras yang mereka lakukan itu hendaknya juga diimbangi dengan rasa yang sama di hati setiap pemuda, berupa kecintaan terhadap umat mereka. Jika seorang pemuda telah memiliki rasa cinta kepada umat, ia pasti akan menginginkan kejayaan dan kesuksesan bagi umat ini. Dan di sinilah ia akan tahu bahwa kejayaan tersebut tidak akan tercapai kecuali jika pribadi-pribadi di dalam tubuh umat ini mau berusaha merubah nasib mereka sendiri, sesuai dengan ketentuan Allah yang menyatakan bahwa Dia tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri berusaha untuk berubah.

Ketika perasaan seperti itu dirasakan oleh setiap pemuda, dan mereka benar-benar menyadari apa yang menjadi tanggung jawab mereka, maka saya rasa, ketika itu setiap pemuda akan memiliki dorongan yang kuat dari dalam dirinya untuk memperbaiki dan mendidik dirinya sendiri. Hal itu akan mempermudah terwujudnya misi pendidikan dalam mencetak manusia yang shalih.

[Sumber: www.islammemo.cc]

Artikel Terkait