Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. ADAB ISLAM
  4. Adab Kepada Diri Sendiri

Jangan Jadi Bunglon!

Jangan Jadi Bunglon!

Pembaca budiman, saya berhadap Anda ikut merasakan kebingungan yang saya alami. Ketika saya menulis artikel ini, saya sempat dilingkupi oleh perasaan bimbang antara menyampaikannya dengan kata ganti "Saya" atau dengan kata ganti orang kedua. Hingga kemudian saya mencoba menelisik ke balik kata-kata itu, untuk mencari apa sebenarnya yang saya maksud dengan kata "Saya" dan kata "Anda". Ternyata saya baru menyadari bahwa saya berkeinginan menyampaikan tulisan ini kepada setiap orang yang mengambil sikap berdasarkan prinsip bunglon, dengan mengajak mereka untuk duduk bersama berterus-terang, bukan untuk mencela. Saya ingin berbicara dengan mereka untuk menyingkap permasalahan, bukan untuk membeberkan aib.

Kepada siapa saja yang dibawa oleh dirinya untuk suka mengikuti orang lain kemana pun kecenderungan mereka, saya mengulurkan kedua tangan saya ini, bukan dengan maksud menghina atau mencela, tidak pula untuk merendahkan. Saya justru ingin membantu Anda keluar dari lubang yang tidak baik ini. Dan saya sangat meyakini bahwa Anda tidak akan suka bertahan dalam kondisi seperti sekarang, bila Anda tahu hakikat yang sebenarnya tentang sifat ini. Untuk itu, Saya ajak Anda untuk merenungi beberapa perkataan ulama dalam masalah ini:

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—sudah memperingatkan kita untuk menjauhi perilaku ini melalui sabda beliau, "Janganlah kalian menjadi orang yang 'ikut-ikutan' dengan mengatakan: Kalau orang lain berbuat baik kami pun akan berbuat baik, dan kalau mereka berbuat zalim kami pun akan berbuat zalim'. Tetapi teguhkanlah diri kalian dengan menanamkan prinsip bahwa kalau orang lain berbuat kebaikan kalian juga berbuat kebaikan, tapi kalau mereka berbuat kejahatan kalian tidak ikut melakukannya'." [Hadits Shahîh]

Shahabat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, Abdullah ibnu Mas'ud—Semoga Allah meridhainyapernah berkata, "Janganlah pernah ada di antara kalian yang mengikuti seseorang dalam masalah agamanya, yang jika orang itu beriman ia pun ikut beriman, dan jika orang itu kafir ia pun ikut kafir. Karena sesungguhnya tidak boleh ada sikap meniru dalam keburukan."

Dalam bukunya "Ash-Shihhâh", Al-Jauhary berkata, "Makna kata 'imma'ah (ikut-ikutan) dalam bahasa Arab sudah populer. Kata ini dipakaikan kepada seseorang yang biasa mengikuti semua orang karena kelemahan berpikirnya."

Ibnu Abdil Bar menyebutkan dengan sanadnya dari Ibnu Mas'ud dalam menjelaskan makna 'imma'ah ini. Ibnu Mas'ud berkata, "Dahulu, pada masa jahiliah, kami memakai 'imma'ah sebagai sebutan bagi seseorang yang ketika diundang dalam sebuah jamuan makan, ia datang dengan membawa orang lain bersamanya. Sekarang, di zaman kalian, kata ini dipakai untuk menyebut seseorang yang 'taklid buta' dalam Agama." (Yaitu orang yang hanya mengikuti perkataan orang banyak dalam menjalankan Agamanya. Ia menilai Agamanya sebagaimana penilaian orang-orang. Ia juga memberikan Agamanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan oleh orang itu dalam urusan dunianya, sementara dosanya tetap ia yang menanggung.

Ali bin Abi Thalib—Semoga Allah meridhainya—berkata kepada Kamil ibnu Ziyad An-Nakhâ'i, "Wahai Kamil, sesungguhnya hati ini merupakan sebuah wadah, dan sebaik-baik hati adalah yang paling mampu menangkap kebaikan. Manusia ada tiga macam: Pertama, orang alim yang rabbani. Kedua, penuntut ilmu yang mempelajari jalan keselamatan. Ketiga, rakyat jelata yang hanya mengikuti setiap seruan yang menghampiri mereka. Mereka tidak menerangi diri dengan cahaya ilmu, dan tidak pula bersandar pada tiang yang kokoh. Celakalah para pengusung kebenaran yang tidak memiliki ilmu. Keraguan langsung hinggap di hatinya ketika satu saja syubhat datang kepadanya, sehingga ia tidak tahu di mana kebenaran. Jika berkata, ia keliru. Dan jika keliru, ia tidak tahu kekeliruannya. Ia asyik dengan sesuatu yang tidak ia ketahui hakikatnya. Dengan begitu, ia menjadi bencana bagi orang yang tertipu olehnya. Sesungguhnya kebaikan luar biasa didapatkan oleh orang yang Allah ajarkan kepadanya Agamanya. Dan cukuplah menjadi kebodohan bagi seseorang jika ia tidak mengetahui Agamanya." [Adwâ`ul Bayân, karya Asy-Syanqithi]

Imam Ahmad—Semoga Allah merahmatinya—dalam sebuah riwayat, pernah berkata, "Hendaklah setiap orang menguatkan prinsipnya, bila orang-orang di atas permukaan bumi menjadi kafir ia tidak ikut menjadi kafir. Janganlah pernah kalian menjadi imma'ah!" Ketika ditanya, "Apakah imma'ah itu?", ia menjawab, 'Orang yang menyatakan: 'Aku ikut orang banyak saja'. Sesungguhnya tidak ada istilah meniru dalam keburukan." [Al-Ibânah, karya Ibnu Baththah]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Imam Ahmad berkata, "Janganlah seorang pun di antara kalian menjadi imma'ah." Lalu orang-orang bertanya kepadanya, "Apakah imma'ah itu, wahai Abu Abdullah?" Ia menjawab, "Orang yang menyatakan, 'Aku ikut orang banyak saja. Kalau mereka mengikuti petunjuk kebenaran, aku ikut bersama mereka. Dan kalau mereka sesat, aku pun ikut sesat'. Ingatlah, hendaklah masing-masing kalian menguatkan prinsipnya, yakni bila orang menjadi kafir ia tidak ikut menjadi kafir."

Ibnu Mas'ud berkata, "Janganlah seorang pun di antara kalian menjadi imma'ah." Lalu orang-orang bertanya kepadanya, "Apakah imma'ah itu?" Ia menjawab, "Orang yang bergerak bersama setiap tiupan angin." [I'tilâlul Qulûb, karya Al-Khara`ithy]

Abu 'Ubaid—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Asal-muasal imam`ah itu adalah seorang lelaki yang tidak memiliki pendapat dan tidak memiliki semangat dalam dirinya. Ia hanya mengikuti pendapat setiap orang, dan tidak tetap pada satu pendirian pun." [Al-Madkhal ilâ As-Sunan Al-Kubrâ lil Baihaqi]

Melalui beberapa nas di atas, jelaslah bahwa makna imma'ah terdiri dari beberapa paparan berikut, yaitu:

Orang yang tidak memiliki pandangan sendiri.

2. Tidak memiliki sikap dan prinsip sendiri.

3. Tidak memiliki keberanian untuk mengambil sikap yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya.

4. Ia Bekerja berdasarkan prinsip resiko terhadap diri dan manfaat untuk orang lain, atau prinsip manfaat untuk dirinya saja. Hal ini akan kami jelaskan pada pembahasan selanjutnya.

5. Ia sangat mahir melancarkan celaan untuk semua orang selain dirinya.

Obat pertama untuk mengobati penyakit ini adalah berterus-terang, jalan pertama untuk mengatasinya adalah mengenalnya, langkah awal untuk membasminya adalah keberanian. Apakah poin-poin pertama ini telah Anda penuhi, agar kita bisa segera mulai menapak perjalanan? Jika sudah demikian, saya menanti Anda pada bagian kedua pembahasan ini.

Tulisan sini bukan hanya ditujukan kepada orang yang merasa dirinya mengidap masalah ini. Tulisan ini juga ditujukan kepada setiap orang yang melihat ada orang lain di sekitarnya mengalami masalah ini, dan ia mencintai orang itu, sehingga ingin menyelamatkannya.

Sampai jumpa di tulisan berikutnya.

[Sumber: www.islammemo.cc]

Artikel Terkait