Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Fikih
  5. Dosa Besar dan Dosa Kecil

Kabar Gembira untuk Para Pemilik Hati yang Mati

Aku tidak lagi dapat merasakannya. Benar, bahwa ia ada di dalam sana, itu pasti, tetapi aku tidak lagi dapat merasakannya sejak lama. Sejujurnya, aku tidak tahu kapan ia ada, di mana, atau bahkan seperti apa? Yang ada di dalam diriku saat ini adalah bahwa aku tidak lagi dapat merasakannya. Aku telah kehilangannya. Dulu ia pernah ada di dalam diriku, aku sempat benar-benar merasakannya, tetapi tidak lama kemudian, ia mati.

Aku sangat ingat ketika ia masih hidup, berkobar dengan hangatnya. Ketika itu aku merasakan betapa kehidupan menjalar di seluruh tubuhku. Dan setiap kali anggota-anggota tubuhku maju mendekati keridhaan Allah, hati yang hidup itu semakin dipenuhi kegembiraan dan kebahagiaan. Sebaliknya, bila menjauh dari ridha-Nya, hati itu diselimuti kegelapan dosa, ditutupi oleh tirai pekat di sekelilingnya, sehingga tidak ada cahaya yang dapat masuk.

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, "Hati yang sakit adalah hati yang hidup, namun menderita penyakit. Ia memiliki dua elemen yang menopangnya secara bergantian. Elemen pertama adalah elemen kehidupan, yang apabila mampu berkuasa ia akan memberikan rasa cinta kepada Allah, beriman kepada-Nya, ikhlas bekerja untuk-Nya, serta bertawakal kepada-Nya. Elemen kedua adalah elemen kehancuran, yang apabila berkuasa ia akan menebarkan cinta kepada nafsu syahwat, meletakkannya di atas segalanya, dan berusaha memenuhi semua keinginannya. Elemen kedua ini juga akan menularkan sikap dengki, sombong, 'ujub (membanggakan diri), obsesi mencari kedudukan tinggi, serta berbuat kerusakan dengan kekuasaan yang dimilikinya. Pemilik hati yang sakit ini diuji oleh dua ajakan: Pertama, ajakan yang menyerunya kepada jalan Allah, Rasul-Nya, dan Akhirat. Kedua, ajakan yang menyeretnya kepada dunia. Ia akan memenuhi ajakan elemen mana yang paling dekat dengannya, serta paling mudah menjangkaunya. Oleh karena itu, hati yang sakit bisa jadi lebih dekat kepada keselamatan, tapi juga sangat mungkin lebih dekat kepada kehancuran."

Akan tetapi, aku tidak berhenti. Aku tidak dapat beristirahat karena hatiku yang selalu maju-mundur antara benderang cahaya dengan pekatnya kegelapan.

Seseorang yang hidup antara dua dunia itu merasa laksana menjadi orang gila. Terkadang ia sampai kepada puncak tangga ketaatan dan kedekatan kepada Allah. Saat itu ia merasa bahwa segalanya telah berakhir, dan ia pasti akan terus berjalan lurus. Namun, tidak lama berselang, kegelapan menyeru dan menyeretnya ke dalam pangkuannya. Ia enggan untuk berkelit dari rangkulannya, sehingga ia pun terjerembab ke dalam lumpur dosa. Ia jatuh ke dasar jurang kedurhakaan kepada Allah. Kemudian ia bangun dan tersadar, setelah merasakan dahsyatnya keterjatuhan dan sengsaranya hidup jauh dari Allah. Ia lalu segera bersimpuh mendekatkan diri kepada Allah, berdoa penuh harap agar diselamatkan dari iklim kegelapan.

Ketika berada di tengah dua kutub itu, ia sendiri kemudian membentangkan tali dari atas punggung kuda yang menyeretnya menuju kegelapan. Saat itu, akalnya berseru, "Bangkitlah, bangunlah sebelum terlambat". Namun ia tidak mau berusaha untuk selamat. Sebaliknya, ia rela terus terjatuh, terjatuh, dan terjatuh.

Ketika sampai di dasar jurang kehancuran, ia akhirnya kehilangan rasa hatinya. Ia sendiri yang membunuh hati itu. Akibatnya, ia tidak lagi merasakan pedihnya dosa, tidak pula merasakan indahnya ketaatan kepada Allah. Ia pun kehilangan seluruh rasa tentang alam sekitarnya. Bahkan ia kehilangan rasa kehidupan itu sendiri.

Hatiku Telah Mati

Ia kemudian berteriak keras di semua tempat betapa hatinya telah mati, sehingga tidak lagi dapat merasakan apa-apa. Akan tatapi ia kembali bertanya kepada dirinya, apakah kematian ini masih memiliki harapan untuk hidup? Apakah masih ada harapan untuk kembali? Bagaimana mungkin dapat kembali hidup, sementara ia telah mati? Bagaimana mungkin dapat kembali, sementara ia telah membunuh dirinya sendiri dengan tangannya?

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Lawan dari itu adalah hati yang mati dan tidak memiliki nafas kehidupan. Ia tidak mengenal Tuhannya, tidak menyembah-Nya, tidak melakukan perintah-Nya, tidak menjalankan apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Sebaliknya, ia tenggelam bersama kenikmatan nafsu syahwatnya, walau harus berhadapan dengan kemurkaan Tuhannya. Ia tidak peduli apakah Tuhannya suka atau murka, yan terpenting ia dapat memenuhi panggilan syahwatnya. Jadilah ia makhluk yang menyembah selain Allah, mencintai karena selain Allah, takut dan berharap kepada selain Allah, senang dan murka karena selain Allah, mengagungkan dan menghinakan karena selain Allah. Jika ia mencintai sesuatu, ia lakukan itu karena hawa nafsunya. Jika ia membenci sesuatu, itu semata-mata karena nafsunya. Jika memberi, ia pun memberi karena nafsunya. Begitupun bila tidak memberi, ia lakukan itu karena hawa nafsunya. Nafsu menjadi lebih penting dan dicintainya daripada ridha Tuhan-Nya. Hawa nafsu menjadi imamnya, syahwat menjadi pemimpinnya, kebodohan menjadi pengarah jalannya, dan kelalaian menjadi kendaraannya. Ia tenggelam dalam pemikiran untuk memenuhi obsesi-obsesi duniawi. Ia dimabuk oleh buaian syahwat dan cinta dunia. Dari jauh ia diajak untuk menyusuri jalan Allah, menuju hari Akhirat. Namun ia tidak menerima himbauan siapa pun yang menasihatinya. Ia terus mengikuti jalan Syetan yang melampaui batas. Dunia menjadi motivasi marah atau senangnya. Hawa nafsu telah menulikan dan membutakannya dari selain kebatilan."

Kabar Gembira untuk Para Pemilik Hati yang Mati

Mari bersama merenungi hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—berikut ini: "Pada masa sebelum kalian, terdapat seorang laki-laki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Ia kemudian mencari penduduk bumi yang paling alim (berilmu), dan ia ditunjukkan kepada seorang rahib. Laki-laki itu pun mendatangi sang rahib, lalu menuturkan kepadanya bahwa ia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, sambil bertanya apakah ia masih punya peluang untuk bertobat? Sang rahib menjawab, 'Tidak'. Rahib itu pun ia bunuh, sehingga lengkaplah seratus orang yang telah dibunuhnya. Kemudian ia kembali mencari-cari penduduk bumi yang paling alim (berilmu), dan ia ditunjukkan kepada seorang ulama. Di depan sang ulama, si laki-laki itu menuturkan bahwa ia telah membunuh seratus orang, seraya bertanya apakah tobatnya masih mungkin diterima? Ulama itu menjawab, 'Ya, siapa yang bisa mencegah antara engkau dan tobatmu? Pergilah ke sebuah tempat, di sana ada orang-orang yang menyembah Allah, lalu sembahlah Allah bersama mereka, dan jangan engkau kembali ke negeri asalmu, karena negerimu adalah negeri yang buruk. Laki-laki itu pun kemudian berangkat menuju tempat yang ditunjukkan sang ulama. Di tengah jalan ia dijemput kematian. Akhirnya Malaikat rahmat dan Malaikat azab berseteru. Malaikat rahmat berkata, 'Ia datang dengan bertobat, menghadapkan hatinya kepada Allah.' Malaikat azab berkata, 'Ia tidak pernah melakukan kebaikan sedikitpun.' Kemudian datanglah seorang malaikat dalam bentuk manusia untuk menghakimi mereka. Ia berkata, 'Ukurlah antara kedua negeri itu, kemana ia lebih dekat maka tempat itulah yang kan menjadi miliknya. Mereka pun mengukurnya dan mendapatkan bahwa laki-laki yang meninggal itu lebih dekat ke tempat yang ia tuju, dan akhirnya ia diambil oleh Malaikat rahmat."Qatâdah berkata, "Disebutkan kepada kami bahwa ketika kematian mendatanginya, laki-laki itu menggeser dadanya." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim].

Hadits ini mengandung pelajaran yang sangat banyak, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. Namun yang menjadi fokus perhatian kita dalam tulisan ini hanya beberapa poin berikut:

1. Ia Telah Membunuh Sembilan Puluh Sembilan Orang

Menurut Anda, apakah manusia seperti ini pemilik hati yang sakit atau hati yang mati? Bahkan, aksinya membunuh sang rahib sehingga menggenapkan korbannya menjadi seratus orang mengisyaratkan kekukuhan yang demikian besar dalam melakukan dosa, bahkan tanpa menunjukkan rasa penyesalan sedikit pun terhadap perbuatannya. Akan tetapi yang menakjubkan adalah ketika hadits menyebutkan bahwa laki-laki ini membunuh sang rahib, lalu ia segera berangkat untuk mencari penduduk bumi yang paling berilmu. Aneh, ia masih saja ingin bertobat. Tampak sekali betapa keputusan untuk menghidupkan kembali hatinya sudah menjadi sebuah keputusan final bagi si pembunuh seratus manusia ini. Ia tidak mau menerima penundaan atau penghambatan dengan sebab apapun. Ia telah bertekad bulat untuk menghidupkan kembali hatinya setelah kematian.

Tidakkah Anda merasa takjub ketika ia tidak mau berhenti sesaat saja setelah membunuh sang rahib itu. Apakah ia sempat mengatakan kepada dirinya misalnya, "Lihatlah, sekarang engkau kembali melakukan apa yang telah engkau perbuat selama ini, Allah tidak akan pernah menerima tobat orang seperti dirimu, Allah tidak akan pernah menerima manusia sepertimu?!!" Sama sekali tidak, ia tidak pernah mengatakan kalimat-kalimat pesimis seperti ini. Sebaliknya, ia kesampingkan semua itu, lalu segera bertolak. Ia tahu betul apa yang ia inginkan; tobat!

2. Diterimanya Tobat dari Semua Dosa Besar

Kisah ini merupakan salah satu bukti terbesar yang menunjukkan bahwa tobat bisa diterima dari seorang pelaku dosa, sebesar apa pun dan sekeji apa pun dosanya, selama keinginannya benar-benar tulus untuk bertobat.

Ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah menyebutkan hal itu. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian terputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'." [QS. Az-Zumar: 53]

Dan dalam sebuah hadits shahîh yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau seandainya kalian tidak melakukan dosa niscaya Allah akan memusnahkan kalian dan menggantikan kalian dengan sebuah kaum yang melakukan dosa, lalu mereka meminta ampun kepada Allah, kemudian Dia mengampuni mereka." [HR. Muslim]

3. Luasnya Rahmat Allah dan Bahayanya Membuat Manusia Berputus Asa dari Rahmat-Nya

Kisah di atas dengan berbagai riwayatnya menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ, dan bahwa rahmat Allah mendahului murka-Nya. Selain itu, kisah ini juga menunjukkan bahwa kejujuran seorang hamba dalam menghadap kepada Allah, selain membuka penerimaan Allah terhadapnya, juga mendatangkan taufik dan hidayah untuknya menuju jalan yang lurus. Berbagai riwayat hadits ini menyatakan secara jelas betapa terdapat campur tangan pertolongan Allah dalam perjalanan tobat laki-laki itu. Fakta yang menunjukkan betapa luas rahmat Allah dan betapa besar curahan karunia-Nya untuk hamba-Nya yang bertobat.

Dalam riwayat Imam Al-Bukhâri dan beberapa riwayat yang disebutkan oleh Imam Muslim, terdapat redaksi sebagai berikut: "Lalu Allah mewahyukan kepada daerah yang satu untuk mendekat (yaitu tempat kebaikan yang dituju lelaki itu), dan kepada daerah yang kedua (tempat asalnya) untuk menjauh, lalu Allah berkata, 'Ukurlah jarak antara dua daerah itu', dan ternyata laki-laki itu lebih dekat satu jengkal kepada daerah tujuannya, sehingga kemudian Allah mengampuninya."

Menjauhkan daerah maksiat dan mendekatkan daerah tobat mengandung isyarat bahwa Allah tidak sekedar menerima tobat para hamba, bahkan di atas itu Allah memberikan tambahan karunia untuk mereka. Hal ini dikuatkan oleh sebuah Hadits Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): 'Aku adalah berdasarkan kepada sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingati-Ku. Apabila ia mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku juga akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila ia mengingat-Ku di sebuah majelis, niscaya Aku juga akan mengingatnya di dalam majelis yang lebih baik daripada mereka. Apabila ia mendekati-Ku dalam jarak sejengkal, niscaya Aku akan mendekatinya dengan jarak sehasta. Apabila ia mendekati-Ku sehasta, niscaya Aku akan mendekatinya dengan jarak sedepa. Apabila ia datang kepada-Ku dalam keadaan berjalan biasa, niscaya Aku akan datang kepadanya dengan berlari'." [HR. Albukhâri dan Muslim]

Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—telah menyeru kepada ampunan-Nya orang yang mengatakan bahwa Isa adalah Allah, orang yang mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah, orang yang mengatakan bahwa `Uzair adalah anak Allah, orang yang mengatakan bahwa Allah itu fakir, orang yang mengatakan bahwa tangan Allah terbelenggu, dan orang yang mengatakan bahwa Allah itu satu di antara tiga unsur. Yaitu dengan firmannya tentang mereka (yang artinya): 'Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'. [QS. Al-Mâ`idah: 74]. Kemudian Allah menyeru untuk bertobat orang yang mengucapkan perkataan yang lebih dahsyat daripada mereka di atas, yaitu Fir'aun yang mengatakan sebagaimana diceritakan Allah di dalam Al-Quran (yang artinya): 'Fir'aun berkata, 'Aku adalah tuhan kalian yang paling tinggi''. [An-Nâzi'ât: 24]. Sebagaimana ia juga berkata, sebagaimana diceritakan dalam ayat lain (yang artinya), 'Aku tidak mengetahui ada Tuhan untuk kalian selain aku'. [Al-Qashash: 38]."

Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—juga berkata, "Barang siapa yang membuat para hamba Allah berputus asa dari bertaubat setelah semua fakta ini, berarti telah menentang Kitab Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ." [Tafsir Ibnu Katsîr (4/59)]

Wahai para sahabat pemilik hati yang mati, apakah Anda merasa bahwa hati Anda termasuk ke dalam barisan hati yang sudah kehabisan harapan untuk kembali hidup? Apakah hati Anda lebih parah dari hati manusia-manusia kafir dan atheis yang telah luluh lantak oleh kedurhakaan kepada Allah?!!

Mari kita bersama-sama berusaha untuk kembali menghidupkan hati yang telah mati ini.

[Sumber: www.islammemo.cc]

Artikel Terkait