Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. KELUARGA DAN MASYARAKAT
  4. Orangtua

Ayah, Aku Membencimu!

Ayah, Aku Membencimu!

"Ayah, aku membencimu!" Itulah teriakan keras yang secara terbuka keluar dari mulut seorang anak lelaki pada suatu hari di depan ayahnya. Teriakan itu laksana petir yang menggelegar menghantam telinga sang ayah. Ia tercengang mendengar kalimat paling mengerikan yang pernah ia dengar sepanjang hidupnya itu. Dari mulut siapa keluar kalimat itu? Ya, dari seseorang yang ia kira adalah sosok yang paling mencintainya. Kalimat itu keluar dari mulut anaknya sendiri, belahan jantungnya, penyejuk matanya, kekasih hatinya. Kepada siapa kalimat itu dilontarkan sang anak? Ya, kepada ayahnya, sosok yang telah menjaga dan mengasuhnya, sosok yang rela tidak tidur sekian lama untuk membesarkan dan mengantarkannya kepada kehidupan terbaik. Ia mengucapkan itu kepada ayahnya! Lalu siapa gerangan yang ia cintai jika ia membenci ayahnya sendiri?!

Rasa kaget dan bingung menimpa sang ayah ketika menghadapi situasi yang tidak pernah diharapkan itu. Apa gerangan yang akan ia lakukan? Apa kiranya reaksi yang tepat? Apakah ia harus memukul sang buah hati? Atau mesti ia biarkan berlalu begitu saja? Ataukah harus sang anak ia peluk ke dalam pangkuannya?!! Semua reaksi seperti itu terasa tidak tepat untuk situasi dahsyat yang terjadi ini.

Para pembaca yang budiman, bila salah seorang teman Anda menceritakan peristiwa seperti itu, seraya meminta pendapat Anda, apa gerangan jawaban yang akan Anda katakan kepadanya?

Apa pun jawaban Anda, harap jangan terburu-buru seraya melayangkan celaan kepada sang anak, seakan si ayah adalah korban yang diperlakukan secara jahat olehnya. Apa yang terjadi itu sesungguhnya adalah sebuah akhir (klimaks), bukan awal.

Sang anak sesungguhnya—amat disayangkan—adalah korban dari perilaku ayahnya yang membuat ia sampai kepada puncak penderitaan batin, sehingga kalimat itu menjadi laksana letusan gunung berapi yang membuncahkan lahar panas di dalam tubuhnya. Saya mengatakan "ledakan gunung berapi", karena kalimat itu sesungguhnya memang bukan gunung berapi itu sendiri. Tekanan dan himpitan yang menumpuk di dalam hati sang anak ini sudah demikian beratnya, sehingga kemudian mengeluarkan sebagian gejolaknya di saat-saat galau. Kondisi yang hampir membunuhnya karena gumpalan rasa sedih.

Biarkan saya menjelaskannya, sebelum Anda menyerang dan menyalahkan penulis artikel ini.

Aksiomatika yang Keliru

Di dalam ilusi orang tua, tertimbun banyak kalimat yang seakan telah menjadi kumpulan aksioma yang tidak boleh diperdebatkan lagi. Di antara kalimat-kalimat itu misalnya: "Setiap anak mencintai orang tua mereka", "Cinta anak kepada orang tuanya adalah sebuah kewajiban Syar'i", "Allah telah menanamkan fitrah rasa cinta kepada orang tua di dalam diri para anak", dan kalimat-kalimat lainnya.

Aksioma-aksioma seperti ini di dalam pemikiran orang tua kemudian membentuk semacam garis-garis merah yang tidak pernah ia bayangkan bahwa anak mereka akan berani melampauinya, atau bahkan untuk sekedar mendekatinya. Mereka meyakini bahwa hal itu adalah sesuatu yang mustahil terjadi sama sekali. Di antara garis merah itu misalnya adalah "Kebencian seorang anak kepada ayah atau ibunya".

Sebagian orang tua bahkan tidak jarang memaksakan sebagian aksioma-aksioma itu kepada anak mereka. Mereka menuntut anak untuk menerimanya, jika tidak secara terang-terangan mungkin melalui sindiran. Sebagai contoh, ketika anak ditanya tentang siapa orang yang paling dicintainya, maka jawabannya secara pasti dan segera haruslah: "Ibuku", atau "Ayahku", atau "Keduanya".

Sebenarnya berbagai kaidah dan aksioma yang disimpan oleh para orang tua di kepala mereka ini tidak lain hanyalah kumpulan ilusi-ilusi buta yang sama sekali tidak benar. Sebab utama dari kekeliruan berpikir seperti ini adalah pencampuradukan antara beberapa konsep yang mereka kira sama, serta tidak memahami hakikat beberapa perintah Agama.

Konsep Berbakti dan Konsep Cinta

Kewajiban berbakti kepada kedua orang tua merupakan perintah yang termasuk salah satu aksioma di dalam Islam. Kewajiban ini bahkan disebutkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya setelah kewajiban mengesakan-Nya dalam beribadah. Hal itu terdapat dalam firman-Nya (yang artinya): "Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." [QS. An-Nisâ`: 36]. Sebagaimana juga Allah mempersiapkan salah satu balasan paling dahsyat untuk perilaku durhaka kepada orang tua, yang perhitungannya sudah dimulai di dunia sebelum di Akhirat. Dalam hal ini, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih pantas Allah berikan balasan untuk pelakunya di dunia di samping kelak di Akhirat seperti halnya dosa melacur dan durhaka kepada orang tua."

Akan tetapi, apakah kewajiban berbakti kepada orang tua berarti juga kewajiban mencintai mereka? Dengan kata lain, apakah Allah tidak akan menerima dan memberi pahala kepada seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya kecuali jika ia menyertai bakti itu dengan kecintaan kepada mereka?

Banyak orang tua mencampuradukkan antara kewajiban anak untuk berbakti kepada mereka dengan cinta anak kepada mereka. Mereka mengira bahwa kedua hal itu saling berkaitan, saling berdekatan, dan tidak mungkin dipisahkan. Jadi, menurut mereka, "bakti" adalah sinonim "cinta", dan "cinta" selalu ada bersama "bakti".

Sebenarnya ini adalah pemahaman keliru yang telah dianut oleh banyak kalangan orang tua. Sesungguhnya "bakti" dan "cinta" adalah dua hal yang sama sekali berbeda, baik dari segi makna, tempat tumbuh, bentuk khas masing-masing, hingga cara mengungkapkannya. Seseorang terkadang bisa saja mencintai seseorang yang secara eksplisit ia durhakai. Sebaliknya, seseorang terkadang membenci orang yang ia justeru diperintahkan untuk berbakti kepadanya. Bagaimana bisa demikian?

Saya akan memberikan satu atau dua contoh untuk menjelaskannya:

Sudah diketahui bersama bahwa salah satu syarat dari kalimat Tauhid adalah "cinta yang meniadakan benci". Dengan demikian, Tauhid tidak dapat terwujud di dalam hati seseorang kecuali jika ia mencintai Allah dengan rasa cinta yang benar-benar meniadakan kebencian secara total. Ia harus mencintai semua yang dicintai oleh Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—agar dapat memenuhi syarat terlaksananya iman yang wajib ini. Sehingga tidak mungkin seorang muslim tetap berada dalam keislamannya jika ia menyatakan secara terang-terangan bahwa ia membenci Allah dan Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam.

Walaupun demikian, betapa banyak orang Islam yang mendurhakai Allah. Kita dapat melihat ada orang Islam yang tidak melakukan perintah-perintah Allah serta melanggar larangan-larangan-Nya, namun kita tidak pernah mengatakan bahwa rasa cinta kepada Allah telah hilang secara total dari dalam hatinya. Karena kalau kita mengatakan hal itu, berarti kita telah memberikan vonis bahwa ia telah murtad dari Islam. Kita hanya mengatakan bahwa keimanannya berkurang, sesuai dengan kelalaian dan kedurhakaannya, tetapi masih tetap ada rasa cinta kepada Allah di dalam hatinya.

Contoh lain:

Seperti sudah diketahui, bahwa salah satu dasar akidah Ahlussunnah wal Jamâ'ah adalah berlepas diri dari (tidak loyal kepada) musuh-musuh Allah. Di antara musuh-musuh Allah itu adalah Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani). Pelepasan diri ini mengharuskan kebencian kepada mereka, sesuai dengan firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepada kalian." [QS. Al-Mumtahanah: 1]

Dengan demikian, membenci Ahli Kitab merupakan salah satu kewajiban Syariat. Namun walaupun demikian, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—memerintahkan kita agar berbuat baik kepada sekelompok dari mereka, sebagaimana firman Allah (yang artinya): "Allah tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena Agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." [Al-Mumtahanah: 8]

Jadi, tidaklah ada kontradiksi antara berbuat baik, berlaku adil, serta tidak menzalimi kelompok Ahli Kitab seperti ini dengan perintah untuk membenci dan tidak memperlihatkan cinta kepada mereka.

Dari dua contoh ini, jelaslah bagi kita bahwa berbuat baik (bakti) tidak lain hanyalah perilaku, pergaulan, serta etika yang basisnya adalah anggota tubuh, dan buktinya adalah perbuatan. Adapun cinta, ia merupakan perasaan di dalam diri manusia yang terkadang disertai dengan perbuatan, namun terkadang juga tanpa disertai oleh perbuatan. Benar, bahwa salah satu tanda cinta adalah bakti (berbuat baik), akan tetapi tidak selalu yang menjadi motivasi untuk berbuat baik adalah cinta, sebagaimana terlihat jelas pada contoh kedua.

Berangkat dari sini, saya katakan bahwa kaidah seperti ini juga berlaku pada hubungan yang mengikat antara seorang anak dengan kedua orang tuanya. Betapa banyak anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, tetapi dengan perasaan yang mati, di mana ia tidak merasakan getaran rasa apa-apa terhadap keduanya. Ia tidak lebih dari sekedar menjalankan apa yang diperintahkan kepadanya, serta menjalankan kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya. Itu saja.

Anak seperti ini sebenarnya telah menjalankan kewajiban yang diembankan Syariat kepadanya. Ia juga berarti tidak lagi akan diperhitungkan di Akhirat dalam hal ini. Ia akan datang pada hari Kiamat dalam kondisi telah terlepas dari dosa durhaka kepada orang tua. Karena Allah hanya mewajibkan kepada para anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya: ".Dan hendaklah kalian berbuat baik kepada ibu bapak kalian dengan sebaik-baiknya." [QS. Al-Isrâ`: 23]. Allah tidak mewajibkan kepada mereka untuk mencintai orang tua mereka. Cinta dalam hal ini hanya dijadikan sebagai lapangan untuk berlomba (bukan kewajiban). Akan tetapi, perlu diperhatikan, bahwa peserta lomba sejati di lapangan perasaan ini bukanlah kaum anak, tetapi kaum orang tua. Dan itu akan terlihat jelas dalam sub pembahasan berikut.

Cinta Anak kepada Orang Tuanya; Fitrah ataukah Datang Kemudian?

Telah saya sampaikan di awal tulisan ini bahwa salah satu aksioma keliru yang ditanamkan oleh orang tua di dalam pemikiran mereka adalah bahwa "Allah telah menanamkan fitrah cinta kepada orang tua di hati anak". Dan kalimat ini merupakan rangkaian kata yang sama sekali tidak benar. Akan tetapi mungkin bisa kita katakan bahwa "Allah telah menanamkan fitrah rasa kedekatan (keterkaitan) dengan orang tua di dalam diri anak", sehingga bersama orang tuanya, seorang anak merasakan ketenangan, kedekatan, kedamaian, dan kenyamanan yang biasanya tidak ia dapatkan bersama orang lain.

Adapun cinta, hakikatnya ia adalah perasaan lain yang didapatkan oleh anak dalam proses berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Buktinya adalah bahwa di dalam Al-Quran Anda dapat melihat betapa Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—demikian banyak memerintahkan dan memotivasi para anak untuk berbakti kepada orang tua mereka. Sebaliknya, Allah tidak pernah di dalam Al-Quran memberikan perintah langsung kepada kedua orang tua untuk berbuat baik kepada anak-anak mereka. Itu terjadi karena "Allah telah menanamkan fitrah cinta kepada anak di dalam diri orang tua". Dan inilah justeru pernyataan yang benar dalam masalah ini. Bahwa kedua orang tualah yang sesungguhnya diberi fitrah untuk mencintai anak mereka, kecuali sedikit orang saja yang keluar dari fitrah itu. Dan cinta yang fitrah ini biasanya mendorong untuk berbuat baik kepada anak.

Sementara anak, justeru yang menjadi fitrah dasar dalam diri mereka adalah kecenderungan untuk durhaka. Oleh karena itulah Allah menegaskan di banyak tempat di dalam Al-Quran tentang kewajiban menunaikan bakti kepada orang tua.

Sayyid Quthb—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Mayoritas perintah Allah diarahkan kepada kalangan anak cucu untuk berbuat baik kepada orang tua mereka, walaupun Allah tidak meniadakan sama sekali arahan kepada orang tua untuk berbuat baik kepada anak cucu. Dan anak cucu secara khusus memang lebih membutuhkan arahan untuk berbuat baik kepada orang tua dan generasi sepuh, karena kaum anak biasanya lebih mengarahkan seluruh eksistensi diri, perasaan, serta perhatian mereka kepada generasi yang akan menggantikan mereka, bukan generasi yang meninggalkan mereka."

Jika cinta seorang anak kepada orang tuanya adalah sesuatu yang datang kemudian melalui proses, bukan sebuah fitrah yang ada sejak awal sebagaimana yang dipahami oleh banyak orang, maka pertanyaan yang wajar muncul adalah: "Apakah faktor penentu yang paling utama dalam menumbuhkan perasaan cinta seorang anak kepada orang tuanya?"

Saya katakan, bahwa faktor penentu yang paling utama dalam menumbuhkan perasaan cinta itu adalah sejauh mana kemampuan kedua orang tua dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa, batin, dan perasaan anak mereka. Dan pembicaraan tentang hal itu insyâallâh akan saya paparkan dalam judul tersendiri.

Hal yang ingin saya tuju dalam artikel ini adalah menjelaskan sebuah permasalahan penting, yaitu bahwa perasaan cinta dan kasih sayang yang diharapkan oleh semua ibu dan bapak dari anak-anak mereka bersamaan dengan bakti mereka sesungguhnya terletak di tangan mereka (orang tua) sendiri, bukan di tangan orang lain. Jika orang tua mau, mereka dapat membuat anak-anak mereka berbakti sekaligus merasa cinta kepada mereka. Begitu pun bila mereka mau, mereka dapat membuat anak mereka berbakti tanpa merasakan getaran perasaan apa-apa kepada mereka. Bahkan boleh jadi pada kesempatan lain, ia durhaka serta tidak berbakti dan tidak mencintai mereka. Dan setiap kondisi itu memiliki sebab-sebab yang membentuknya. Insyâallâh rinciannya akan kita bicarakan dalam artikel mendatang.

[Sumber: www.islammemo.cc]

Artikel Terkait