Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. ADAB ISLAM
  4. Adab Kepada Allah

Bahkan di Alam Mimpi

Bahkan di Alam Mimpi

Apa yang akan saya sampaikan kepada Anda di dalam tulisan ini bukanlah sebuah khayalan, bukan pula omongan tanpa bukti dan saksi. Ini adalah kenyataan luar biasa yang diperankan oleh seorang tokoh hebat dan pemilik sejarah hidup yang mengagumkan. Namanya harum semerbak ketika ia sukses menjauhi segala hal yang diharamkan Tuhan-nya, sehingga Allah pun mengangkat tinggi derajatnya. Ia adalah Ibnu Sîrîn—Semoga Allah merahmatinya. Simaklah perkataannya berikut ini: "Aku tidak pernah mendatangi (menggauli) seorang wanita pun, baik di dalam mimpi maupun di alam nyata, kecuali Ummu Abdullah (Yakni istrinya)." Ia juga berkata, "Aku pernah melihat wanita di dalam mimpi, dan aku tahu bahwa ia tidaklah halal bagiku, lalu aku memalingkan pandanganku darinya." [Lihat: "Târikh Dimasyq", karangan Ibnu `Asâkir.]

Dan dari belakang tirai ketaatan dalam menjauhi larangan Allah, muncul pula seorang sosok bernama Ali ibnu Hasan, orang yang selalu menjaga dan membaguskan wudhuknya. Apabila berwudhuk warna kulitnya agak kekuning-kuningan. Keluarganya pernah bertanya perihal itu kepadanya, "Apa gerangan di balik kebiasaanmu ketika berwudhuk itu?" Ia menjawab, "Tahukah kalian di depan siapa aku akan berdiri?!" [Lihat: "Shafwatush Shafwah", karangan Ibnul Jauzi]

Mengagungkan Aturan-aturan Allah

Pertanyaan yang perlu kita lontarkan kepada para pemuda yang barangkali sebagian Anda telah menangkap jawabannya dari pembukaan di atas adalah: "Apa yang membuat mereka—dan masih banyak selain mereka—mampu mencapai tingkat rasa takut dan merendahkan diri kepada Allah seperti ini?

Jawabannya tidaklah susah, dan cara untuk menggapainya tidaklah mustahil. Insyâallâh, hal ini bisa didapat dengan mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah. Kita akan menemukan jawabannya dalam satu ayat Al-Quran (yang artinya): "Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya." [QS. Al-Hajj: 30]

Sesungguhnya mukmin sejati adalah orang yang mengagungkan aturan-aturan Allah, merasakan keagungan-Nya, tunduk kepada kemuliaan-Nya, dan menghargai kecemburuan Allah dalam aturan-aturan yang dibuat-Nya. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Apakah kalian merasa heran dengan kecemburuan Sa'ad? Demi Allah, sungguh aku lebih cemburu daripada ia, dan Allah lebih cemburu daripada aku, dan karena kecemburuan–Nya itulah Allah mengharamkan segala kejahatan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya." [QS. Al-Hajj: 30]

Maksud "mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah" adalah menjauhi larangan dan segala yang diharamkan Allah, sehingga apabila ia melakukannya ia menganggap hal itu sebagai suatu kesalahan besar. Dan maksud "maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya" adalah bahwa dengan melakukan itu, ia akan mendapatkan kebaikan dan pahala yang banyak. Sebagaimana seseorang yang melakukan ketaatan mendapatkan banyak pahala dan kebaikan, begitu juga halnya dengan orang yang menjauhi larangan dan segala yang diharamkan oleh Allah. [Lihat: Tafsir Ibnu Katsîr]

Sikap mengagungkan aturan dan larangan Allah akan melahirkan ketenangkan hati, kesucian kalbu, dan ketinggian jiwa. Mengagungkan Allah juga berarti menghormati aturan-aturan dan larangan-Nya. Aturan Allah adalah semua yang wajib dihormati, dijaga, dan diperhatikan. Ia juga mencakup semua yang diperintahkan oleh Allah untuk diagungkan dan dilaksanakan. Mengagungkan aturan-aturan Allah berarti mengetahui bahwa ia wajib dilaksanakan, serta mengakui dan menjalankannya.

Perbaharuilah Imanmu

Di dalam sub judul ini, mari kita sejenak bertanya, bukankah setiap kita, wahai para pemuda, mencari iman yang tinggi? Bukankah setiap kita mengeluhkan dosa yang membelenggu kita dan kemudian berusaha mencari obatnya? Tidak diragukan lagi bahwa setiap kita merasakan itu. Oleh sebab itu, solusi paling tepat untuk mengatasi penyakit ini adalah dengan meminum obat yang sedang kita bahas ini. Benar adanya, bahwa salah satu hal yang menguatkan iman di dalam hati adalah dengan "mengagungkan aturan-aturan dan larangan Allah". Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." [QS. Al-Hajj: 32]

Aturan-aturan Allah merupakan hak Allah—Subhânahu wata`âlâ. Salah satu bentuk pengagungan terhadap syiar-syiar Allah itu adalah dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Oleh karena itulah mengapa Rasulullah demikian antusias membangun benteng penghalang antara diri kita dengan segala bentuk perbuatan dosa. Beliau memperingatkan kita dalam sabda beliau, "Jauhilah oleh kalian dosa-dosa kecil, karena bila ia terkumpul pada diri seseorang ia akan membinasakannya." [Dinyatakan shahîh oleh Syaikh Al-Albâni]

"Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—mengumpamakan dosa-dosa kecil seperti suatu kaum yang singgah di padang pasir yang luas, lalu mereka mengeluarkan makanan mereka. Kemudian salah seorang di antara mereka pergi dan kembali dengan membawa sepotong kayu. Orang kedua juga datang dengan membawa sepotong kayu. Akhirnya, mereka dapat mengumpulkan setumpuk kayu, lalu mereka menyalakan api dan dapat mematangkan semua (makanan) yang mereka lemparkan ke dalamnya."

Jalan yang Mengantarkan kepada Tujuan

Tidak diragukan lagi bahwa melanggar larangan Allah sangatlah berbahaya, sebagaimana yang diperingatkan oleh Ibnu Abbâs—Semoga Allah meridhainya—pada suatu hari, "Wahai pelaku dosa, mengapa engkau merasa aman dari akibat buruk perbuatanmu? Sungguh, akibat yang ada di belakang dosa itu lebih besar daripada dosa itu sendiri jika engkau melakukannya. Kurangnya rasa malumu kepada Malaikat yang ada di kanan dan kirimu ketika engkau melakukan dosa adalah lebih berbahaya daripada dosa itu sendiri. Tawa yang keluar dari dirimu sementara engkau tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Allah terhadapmu adalah lebih berbahaya daripada dosa. Rasa bahagiamu ketika bisa melakukan dosa adalah lebih berbahaya daripada dosa itu sendiri. Rasa sedihmu jika tidak bisa melakukan dosa juga adalah lebih berbahaya daripada dosa itu sendiri. Rasa takutmu ketika angin membuka tirai pintu rumahmu saat engkau melakukan dosa, sementara hatimu tidak bergetar ketika Allah melihatmu adalah lebih berbahaya daripada dosa itu sendiri jika engkau melakukannya." [Lihat: "Al-Jawâbul Kâfî", karangan Ibnul Qayyim]

Dengan demikian, sesungguhnya jalan yang akan mengantarkan seseorang menuju derajat mulia ini adalah dengan mengagungkan aturan-aturan Allah. Jalan itu adalah mengagungkan Allah sebagaimana mestinya, mengenal keagungan-Nya dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan kemudian menempuh jalan ketakwaan serta memperhatikan ciri-ciri orang-orang bertakwa, sebab mereka adalah orang yang paling mengagungkan aturan-aturan Allah. Berikut ini adalah rincian dari penjelasan global itu:

Jalan Ketakwaan

Secara ringkas, jalan ini merupakan jalan paling baik yang harus ditempuh oleh setiap orang jika ingin menggapai kedudukan mulia yang sedang kita bicarakan ini. Tidak diragukan lagi, bahwa jika Anda ingin berada di barisan para hamba Allah yang tulus mengagungkan syiar-syiar-Nya maka jalan menuju kesana tidaklah mudah dan bertabur bunga wangi. Sebaliknya, jalan ini dipenuhi oleh ketaatan dan kewajiban. Dan barangkali nafsu para pemuda akan menggoda mereka untuk meninggalkan semua kewajiban itu, terutama ketika mereka disibukkan oleh kehidupan dunia, apalagi jika didampingi oleh teman yang menghiasi keburukan menjadi kebaikan. Dari sisi lain, berbagai rayuan maksiat dan syahwat menghiasi dan memenuhi mata mereka, agar mereka tergoda untuk melakukannya. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, sesuatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megah antara kalian, serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak." [QS. Al-Hadîd: 20]

Dengan demikian, memang dituntut banyak kesabaran dan usaha keras. Sabar dalam menghadapi maksiat dan syahwat, serta bersungguh-sungguh dalam menjalani ketaatan. Sebagaimana arahan Abu Hurairah ketika suatu hari ditanya tentang takwa. Ia ketika itu menjawab, "Apakah engkau pernah menempuh jalan yang berduri?" Si penanya menjawab, "Iya, pernah." Abu Hurairah kembali bertanya, "Apa yang engkau lakukan?" Si penanya menjawab, "Jika aku melihat duri, aku langsung menjauhinya, atau melangkahinya, atau meninggalkannya." Abu Hurairah lalu berkata, "Itulah hakikat ketakwaan." [Lihat: "Jâmi`ul `Ulûmi wal Hikam", karangan Ibnu Rajab]. Wahai para pemuda, marilah bersegera meraih takwa.

Mereka Tidak Mengagungkan Allah Sebagaimana Mestinya

Sekarang kita akan melihat obat kedua, yang bersumber dari ayat-ayat Al-Quran. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Tuhan dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan." [QS. Az-Zumar: 67]

Ini merupakan penghalang terbesar bagi seorang hamba dalam usaha mengagungkan aturan-aturan Allah, sekaligus membuatnya cepat terpanggil untuk melakukan dosa dan berpaling dari keimanan. Kalau saja rasa keagungan Allah telah menyelimuti hatinya dan tergambar di hadapannya, niscaya tidak ada jalan lain baginya selain tunduk mengagungkan semua aturan dari Dzat Yang Mahakuasa itu.

Berdasarkan hal itu, maka obat kedua ini akan menunjukkan kepada Anda jalan mengenal Allah, sehingga terbuka pintu yang akan mengantarkan Anda kepada pengagungan Allah. "Apabila seorang hamba mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, niscaya ia akan mengetahui besarnya hak Allah terhadap dirinya, sehingga akan mendorongnya berusaha keras untuk menaati Tuhan-nya, dengan keyakinan bahwa sebesar apa pun amal yang ia lakukan tidak akan mampu memenuhi walau sedikit saja hak Allah terhadap dirinya. Namun apabila pengagungan terhadap Allah mulai melemah dalam hati manusia, dan ia tidak lagi mengagungkan-Nya sebagaimana mestinya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam sikap berlebihan atau lalai dalam menunaikan hak-hak Allah. Ia akan sangat banyak melakukan dosa dan kesalahan, sehingga pada gilirannya, ia tidak akan punya perhatian untuk mempersiapkan diri menghadapi hari Akhirat. Hari ketika orang tua tidak akan bisa menolong anaknya, dan anak pun tidak akan bisa menyelamatkan orang tuanya. Oleh karena itu, merupakan sebuah keharusan bagi seorang hamba untuk mengenal keagungan Tuhan-nya, serta merasakan wibawa dari Sang Pencipta, sehingga ia hidup di dunia sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dari dirinya, bukan sesuai keinginan hawa-nafsunya."

Itulah yang membuat Bilâl ibnu Sa`ad—Semoga Allah merahmatinya—selalu mengangkat syiar (slogan) yang berbunyi: "Janganlah kalian melihat kecilnya perbuatan dosa, tapi lihatlah kebesaran Tuhan yang kalian durhakai dalam perbuatan dosa itu." [Lihat: "Shifatush Shafwah", karangan Ibnul Jauzi]

Keselamatan dan Ketenangan

Ketika seorang pemuda mampu mendidik dirinya dalam ketakwaan dan sikap mengagungkan aturan Allah, ia akan memiliki kemampuan pengawasan internal di dalam dirinya. Pengawasan internal ini tidak dapat disejajarkan dengan berbagai bentuk pengawasan lainnya, baik pengawasan pemerintah maupun undang-undang. Sehingga Anda, wahai kaum pemuda, akan hidup dengan memiliki tolak ukur kebenaran dan kesalahan melalui termometer pengawasan internal yang lahir dari pengagungan terhadap syiar-syiar Allah itu. Dengan demikian, Anda akan mendapatkan diri Anda berada pada puncak kestabilan jiwa. Karena keberadaan berbagai bentuk godaan syahwat yang harus dihadapi, ditambah lagi dengan jauhnya diri dari ketaatan kepada Allah dan pengagungan terhadap syiar-syiar-Nya, membuat para pemuda selalu mencari kesempatan yang ia rasa aman untuk melakukan maksiat tanpa dilihat atau disadari oleh orang lain.

Demikianlah, pemuda seperti ini juga hidup dalam lingkungan pekerjaannya misalnya, dengan selalu menunggu saat luputnya pengawasan orang lain, lalu melanggar nilai-nilai profesionalitas dalam pekerjaan. Karena ia merasa bahwa tidak ada yang akan menghukumnya, sebab ia tidak diawasi. Sudah barang tentu, pemuda seperti ini akan merasakan kegelisahan luar biasa di dalam hatinya.

Sedangkan para pemuda bertakwa yang hatinya tenang karena mengagungkan syiar Allah, akan sangat jauh dari hal demikian, sebab yang mengawasi mereka adalah Tuhan mereka. Ketakwaan mengajarkan kepada mereka bahwa yang mengawasi mereka bukanlah mata manusia, dan keridhaan manusia bukanlah tujuan utama. Itulah sebabnya kita melihat orang-orang seperti mereka ini senantiasa berada dalam keadaan yang sangat tenang, sebab keselamatan dan ketenangan hakiki telah menyelimuti hati dan akal mereka.

Tanggung Jawab yang Besar

Kaum bapak harus senantiasa merasakan tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya di hadapan Allah. Kenapa tidak, Allah—Subhânahu wata`âlâ—sendiri telah berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." [QS. At-Tahrîm: 6]

Dan di antara tanggung jawab terbesar adalah mendidik anak-anak untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, dan menanamkan hal ini di dalam hati mereka melalui cara-cara berikut:

1. Kaum bapak harus menjadi suri tauladan bagi anak-anak dalam mengedepankan perintah Allah di berbagai urusan kehidupan mereka, sekaligus menjauhi hal-hal yang diharamkan dan dilarang oleh Allah. Para pemuda harus melihat pengagungan syiar Allah ini dalam bentuk contoh hidup melalui perilaku para bapak dan para ibu mereka.

2. Kaum bapak harus membiasakan anak-anak mereka untuk selalu bergantung kepada Allah dalam semua hal. Misalnya dengan mengatakan kepada mereka: "Tunggu dulu, wahai anakku, sampai kita mengetahui apakah hal ini halal atau haram?", "Wahai anakku, hal ini tidak boleh, maka aku tidak mungkin melakukannya", "Wahai anakku, barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik", "Wahai anakku, aku akan menolongmu untuk mewujudkan hal ini semaksimal mungkin, karena hal ini diridhai oleh Allah", dan lain-lain.

Penutup

Untuk memulai perjalanan Anda dalam mewujudkan ketakwaan, ambillah terlebih dahulu secarik kertas, dan buatlah dua buah kolom. Di kolom pertama, tulislah berbagai dosa yang pernah Anda lakukan, kemudian berjanjilah untuk tidak melakukannya lagi. Sementara di kolom kedua, tulislah ibadah dan kewajiban yang sering Anda lalaikan, dan berjanjilah untuk selalu membiasakannya.

[Sumber: www.islammemo.cc]

Artikel Terkait