Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. ADAB ISLAM
  4. Adab Kepada Orang Lain

Memaafkan adalah Senjata Orang-orang yang Kuat

Memaafkan adalah Senjata Orang-orang yang Kuat

Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):

§ "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” [QS. Al-A`râf: 199].

§ "Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [QS. Âli `Imrân: 134].

Sesungguhnya rasa kasih sayang di hati seorang hamba akan membuat ia memaafkan orang yang menyakiti atau menzaliminya. Ia tidak akan menjatuhkan hukuman kepadanya di saat ia mampu melakukan itu. Apabila sang hamba mampu melakukan hal itu, maka ia layak mendapatkan karunia maaf dari Allah. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (mereka), orang-orang yang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. An-Nûr: 22].

Ayat ini turun ketika Abu Bakar—Semoga Allah meridhainya—bersumpah untuk tidak memberikan sesuatu kepada Misthah karena ikut menyebarkan berita bohong tentang ‘Aisyah—Semoga Allah meridhainya. Sumpah itu terucap sebagai bentuk hukuman dari Abu Bakar Ash-Shiddîq untuk Misthah. Allah lalu memberi petunjuk kepada Abu Bakar untuk memaafkan dengan firman-Nya di atas (yang artinya): "Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.”

Kemudian Allah memberi isyarat di akhir ayat, bahwa siapa yang memaafkan orang yang meyakitinya juga akan dimaafkan oleh Allah. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian?”

Terdapat sebuah riwayat dari Abu Bakar Ash-Shiddîq bahwa ia berkata, "Telah sampai kabar (hadits) kepada kami bahwa Allah—Subhânahu wata`âlâ—menyuruh Malaikat untuk menyeru, 'Barang siapa yang memiliki sesuatu di sisi Allah hendaklah berdiri. Lalu orang-orang pemberi maaf berdiri, kemudian Allah membalasi mereka disebabkan maaf mereka terhadap orang lain’.”

Dakwah dengan Akhlak yang Terpuji

Islam menginginkan ada sebagian dari umatnya menjadi juru dakwah mengajak kepada Islam dengan akhlak mereka yang terpuji. Oleh sebab itu, Islam mengarahkan mereka untuk memaafkan, sekalipun terhadap orang-orang kafir, jika yang disakiti adalah diri mereka dalam skala pribadi. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut akan hari-hari Allah, karena Dia akan membalas suatu kaum atas apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. Al-Jâtsiyah: 14].

Interaksi umat Islam bersama non-muslim dengan akhlak yang tinggi ini telah menyebabkan banyak umat lain memeluk Islam. Dan tauladan umat Islam dalam hal ini adalah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Abdullah bin Mas`ud berkata, "Seolah-olah aku melihat Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—sedang menceritakan kisah salah seorang nabi yang dipukul oleh kaumnya sehingga berlumuran darah, dan ia mengusap darah itu dari wajahnya seraya berkata, 'Ya Tuhan, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengerti’.”

Sungguh, pendidikan nilai-nilai agung ini terhadap anak-anak generasi muda Islam-lah yang telah menjadikan seorang Umar ibnul Khaththâb mampu berkata, "Seluruh umatku telah aku maafkan.”

Nilai ini jugalah yang dapat kita rasakan dalam kata-kata Ibnu Mas`ud—Semoga Allah meridhainya—ketika duduk di pasar membeli makanan. Saat ia ingin membayar makanan itu, ia baru menyadari bahwa uangnya telah dicuri. Orang-orang pun meneriaki si pencuri yang telah mengambil uang itu. Lalu Abdullah bin Mas`ud berkata, "Ya Allah, jika yang mendorongnya untuk mengambil itu adalah kebutuhannya, maka berkahilah uang itu baginya. Dan jika yang mendorongnya untuk melakukan itu adalah keberaniannya untuk melakukan dosa, maka jadikanlah itu akhir dosanya.”

Memaafkan Itu Lebih Utama

Kendatipun Islam telah menetapkan hak orang yang dizalimi dengan cara menghukum pelaku kezaliman secara setimpal atas prinsip keadilan, namun memaafkan tanpa meninggalkan kesan memotivasi untuk tetap dalam kezaliman adalah perbuatan yang lebih mulia. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim, mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Siapa yang memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah mereka teraniaya tidak ada suatu dosa pun atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat lalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” [QS. Asy-Syûrâ: 39-43].

Firman Allah (yang artinya): "Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim, mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa’ memperlihatkan hak orang-orang yang beriman untuk membela diri apabila mereka dizalimi. Ayat ini juga membuat belenggu untuk pembelaan diri itu berupa batasan yang juga tidak boleh dilanggar.

Setelah itu, Allah menampilkan tingkatan sikap yang lebih tinggi, yaitu ihsân untuk mendorong manusia agar mencapainya, yaitu dalam firman-Nya (yang artinya): "Siapa yang memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.”

Kemudian keterangan itu diikuti dengan penegasan bahwa orang-orang zalim tidak berhak mendapatkan cinta Allah, yaitu dalam firman-Nya (yang artinya): "Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”

Nas selanjutnya di dalam ayat-ayat di atas kembali menyatakan hak orang-orang yang dizalimi untuk membela diri. Sebagaimana juga menyatakan dengan sangat keras bahwa orang-orang zalim berhak mendapatkan hukuman di dunia dan azab yang pedih di Akhirat. Hal itu terkandung dalam firman Allah (yang artinya): "Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah mereka teraniaya tidak ada suatu dosa pun atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat lalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.”

Ayat-ayat ini lalu tidak membiarkan tingkatan adil menjadi fokus semua pandangan, tetapi sekali lagi mendorong kepada tingkatan ihsân dengan cara bersabar dan memberi maaf, seraya menyatakan bahwa sikap itu termasuk perbuatan yang utama. Hal itu terkandung di potongan akhir dari ayat-ayat di atas, yaitu firman Allah (yang artinya): "Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”

Demikianlah keterangan ini disampaikan secara acak dan saling berhimpitan di dalam ayat-ayat tersebut. Di dalamnya terkandung keindahan retorika yang mencengangkan. Di situ juga terlihat bagaimana Al-Quran mengikuti getaran perasaan manusia dengan sentuhan-sentuhan yang halus dan arahan-arahan yang lembut, dengan tetap memperhatikan penderitaan korban kezaliman, sekaligus memandang dengan kasar dan keras kepada orang-orang zalim lagi melampaui batas. Di waktu yang sama, juga menyatakan bahwa adalah merupakan hak korban untuk membela diri dengan cara yang benar. Kemudian, ayat-ayat ini kembali mendorong mereka dengan penuh kelembutan untuk bersabar dan memaafkan. Semua itu ditampilkan dalam ragam warna yang berkisar antara sikap adil dan ihsân.

Kemudian pada ayat-ayat yang lain, Al-Quran menjelaskan balasan pahala yang akan didapatkan oleh orang-orang yang memaafkan orang lain. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." [QS. Âli `Imrân: 133-134].

Memaafkan adalah Tanda Kedermawanan Hati

Orang yang mudah memaafkan adalah orang yang memiliki hati yang dermawan, cita-cita yang tinggi, serta kasih sayang dan kesabaran yang luar biasa. Mu`awiyah—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Kalian harus sabar dan tahan uji sampai datang kesempatan kepada kalian. Apabila kesempatan itu datang, maka kalian harus memaafkan dan mengambil sikap yang utama.”

Ketika para tawanan dari kelompok pemberontak Abdurahman bin Al-Asy`ats dihadapkan kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan, sang khalifah berkata kepada Rajâ` bin Haiwah, "Apa pendapatmu?" Rajâ` berkata, "Sesungguhnya Allah—`Azza wajalla—telah memberikan kemenangan yang engkau inginkan, maka berikanlah maaf yang disukai Allah.” Lalu Abdul Malik pun memaafkan mereka.

Sesungguhnya memaafkan adalah akhlak orang-orang kuat yang apabila mereka sanggup dan diberikan Allah kesempatan untuk membalas terhadap orang yang menyakiti mereka, mereka berlapang dada memaafkannya.

Imam Al-Bukhâri—Semoga Allah meridhainya—berkata di dalam kitab Shahîh-nya:

“’Bab Membela Diri dari Orang-orang Zalim’, berdasarkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): ‘Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim, mereka membela diri’. Ibrahim An-Nakha’i berkata, ‘Mereka (salafus shalih) tidak suka merendahkan (orang lain), apabila mereka memiliki kekuatan (untuk membalas), mereka memaafkan’.”

Memaafkan Akan Melahirkan Kemuliaan Diri

Sebagian orang mungkin tidak suka memberi maaf, karena mengira bahwa itu akan menyebabkan kehinaan dan kerendahan diri. Oleh karena itu, datanglah nas yang pasti menjelaskan bahwa sikap memaafkan akan mengangkat derajat dan mengangkat kemuliaan pelakunya. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sedekah itu tidak akan mengurangi harta, dan dengan sikap memaafkan, Allah tidak akan menambah untuk seorang hamba selain kemuliaan diri. Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhuk karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” [HR. Muslim].

Orang yang lebih utama mendapatkan maaf Anda adalah orang-orang lemah, mulai dari para istri Anda, anak-anak Anda, pembantu Anda, dan orang-orang yang seperti mereka. Oleh sebab itu, ketika Allah menjelaskan bahwa di antara istri dan anak-anak ada yang menjadi fitnah (cobaan), di sana juga langsung ada perintah untuk bersikap pemaaf. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka, dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. At-Taghâbun: 14].

Di antara kebiasaan manusia adalah cenderung berbuat baik kepada istri dan anak-anak. Sehingga apabila ada di antara anak dan istri mereka yang berlaku tidak baik kepada mereka, mereka merasa sangat terpukul. Bahkan mungkin kemarahan akan memuncak dan sulit untuk memaafkan, karena mereka menganggap bahwa perlakuan tidak baik dari anggota keluarga adalah suatu bentuk kedurhakaan dan tidak tahu balas budi. Oleh sebab itu, perlu ada arahan khusus yang ditujukan kepada pimpinan keluarga untuk berlapang dada memaafkan, sehingga ia layak mendapat ampunan dan maaf dari Allah.

Adapun tentang pembantu dan orang yang seperti mereka, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah ditanya tentang mereka, "Berapa kali kita harus memaafkan seorang pembantu?” Beliau diam. Lalu penanya mengulangi lagi pertanyaan itu. Namun beliau masih tetap diam. Ketika pertanyaan itu diulangi untuk kali ketiga, beliau menjawab, "Maafkanlah ia sebanyak tujuh puluh kali dalam satu hari.” [HR. Abû Dâwûd; Menurut Al-Albâni: shahîh].

Ya Allah, kami memohon maaf dan ampunan-Mu. Berilah kami keselamatan di dalam urusan Agama, dunia, dan Akhirat kami.

Alhamdulillâhi Rabbil `Âlamîn

[Sumber: www.islamweb.net]

Artikel Terkait