Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Penyakit Hati

Penyakit Riyâ`

Penyakit Riyâ`

Di dalam Al-Quran dan Sunnah, terdapat banyak nas yang mengharamkan riyâ` dan mencela pelakunya. Di antaranya adalah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ— (yang artinya):

· "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. orang-orang yang berbuat riyâ`." [QS. Al-Mâ`ûn: 4-6];

· "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhan-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhan-nya." [QS. Al-Kahf: 110]

Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa yang mengerjakan suatu amal, dan di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan yang lain, maka Aku akan meninggalkan ia dan sekutunya itu."

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil." Para shahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu?" Beliau menjawab, "Riyâ`. Allah akan berkata pada hari Kiamat, saat Dia memberi balasan terhadap amalan hamba-hamba-Nya: 'Temuilah orang-orang yang kalian pamerkan amalan kalian pada mereka di dunia; kemudian lihat, apakah kalian bisa mendapat balasan dari mereka!'"

Suatu hari, Abû Umâmah Al-Bâhili melihat seseorang di Mesjid menangis dalam sujudnya. Abû Umâmah berkata kepadanya, "Alangkah bagusnya seandainya engkau seperti ini di rumahmu."

Hakikat Riyâ` dan Sarana yang Dipakai untuk Mengekspresikan nya

Kata riyâ` berasal dari kata ru`yah (melihat atau memandang). Pada dasarnya riyâ` berarti mencari kedudukan di dalam hati manusia, dengan memperlihatkan sifat-sifat yang baik. Orientasinya beragam, namun secara umum, riyâ` bisa dibagi kepada lima macam, berdasarkan sarana yang dipakai oleh pelakunya, yaitu: fisik, pakaian, perkataan, amal, ketaatan, dan teman (faktor luar).

· Riyâ` fisik misalnya dengan menampakkan badan yang kurus dan pucat, untuk menunjukkan kesungguhan ibadah, besarnya rasa sedih melihat kondisi agama, dan dominannya rasa takut terhadap Akhirat.

· Riyâ` penampilan dan pakaian misalnya dengan menampakkan rambut yang kusut, menundukkan kepala saat berjalan, bergerak dengan pelan, dan membiarkan bekas sujud di kening. Semua itu bisa dijadikan sarana untuk riyâ`.

· Riyâ`perkataan (ucapan) merupakan riyâ` para ahli Agama yang biasanya berbentuk penyampaian nasihat, tazkirah, kata-kata hikmah, dan atsar, untuk menampakkan perhatian yang besar terhadap keadaan orang-orang shalih. Begitu juga, berzikir dengan menggerakkan bibir di hadapan orang lain.

· Sedangkan riyâ` perbuatan contohnya adalah riyâ` orang yang shalat dengan memanjangkan bacaan, sujud, dan rukuk. Termasuk Juga menundukkan kepala dan tidak menoleh ke arah lain.

· Sementara riyâ` karena teman atau faktor luar misalnya adalah memaksakan diri meminta seorang ulama mengunjunginya, sehingga orang-orang berkata, "Ulama Fulan mengunjungi si Fulan."

Tujuan Riyâ`

Ketahuilah, bahwa seorang yang berbuat riyâ` dipastikan memiliki tujuan tertentu, seperti: mendapatkan posisi, kedudukan, dan obsesi-obsesi lainnya. Tujuan orang yang berperilaku riyâ` ada beberapa tingkat, sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

Pertama, untuk bisa berbuat dosa (melakukan maksiat) mendurhakai Allah. Seperti orang yang berbuat riyâ` dengan ibadahnya serta memperlihatkan sifat takwa dan warak dengan tujuan agar dikenal sebagai orang yang bisa dipercaya, lalu diamanahkan memegang suatu jabatan atau dipercaya membagi harta tertentu, sehingga ia bisa mengambil harta itu sebanyak yang ia suka. Pelaku riyâ` yang seperti ini adalah pelaku riyâ` yang paling dibenci oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ, karena ia menjadikan ibadah sebagai tangga untuk bisa mendurhakai Allah.

Kedua, untuk mendapatkan sebagian kesenangan duniawi, seperti memperoleh harta, atau menikahi seseorang. Misalnya, seorang yang menampakkan diri sebagai orang berilmu dan rajin beribadah untuk mendorong orang lain menikahkannya atau memberinya harta. Riyâ` seperti ini juga dilarang, karena menjadikan ketaatan kepada Allah (ibadah) sebagai jalan untuk memperoleh kesenangan duniawi. Namun derajatnya di bawah riyâ` yang pertama.

Ketiga, berbuat riyâ` bukan karena ingin mendapatkan kesenangan duniawi, seperti harta dan sebagainya. Namun, ia menampakkan ibadahnya lantaran khawatir kalau dirinya dipandang remeh, awam, dan bukan orang taat yang zuhud.

Riyâ` Khafiy (yang Tersembunyi)

Sifat riyâ` terbagi dua macam, yaitu: Riyâ` Jaliy (tampak/jelas) dan Riyâ` Khafiy (tersembunyi). Riyâ` Jaliy adalah riyâ` yang 'mendorong' dan memotivasi seseorang untuk melakukan sebuah amal kebajikan, meskipun dalam melakukannya ia mengharapkan pahala. Ini adalah Riyâ` yang paling Jaliy (jelas). Riyâ` yang sedikit lebih tersembunyi di bawahnya adalah riyâ` yang tidak mendorong seseorang untuk beramal, akan tetapi membuat pelakunya merasakan ringan (mudah) melakukan amal yang diridhai Allah. Misalnya, seorang yang sudah terbiasa melakukan shalat tahajud setiap malam, tetapi ia masih melakukannya dengan sulit (berat). Tetapi, ketika ada tamu menginap di rumahnya, semangatnya meningkat dan tahajud itu terasa ringan baginya.

Juga termasuk Riyâ` Khafiy ketika seorang hamba menyembunyikan amal ketaatannya, namun saat bertemu dengan orang lain, ia ingin orang itu menyambutnya dengan wajah berbinar, memberikan penghormatan dan pujian kepadanya, bersemangat dalam membantu memenuhi keperluannya, memurahkan untuknya dalam jual beli, serta melapangkan tempat untuknya. Ia merasa tidak suka jika ada orang yang kurang menghargainya.

Orang-orang shalih senantiasa takut kepada penyakit riyâ` yang tersembunyi. Mereka berusaha keras menyembunyikan ketaatan (ibadah) yang mereka lakukan, melebihi usaha orang lain untuk menyembunyikan keburukan diri. Semua itu demi menjaga keikhlasan amal-amal mereka, sehingga di hari Kiamat kelak Allah membalasi mereka atas keikhlasan itu. Mereka sadar, bahwa Allah tidak akan menerima amal seseorang kecuali yang dilakukan dengan ikhlas. Mereka juga sadar, bahwa mereka sangat membutuhkan dan memerlukan kebaikan pada hari Kiamat.

Obat dan Cara Mengatasi Penyakit Riyâ`

Anda sudah tahu bahwa sifat riyâ` menghancurkan amal, sekaligus menyebabkan datangnya kemarahan Allah Yang Maha Agung lagi Mahatinggi. Riyâ` juga termasuk salah satu sifat perusak yang paling berbahaya. Sudah selayaknya kita bersungguh-sungguh menjauhi dan menghilangkan sifat ini. Terdapat tingkatan amal untuk mengatasi penyakit ini:

Pertama, memotong urat nadi dan akar penyakit riyâ` itu sendiri, yaitu rasa suka terhadap pujian, tidak tahan menerima celaan, dan tamak terhadap sesuatu yang ada di tangan orang lain. Tiga hal ini merupakan perkara yang mendorong seseorang bersifat riyâ`. Untuk mengatasi hal ini, yang harus dilakukan seorang hamba adalah mengetahui mudarat riyâ`, seperti hilangnya kebersihan hati yang merupakan sumber bimbingan Allah di dunia dan kedudukan mulia di Akhirat. Selain itu, juga dengan mengingat azab, kemurkaan Allah yang besar, serta kehinaan yang ia dapatkan dengan bersikap riyâ` itu.

Jika seorang hamba merenungkan semua kerugian dan penderitaan itu, lalu ia bandingkan apa yang ia dapatkan dari rasa suka orang lain di dunia dengan kebaikan yang luput darinya di Akhirat, serta pahala amalnya yang hilang, maka ia akan mudah menjauhi sifat riyâ`. Ibarat seorang yang tahu manisnya madu, namun ketika ia sadar bahwa di dalam madu itu terdapat racun, niscaya ia tidak akan meminumnya.

Kedua, membuang perasaan riyâ` yang muncul saat seseorang melaksanakan ibadah. Hal ini juga mesti dipelajari. Meskipun seorang hamba telah berjuang untuk menumpas bibit-bibit riyâ` dan berusaha tidak terpengaruh oleh pujian serta cacian orang lain, namun Syetan tidak akan meninggalkannya saat ia beribadah. Syetan akan menggodanya pada saat-saat seperti itu dengan menghadirkan perasaan-perasaan riyâ`. Untuk mengatasinya, jika seorang hamba merasakan di hatinya terbersit keinginan untuk dipandang orang lain saat beribadah, hendaklah ia tolak dengan mengatakan kepada dirinya: "Aku tidak punya hubungan dengan makhluk. Mereka tahu ataupun tidak, bukanlah sesuatu yang penting. Yang penting, Allah tahu apa yang aku lakukan. Lalu apa manfaatnya kalau orang lain tahu?!" Seandainya hasrat ingin mendapat pujian muncul dalam hatinya, hendaklah ia mengingat keburukan sifat riyâ` yang akan mendatangkan kemarahan Allah dan banyak kerugian lainnya.

Kekeliruan Meninggalkan Amal karena Takut Riyâ`

Sebagian orang ada yang meninggalkan amalan tertentu karena takut terjangkiti sifat riyâ`. Ini adalah tindakan yang salah dan justru terjebak perangkap Syetan. Sikap ini juga mendidik seseorang bersifat malas dan meninggalkan kebaikan. Seharusnya, selama niat untuk beramal seorang hamba sudah benar, dan tidak bertentangan dengan Syariat yang lurus, maka amal itu tidak boleh ia ditinggalkan lantaran adanya bisikan riyâ`. Bisikian itu justru harus ia lawan, dan ia mesti menanamkan di dalam dirinya rasa malu kepada Allah, serta berusaha menjadikan pujian Allah sebagai pengganti pujian manusia.

Fudhail Ibnu `Iyâdh pernah berkata, "Beramal lantaran (perhatian) manusia adalah perbuatan syirik. Sedangkan meninggalkan amal lantaran (perhatian) manusia adalah perbuatan riyâ`. Sementara ikhlas adalah jika Allah membebaskanmu dari kedua hal itu."

Ulama yang lain juga mengatakan, "Siapa yang meninggalkan amal karena takut bersifat riyâ`, berarti ia telah meninggalkan ikhlas dan amal."

Artikel Terkait