Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Ringkasan Ajaran Islam

Sifat Iblis

Sifat Iblis

Oleh: Syaikh SyaikhNâshir Al-`Umar

Sifat-sifat buruk manusia sesungguhnya banyak sekali, namun yang lebih memperburuk sifatnya ini ialah menyerupai sifat makhluk yang paling hina. Apabila seseorang menyerupakan ketololan orang lain dengan hewan yang dikenal tolol umpamanya, tentu hal itu lebih buruk daripada sekedar menyebutnya tolol. Jika hal ini jelas, maka melanggar janji merupakan sifat makhluk yang paling hina yaitu Iblis yang dilaknat Allah!

Sesungguhnya melanggar janji adalah salah satu sifat Iblis. Cukuplah hal ini sebagai pencegah dan penghindar dari keterjerumusan di dalam sifat yang tercela ini. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: ".Dan beri janjilah mereka, dan tiada yang dijanjikan oleh Syetan kepada mereka melainkan tipuan belaka." [QS. Al-Isrâ': 64]

Iblis sendiri mengakui hal ini pada dirinya dan ia menjelaskan buruknya perbuatan ini dan hukumannya yang berat. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Dan berkatalah Syetan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: 'Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar dan akupun telah memberi janji kepada kalian, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap kalian, melainkan (sekedar) aku menyeru kalian lalu kalian mematuhi seruanku. Oleh sebab itu janganlah klaia mencerca diriku akan, tetapi cercalah diri kalian sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolong kalian dan kalianpun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatan kalian mempersekutukan diriku (dengan Allah) sejak dahulu.' Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih." [QS. Ibrâhîm: 22]

Oleh karena itu tidak heran jika sebagaian iblis manusia memperburuk dirinya dengan sifat ini, sementara orang-orang beriman menghias dirinya dengan lawan dari sifat tersebut. Maka melanggar janji merupakah salah satu sifat paling nyata orang-orang munafik dalam urusan mereka dengan Allah dan interaksi mereka dengan manusia. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta." [QS. At-Taubah: 77]

Masalahnya bukan sekedar melanggar janji terhadap Allah—Subhânahu wata`âlâ, karena Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia melanggar dan apabila dipercaya ia berkhianat." [HR. Al-Bukhâri]. Beliau juga bersabda: "Empat sifat yang apabila terdapat pada diri seseorang maka ia adalah orang munafik murni.(Yaitu) orang yang apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia melanggar, apabila bersumpah ia ingkar dan apabila ia berurusan (dengan orang lain) ia menipu. Siapa yang dalam dirinya terdapat satu dari sifat-sifat sifat tersebut maka ia memiliki salah satu sifat kemunafikan sampai ia meninggalkannya." [HR. Al-Bukhâri]

Telah maklum di kalangan para ulama bahwa nifâq (sifat munafik) itu ada dua macam: (Pertama) nifâq akbar (nifâk besar), yaitu nifâq yang berhubungan dengan keyakinan, yaitu orang yang hatinya kafir namun pura-pura terlihat berimanan. Nifâq semacam ini adalah nifâq yang mengeluarkan seseorang dari Agama. (Kedua): Nifâq ashgar (nifâq kecil). Sifat ini berkaitan dengan amal perbuatan, bukan pada keyakinan. Maka walaupun sifat melanggar janji tergolong nifâq yang kedua, hanya saja seseorang tidak boleh merasa dirinya telah aman dari nifâq besar. Karena di dalam hadits di atas terdapat ancaman keras berprilaku atau memiliki sifat yang tercela ini. Bahkan ada sebagian ulama yang memaknai hadits tersebut dengan makna zahirnya. Dan tentunya hal ini semakin mendorong kita untuk waspada dan berhati-hati dari sifat tercela ini.

Al-Hâfizh Ibnu Hajar—Semoga Allah merahmatinya—dalam menjelaskan makna haditi yang pertama berkata: "An-Nawawi mengatakan, 'Hadits ini oleh sebagian ulama dianggap musykil (bermasalah) dari sisi (maknanya) bahwa sifat ini terkadang ada pada diri seorang muslim yang telah disepakati bahwa dia tidak dihukumi kafir.' (Komentar Al-Hâfiz): Tidak ada yang musykil dalam hadits ini, maknanya shahih. Apa yang dikatakan oleh para ulama bahwa makna hadits di atas ialah: 'Sifat-sifat (yang disebutkan dalam hadits) ini merupakan sifat nifâq dan pemiliknya menyerupai orang-orang munafik dalam sifat-sifat tersebut serta prilakunya seperti prilaku mereka'; Saya katakan, inti pendapat di atas bahwa pelabelan nifâq ''ini sifatnya majazi/metafor, maknanya: pemilik sifat-sifat tersebut mirip orang munafik. Ini jika pendapat di atas didasarkan pada makna bahwa nifâq yang dimaksud ialah nifâq kufr (nifâq akbar).

Karena ada pendapat lain yang mengatakan bahwa nifâq (dalam hadits) tersebut nifâq amali sebagaimana telah kami jelaskan, dan pendapat inilah yang disetujui oleh Al-Qurthubi. Ia berdalil dengan perkataan Umar kepada Hudzaifah: 'Apakah engkau mengetahui dalam diriku ada sifat nifâq?' Beliau bertanya demikian tidak bermaksud menanyakan nifâq kufr, yang beliau maksud adalah nifâq 'amali. Pendapat ini dikuatkan ''sabda Nabi yang menyifati nifâq tersebut dengan "murni" dalam hadits yang kedua: "'.ia adalah orang munafik murni'.".

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa penyebutak kata nifâq tersebut hanya sekedar peringatan dan larangan melakukan sifat-sifat tersebut dan bahwa zahir teks hadits tidka dimaksudkan. Pendapat inilah yang direstui oleh Al-Khaththâbi. Ia juga menyebutkan makna lain, bahwa hadits tersebut mengandung makna bahwa orang yang (layak) disebut dengan sifat (nifâq) itu ialah yang terbiasa melakukannya dan telah menjadi tabiatnya. Ia melanjutkan: 'Yang menunjukkan makna ini ialah penggunaan kata "'idzâ (apabila)" '(dalam hadtis tersebut) yang mengandung makna terus berulangnya sifat/perbuatan tersebut. Yang lebih tepat dari pendapat di atas ialah pendapat yang disebutkan oleh Al-Karmâni: bahwa penghapusan maf`ûl (obyek) kata 'haddatsa' (berbicara) menunjukkan keumuman makna. Maka maknanya: "'Apabila ia berbicara dalam segala hal ia berdsuta dalam semua hal itu'. Atau maknanya terbatas (tidak pada semua ucapan, hanya pada ucapan yang sifatnya informatif), yaitu: 'Apabila keluar darinya ucapan yang sifatnya memberi informasi, dalam hal itu ia berdusta'.'

Pendapat lain menyebutkan bahwa pelabelan sifat nifâq dalam hadits di atas dimaknakan dengan orang sebagian besar sifatnya adalah sifat-sifat tersebut dan merasa ringan melakukannya, karena orang yang sifat-sifatnya demikian biasanya akidahnya rusak.

Pendapat-pendapat di atas tentunya berdasarkan pada pendapat bahwa huruf alif dan lâm dalam kata "'Al-Munâfiq' (orang-orang munafik)" ialah alif-lâm "lil jins" (menunjukkan makna jenis; sehingga maknanya jenis orang munafik). Tetapi ada juga yang mengklaim alif-lâm tersebut '"lil`ahd'" (menunjukkan makna yang sudah ada di dalam pikiran; sehingga bermakna orang munafik yang dikenal/diketahui). Orang yang mengklaim pendapat ini berkata bahwa hadits tersebut ditujukan kepada personal tertentu yang telah diketahui, atau khusus untuk orang munafik pada zaman Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Mereka kemudian berdalil dengan hadits-hadits dha`îf tentang hal itu, yang jika ada satu saja hadits yang mereka gunakan berdalil, niscaya hadits di atas harus dimaknai dengan pendapat mereka. Namun pendapat paling utama (dari semua pendpat di atas) ialah pendapat yang disetujui oleh Al-Qurthubi, wallâhu a`lam." [Kitab Fathul Bâri]

Beliau juga berkata: "Penyebutan hanya tiga tanda tersebut mengandung makna bahwa ketiganya merupakan isyarat terhadap sifat-sifat (buruk) yang lain. Hal ini karena Agama berkisar pada tiga hal: perkataan, perbuatan dan niat. Maka Nabi menujukkan rusaknya perkataan dengan dusta, rusaknya perbuatan dengan khiyanat dan rusaknya niat dengan pelanggaran janji, karena melanggar janji tidak salah selama tidak didasari niat untuk melanggar ketika berjanji. Adapun jika ia hendak memenuhi janjinya, kemudian terjadi suatu halangan atau ada suatu pikiran (yang menghalanginya), maka orang seperti ini tidak tampak padanya sifat nifâq. Hal ini dikatakan oleh Al-Ghazâli dalam kitan Al-Ihyâ''" [Fathul Bâri]. Hal ini bisa didalilkan dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bahwa beliau bersabda: "Apabila seorang laki-laki berjanji kepada saudaranya, sementara di dalam niatnya ia akan menepati janjinya, namun ia tidak menepati dan tidak datang pada waktunya, maka tidak ada dosa baginya." [HR. Abû Dâwûd]

§ Tujuan pembahasan ini adalah sebagai peringatan terhadap bahaya melanggar janji dan upaya membersihkan diri dari sifat Iblis tersebut semampunya, dan supaya tetap berakhlak dengan lawannya yakni menepati janji dan tepat waktu. Karena kesempurnaan tidak cukup hanya pada menafikan aib saja. Ketika Allah—Subhânahu wata`âlâ—menafikan sifat mengingkari janji dari diri-Nya, Pada saat yang sama Dia menetapkan pada diri-Nya lawan sifat tersebut (yaitu sifat menepati janji). Dan tak satupun penafian sifat kekurangan melainkan pada konteks penetapan sifat kesempurnaan, karena Dia—Subhânahu wata`âlâ—hanya bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan seluruhnya, sementara seluruh sifat-sifat kekurangan ternafikan dari Dzat-Nya. Maka, kalaulah melanggar janji bukan merupakan sifat kekurangan niscaya Allah tidak akan menafikannya dari diri-Nya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artiya: "Sesungguhnya Allah tidak akan melanggar janji-Nya." [QS. Ar-Semoga Allah meridhainya`d: 31]

§ "(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janjinya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." [QS. Ar-Rûm: 6]

§ "Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya." [QS. Al-Hajj: 47]

Orang-orang yang beriman memahami hakikat yang sangat terang ini sehingga merekapun menafikan sifat ini dari Rabb—Subhânahu wata`âlâ, sebagaimana Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman tentang hal ini yang artinya: "'Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau, dan janganlah Engkau hinakan kami di Hari Kiamat, sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji'." [QS. Âli `Imrân: 194]

Orang-orang beriman juga selalu berusaha menuju kesempurnaan dan menghindari segala sifat kekurangan yang diperintahkan oleh Allah untuk menghindarinya, serta berakhlak dengan sebaliknya, supaya mereka mendapatkan ridha-Nya. Maka jika demikian adanya, seorang mukmin harus menjaga dan menepati janjinya dan jadwal-jawdalnya, tidak sedikitpun melanggarnya. Agar hal ini bisa terwujud, ia harus mencegah dirinya untuk memberi sebagian janji, tidak berjanji kecuali setelah berfikir dan menakar dirinya. Jika ia berupaya untuk berpikir dan mengukur dirinya, ia akan mampu menepati janjinya. Semoga Allah menjadikan saya dan Anda semua sebagai orang-orang yang menepati janjinya.

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.'

Artikel Terkait