Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. ADAB ISLAM
  4. Adab Kepada Diri Sendiri

Jangan Jadikan Hati Anda Seperti Gabus

Jangan Jadikan Hati Anda Seperti Gabus

Oleh: Abdurrahman ibnu Shalih Al-Mahmud

Judul ini bukanlah bahasa media massa yang biasa diramu oleh sebagian penulis untuk menarik minat dan perhatian pembaca, walaupun terkadang tidak sesuai dengan isinya. Judul ini merupakan sebuah topik kurikulum akidah dan pemikiran yang dibutuhkan oleh para pembaca, terutama untuk zaman sekarang, ketika globalisasi pemikiran dan gaya hidup telah menguasai dunia melalui perantara media masa dan berbagai jaringan informasi.

Judul ini merupakan sebuah nasihat yang disampaikan oleh Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah—Semoga Allah merahmatinya—kepada muridnya yang paling terkenal, yaitu Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah—Semoga Allah merahmatinya. Sebuah nasihat yang keluar dari sosok yang luar biasa, dan ditujukan untuk sosok yang luar biasa pula.

Tentang nasihat ini, Ibnul Qayyim berkata, "Aku tidak pernah merasakan manfaat sebuah nasihat untuk menolak syubhat melebihi manfaat yang aku dapatkan dari nasihat ini." [Miftâhu Dâris Sa'âdah, 1/443]. Padahal Ibnul Qayyim telah menerima puluhan, bahkan ratusan nasihat dari gurunya ini, sebagaimana diketahui dengan jelas oleh orang-orang yang sering membaca kitab-kitabnya. Nasihat ini ternyata mempunyai pengaruh tersendiri di dalam kehidupan dan manhaj seorang Ibnul Qayyim. Ia begitu banyak mengenyam pengalaman hidup—yang ia rangkum di dalam syair "Nûniyah"-nya. Allah menyelamatkannya dari perangkap syubhat para ahli bid'ah dengan berguru dan belajar secara tekun kepada Ibnu Taimiyyah.

Ibnul Qayyim bercerita tentang nasihat ini:

"Syaikhul IslâmSemoga Allah meridhainya—berkata kepadaku di saat aku mengutarakan syubhat demi syubhat kepadanya, 'Jangan biarkan hatimu di hadapan syubhat dan kerancuan itu menjadi seperti gabus, karena ia akan menyerapnya, dan hanya akan mengeluarkan syubhat juga. Tapi jadikanlah hatimu ibarat kaca yang tidak berpori, sehingga syubhat itu hanya lewat di permukaannya, dan tidak bisa menetap di dalamnya. Hatimu akan melihat syubhat itu dengan kesuciannya, dan akan menolak syubhat itu dengan kekuatannya. Kalau tidak demikian, apabila engkau membiarkan hatimu menyerap semua syubhat yang ditemuinya, niscaya hatimu akan menjadi tempat menetap syubhat-syubhat itu." [Miftâhu Dâris Sa`âdah, 1/443]

Kesimpulan dari nasihat Ibnu Taimiyyah ini adalah bahwa ketika Anda berhadapan dengan syubhat dan pemikiran yang tidak jelas sumbernya, sikap Anda adalah:

1. Jangan jadikan hati Anda seperti gabus, sebab ia akan menyerap syubhat itu, dan hanya akan mengeluarkan syubhat juga.

2. Jadikanlah hati Anda ibarat kaca yang tidak berpori, sehingga Anda melihat syubhat dengan kebeningannya, dan kemudian menolak syubhat itu dengan kekuatannya.

Kita akan mempelajari kedua sisi nasihat ini, setelah terlebih dahulu memaparkan sebuah prolog yang sangat penting berikut ini:

Ilmu itu terbagi dua:

Pertama: Ilmu Syariah yang diturunkan melalui wahyu. Misalnya: Kitabullah (Al-Quran), Sunnah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—yang shahîh, serta semua hal yang mengikuti dan bersumber dari keduanya. Contoh hal-hal yang mengikuti Al-Quran dan Sunnah itu adalah Atsar yang shahîh, ilmu-ilmu fundamental yang telah dijelaskan oleh para ulama di dalam bidang Aqidah, Hukum, Adab, Akhlak, Ilmu Al-Quran, Ilmu Hadits, Ushul Fikih, Fikih, dasar-dasar Akidah yang benar, dan ilmu alat untuk mempelajari ilmu-ilmu itu. Semua ilmu ini merupakan sumber kehidupan hati, serta jalan untuk menyembah dan mentauhidkan Allah. Tidak ada kesuksesan bagi seorang hamba dan suatu negeri, baik di dunia maupun di Akhirat, kecuali dengan ilmu-ilmu ini.

Ilmu-ilmu ini harus diserap oleh hati seorang mukmin, karena ilmu inilah yang akan mengantarkannya menuju kebahagiaan di dunia dan Akhirat, serta jenjang ibadah dalam menyembah Tuhan Semesta Alam.

Kedua: Semua ilmu selain ilmu-ilmu yang disebutkan di atas. Dan ini juga terbagi kepada dua:

1. Ilmu duniawi murni. Ilmu jenis ini diambil sesuai kebutuhan manusia di dunia, dan untuk membantu kelangsungan hidup. Apabila ilmu ini dijadikan sebagai sarana pembantu untuk menyembah Allah, maka ia akan mengandung pahala. Namun apabila ilmu ini membuat seseorang jauh dari ibadah, atau membuatnya lebih mengutamakan ilmu ini dibandingkan ibadah kepada Allah, maka ia akan mendapatkan siksaan karenanya.

2. Akidah-akidah dan ilmu filsafat yang menyimpang, serta pemikiran ahli bid`ah—dari dulu sampai sekarang. Termasuk juga ke dalam kelompok ini aliran pemikiran kontemporer dengan berbagai orientasi dan sumbernya, baik dari Timur, dari Barat, maupun dalam bentuk nasionalisme jahiliah.

Jenis yang kedua ini merupakan penyakit ganas yang apabila merasuk ke dalam hati manusia, ia akan merusaknya dan menyelimutinya dengan berbagai syubhat dan keraguan. Ia akan mengubah hati dari indahnya keimanan, penyerahan diri, ketaatan, serta kesucian dan kekuatan kalbu menjadi keraguan, kebimbangan, dan monopoli bisikan Syetan. Ia akan mereduksi kuantitas ibadah dan ketaatan. Selain itu, juga akan merubah hati dari jinak menjadi buas.

Syubhat merupakan beban yang paling berat untuk hati manusia, sehingga bisa menjadi laksana gunung baginya. Bagaimana mungkin hati yang tipis akan mampu memikulnya. Seorang mukmin yang berilmu akan mengetahui bahaya syubhat ini, apalagi bila ia mengetahui bahwa tidak ada orang yang aman dari pengaruhnya, setinggi apa pun ilmunya, sekuat apa pun ibadahnya, seberapa istiqamah pun ia dalam beragama, segiat apa pun ia berdakwah, atau sehebat apa pun ia konsisten dalam semua itu.

Bagi orang yang mengikuti realita umat Islam kontemporer, terutama para penuntut ilmu, para dai, dan para aktivis dakwah, tentu menyaksikan betapa berbagai macam syubhat telah masuk ke dalam hati manusia, dan kemudian teraplikasikan ke dalam perbuatan dan realita dakwah melalui sarana-sarana komunikasi kontemporer yang telah kita ketahui bersama. Setelah itu, ia berubah menjadi sebuah penyakit yang bisa disebut dengan "kelumpuhan pemikiran" yang memuat memasalah-masalah akidah, syariah, dan budaya yang dipahami menurut metodologi logika kontemporer yang menyimpang.

Sumber permasalahannya adalah masuknya syubhat orang-orang atheis, zindik, sekuler, orientalis, modernis, dan lain-lain ke dunia Islam. Kemudian syubhat yang mereka sampaikan tersebut ikut diserap oleh sebagian aktifis dakwah. Dan tidak lama kemudian, mereka akan menggantikan orang-orang zindik dan ahli bid`ah itu dalam menyebarkan dan membela syubhat dengan semangat yang berkobar-kobar.

Satu hal yang menarik adalah bahwa semua syubhat itu bukanlah barang baru, tapi ia telah pernah muncul dan ditulis di dalam buku-buku orang terdahulu. Para ulama dan dai pun telah membantah dan mengungkap kebohongan semua itu. Lalu apa sebenarnya yang baru dari semua itu? Yang selalu mengalami pembaharuan adalah peperangan yang dilancarkan kepada Islam, terutama terhadap manhaj generasi salaf. Peperangan ini diprakarsai oleh berbagai macam kekuatan yang sudah begitu populer, ditambah lagi dengan kelemahan iman, dan minimnya pemahaman terhadap manhaj salaf.

Inilah yang menyebabkan syubhat ini sukses masuk dan merubah hati manusia. Akibatnya, hati manusia menjadi laksana gabus yang dengan mudah menyerap syubhat-syubhat ini, sebagaimana gabus menyerap air kotor.

Seorang muslim senantiasa memohon hidayah kepada Tuhannya lebih dari tujuh belas kali dalam sehari semalam, melalui bacaan firman Allah (yang artinya): "Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." [QS. Al-Fâtihah: 6-7]

Inti dari hidayah (petunjuk) itu adalah hidayah hati, karena hati merupakan pemimpin jasad manusia. Sebaliknya, dasar dari kesesatan itu juga adalah kesesatan dan penyimpangan hati. Sehingga terucaplah nasihat yang sangat berharga ini dari Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah yang intinya: "Jangan jadikan hati Anda seperti gabus tatkala berhadapan dengan berbagai syubhat, sebab ia akan menyerapnya, dan hanya akan mengeluarkan syubhat juga."

Di manakah letak persamaan antara hati jenis ini dengan sebuah gabus?

1. Keduanya mempunyai kesamaan dari segi bentuk penciptaan. Kedua-duanya lembut dan lunak, tidak ada di dalamnya benda keras seperti tulang atau sejenisnya.

2. Gabus sudah dikenali tabiatnya, yaitu menyerap semua benda cair. Apabila Anda memasukkannya ke dalam air yang baik, seperti air segar, susu, atau sirup, benda ini akan langsung menyerapnya. Begitu pun apabila Anda memasukkannya ke dalam air yang kotor, atau air kencing, atau air najis, seperti khamar dan sejenisnya, benda ini juga akan menyerapnya.

3. Gabus jika menyerap benda cair tentu akan mengeluarkan cairan yang diserapnya. Gabus itu akan mengeluarkan tetesan-tetesan air atau bahkan lebih banyak dari sekedar tetesan jika ditekan sedikit saja. Sangat jarang sekali gabus menjaga isinya sampai kering. Kalau pun mengering, maka isinya juga akan sangat kotor jika ia menyerap air dari selokan dan sejenisnya.

4. Apabila telah terbiasa menyerap sesuatu yang kotor, gabus akan berubah menjadi benda kotor, dan Anda tidak akan bisa membersihkan dan menyucinya.

Begitu juga dengan hati:

1. Hati itu lembut, sebab ia merupakan sumber keinginan, cinta, benci, serta rasa suka dan tidak suka. Di samping itu, ia juga merupakan sumber aktivitas perasaan, seperti takut, harap, cinta, berserah diri kepada Allah, ikhlas, jujur, bertobat, bertauhid, tawakal, dan selainnya. Oleh karena itu, hati akan patuh kepada sesuatu yang mampu menundukkannya:

Jika ia tunduk kepada Sang Pemiliknya, dengan bertauhid dan bertawakal kepada Allah semata tanpa menyekutukannya, ditambah dengan rasa cinta, harap, dan takut kepada-Nya, serta semua aktivitas hati lainnya, maka berarti ia telah mempunyai dua karakteristik yang luar biasa:

Pertama, kesempurnaan rasa butuh kepada Sang Khalik. Setiap saat, malam dan siang, hati selalu butuh kepada Allah. Lalu kebutuhan itu diiringi dengan kesempurnaan ketaatan dan kepatuhan. Sehingga hati akan memandu jasad untuk benar-benar tunduk kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Apabila seorang hamba melakukan perbuatan dosa, maka kelembutan hatinya membuatnya bersegera untuk bertobat, beristighfar, dan melakukan amal shalih yang akan menghapus dosa-dosanya itu.

Kedua, kesempurnaan kekuatan dalam kebenaran, serta menjauhi kebatilan, baik berbentuk syubhat maupun syahwat. Penyebab kekuatan itu adalah ibadah menyembah Allah, serta permohonan pertolongan dan tawakal kepada-Nya. Inilah di antara bentuk keajaiban hati orang-orang yang benar-benar beriman. Hati mereka sangat lembut dan dipenuhi oleh rasa kasih sayang. Tetapi dalam waktu yang sama, hati mereka juga begitu kuat dalam menjalankan kebenaran dan menjauhi kebatilan. Mereka demikian berani membela dan menolong kebenaran Islam beserta para penganutnya. Mereka begitu berani menolak kebatilan beserta para pengikutnya, sekaligus berlepas diri dari mereka dan perbuatan mereka. Ringkasnya, untuk membela keimanan, hati mereka tidak takut kepada siapa pun, dan emalkuka tersebut mempunyai dua karakteristik yang luar biasa:

engan cinta, berharap, takut, dan semua pekerjaan hati lainnya.

Namun lain ceritanya apabila hati tunduk kepada selain Allah, baik kepada nafsu, syahwat, maupun Syetan. Wujudnya bisa dalam bentuk penyembahan kepada selain Allah, atau terpaut kepada pangkat, dunia, dan syahwat, sehingga lebih mendahulukan hawa nafsu daripada ibadah menyembah dan menaati Allah. Hati beralih ke arah kecintaan dan ketundukan kepada objek sembahan selain Allah. Kalau sudah demikian karakteristik hati ini akan berlawanan dengan sifat hati orang-orang mukmin:

- Hati seperti ini menjadi keras dan sulit untuk beribadah, tunduk, dan patuh kepada Allah. Sehingga menjadi seperti batu, atau lebih keras daripada batu.

- Hati seperti ini akan tunduk dan patuh kepada sesuatu yang disukainya. Sehingga ia akan menjadi begitu rendah, hina, tunduk, dan memberikan penghambaannya kepada objek selain Allah yang tidak diterima oleh akal orang-orang yang normal.

2. Hati tergantung kepada pembinaan dan arahan yang didapatkannya. Apabila ia diarahkan untuk cinta dan tunduk kepada kebenaran, serta menjauhi kebatilan dan syubhat, ia akan menjadi seperti itu. Namun apabila ia dibiarkan menyerap semua yang datang kepadanya tanpa filter, ia akan menjadi santapan bisikan dan godaan Syetan, baik Syetan dalam bentuk manusia maupun dalam bentuk Jin. Akibatnya, ia akan menjadi sasaran syubhat, sehingga menjadi seperti gabus yang telah diperingatkan oleh Syaikhul Islâm. Yaitu hati yang mudah menyerap syubhat, dan bisa jadi ikut serta mengeluarkan syubhat, sehingga ia menjadi hati yang sakit.

Untuk mendiagnosa gambaran kondisi seperti ini pada zaman sekarang, kita dapat memperhatikan hal berikut:

Munculnya hati seperti gabus ini di kalangan sebagian thâlibul 'ilmi (para penuntut ilmu), pemuda-pemuda yang berpikiran lurus, dan orang-orang sejenis mereka yang mempunyai perhatian kepada ilmu Agama, atau suka mengikuti hal-hal yang bersifat islami, baik dengan melihat, mendengar, maupun membaca, atau suka mendengar diskusi-diskusi antara orang-orang yang berbeda akidah, manhaj, dan sumber keilmuannya. Kita mendapati ada sebagian dari mereka yang akhirnya ikut menyerap syubhat dari pelaku kebatilan, dan kemudian syubhat itu bersemayam di dalam dirinya.

Syubhat sangatlah memukau dan mengelabui, terutama jika disampaikan dengan cara yang menipu, diiringi dengan celaan dan cemoohan terhadap penegak kebenaran yang istiqamah dalam Agama. Jika kita menyadari hal itu, kita akan tahu betapa besarnya pengaruh syubhat terhadap hati-hati gabus yang lemah itu. Hati yang seperti itu akan dijangkiti oleh kegoncangan, keraguan, dan kebimbangan. Berkecamuklah rasa ragu terhadap manhaj dan akidah yang benar, saat dihadapkan dengan kekuatan dan pesona syubhat itu.

Dalam kondisi sakit dan mencemaskan ini, pemilik hati dihadapkan kepada salah satu dari kemungkinan jalan berikut ini:

Pertama, jalan yang mengantarkan hatinya kembali kepada ketenangan iman, keyakinan, serta tunduk kepada perintah Allah dan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam. Hal ini disebabkan oleh ibadah dan ketaatan tersembunyi yang ia lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah itu berhasil memperbaharui keimanannya, dan membuatnya terpaut dengan Tuhan Yang Maha Membolak-balik hati manusia, lalu ia kembali kepada Allah dengan berserah diri dan bertawakal kepada-Nya. Atau bisa jadi disebabkan karena ia mempunyai seorang sahabat atau beberapa orang sahabat, atau seorang ustadz yang ia percayai. Bersama mereka, ia membahas permasalahan yang ia hadapi, dan menanyakan tentang syubhat-syubhat yang beredar, sehingga ia mendapatkan jawaban dari semua itu, dan saat itu ia masih dalam keadaannya semula; berserah diri kepada Allah dan selalu beribadah kepada-Nya. Orang seperti ini biasanya akan kembali memiliki keyakinan yang kuat, dan akan selamat dari tipuan syubhat yang datang ke hatinya, sehingga ia kemudian tersadar.

Kedua, Jalan yang tidak mengantarkannya untuk tunduk kepada Allah dan menambah amal ketaatan, sekaligus tidak bisa mengatasi syubhat yang datang kepadanya secara baik. Dalam kondisi ini, hatinya akan bertambah ragu, cemas, serta terpenjara oleh bisikan hawa nafsu. Hal ini akan melahirkan dua penyakit berbahaya:

- Semakin kuatnya syubhat di dalam dirinya, karena hatinya telah menyerap dan berbaur dengan syubhat tersebut, seperti gabus yang menyerap air kotor.

- Berpindahnya syubhat itu kepada orang lain. Sebabnya adalah karena ia kemudian ikut menyebarkannya di tengah teman-temannya, dan menyampaikannya berulang kali di setiap kesempatan, seolah-olah tidak ada lagi perkataan dan keinginan dalam Agama dan dunianya selain syubhat yang telah diserap oleh hatinya itu. Ia tidak merasa cukup dengan penyakit hatinya sendiri saja, tetapi juga ikut menyebarkan penyakit itu kepada orang lain yang masih berhati bersih. Kondisi ini akan bertambah parah jika ia sampaikan kepada orang yang dicintainya, sahabat-sahabat dekatnya, atau murid-murid yang simpati kepadanya. Alangkah besarnya musibah yang menimpa kedua belah pihak.

Inilah maksud dari hati yang seperti gabus. Apabila telah menyerap air yang kotor, ia akan mengeluarkannya atau meneteskannya kembali ke luar, sebagaimana dapat kita saksikan. Begitu pula dengan hati, sangat mirip dengan gabus tersebut.

Saya sendiri telah melihat banyak contoh dalam hal ini, terutama di tahun-tahun terakhir ini. Ada beberapa orang thâlibul 'ilmi (penuntut ilmu) datang menemui saya, karena mereka berprasangka baik dan menganggap saya sebagai guru mereka. Mereka bertanya tentang berbagai syubhat yang menyangkut di otak dan hati mereka. Bertanya memang sebuah cara yang baik dan terpuji, bahkan merupakan jalan keluar utama untuk mengikis syubhat dan menyelamatkan hati dari pengaruhnya. Tapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana mereka begitu bersemangat dan reaktif dalam mempertanyakan syubhat itu. Hal yang tentunya mengisyaratkan bahwa syubhat itu mulai melekat di dalam hati mereka. Padahal kebanyakan syubhat itu telah dijawab oleh para ulama terdahulu, sebagaimana juga dijawab oleh para ulama kontemporer di dalam buku-buku, pengajian-pengajian, dan kaset-kaset mereka. Syubhat-syubhat tersebut bukanlah barang baru, ia hanyalah ungkapan yang diulang-ulang oleh para penganut aliran Jahmiyyah, Syi'ah Râfidhah, Mu'tazilah, Asy'ariah, dan lain-lain. Andaikan mereka bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan mempelajarinya dari ulama-ulama yang terpercaya, baik ulama zaman dahulu maupun zaman sekarang, serta benar-benar menguasai secara detail setiap permasalahannya, mereka pasti akan mendapatkan jawaban yang sangat jelas di buku-buku dan pengajian-pengajian mereka. Di sini terlihat, betapa butuhnya kita kepada nasihat Syaikhul Islâm ini.

Kalau ada yang bertanya: apakah semua orang yang bertanya karena kesulitan dan syubhat yang dihadapinya berarti memiliki hati yang seperti gabus?

Jawabannya: ada pertanyaan yang dilontarkan ketika proses belajar dan menuntut ilmu. Yaitu pertanyaan yang disampaikan oleh seorang penuntut ilmu ketika ia menyelam di dalam lautan ilmu Agama. Hal ini merupakan hal bagus yang menunjukkan kecerdasan dan kedalaman pemahaman sang penuntut ilmu. Namun pertanyaan tersebut tidak keluar dari topik pembahasan dan waktu belajar, sehingga syubhat itu tenggelam di dalam lautan ilmu, dan bisa dijawab dengan mudah. Syubhat itu tidak sempat bersemayam di dalam hati, dan tidak mengotori kesuciannya. Ini merupakan kebiasaan para thâlibul 'ilmi—dari dulu sampai sekarang—bersama para guru-guru mereka. Dimulai oleh para shahabat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam. Mereka selalu bertanya kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—tentang hal-hal yang sulit mereka pahami, lalu Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—menjawabnya. Contohnya sangat banyak sekali di dalam Sunnah Nabi.

Adapun hati gabus yang diperingatkan oleh Syaikhul Islâm kepada muridnya Ibnul Qayyim adalah hati yang mudah menyerap syubhat para pelaku bid'ah, sehingga syubhat itu bersemayam di dalam hati mereka, lalu mereka ikut menyebarkan, mengeluarkan, dan mengulang-ulangnya.

Jadi, apa solusi dari hati yang seperti gabus ini? Bagaimanakah caranya agar pata thâlibul 'ilmi, apalagi masyarakat awam selamat dari kondisi yang telah diperingatkan oleh Syaikhul Islâm, seorang pakar hati yang juga sangat mengerti kondisi orang-orang yang sezaman denganya beserta syubhat-syubhat yang sering dihadapi oleh para penuntut ilmu saat itu?

Syaikhul Islâm menjawab di dalam nasihatnya, "Tapi jadikanlah hatimu ibarat kaca yang tidak berpori, sehingga syubhat itu hanya lewat di permukaannya, dan tidak ia serap. Hatimu akan melihat syubhat itu dengan kesuciannya, dan akan menolaknya dengan kekuatannya."

Nasihat ini ditujukan kepada muridnya, Ibnul Qayyim, yang terkenal dengan keluasan ilmunya, kekuatan ibadah dan ketaatannya, serta keahliannya dalam bidang hati, penyakit-penyakit hati, dan cara penyembuhannya. Apatah lagi kita dan kondisi kita!

Pertama: Ibadah dan Ketaatan

Ini merupakan sarana utama untuk menyucikan hati dan membersihkannya dari segala kotoran. Dan ini sering dilalaikan oleh orang-orang yang sibuk dengan bacaan, wawasan, pemikiran, dan pembahasan ilmiah. Mereka menyangka bahwa wawasan yang luas itu sudah cukup, dan banyak membaca itu sudah mampu melindungi mereka dari kesesatan dan penyimpangan. Bahkan mereka menjadikan itu sebagai pengganti ibadah dan amalan-amalan untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Terkadang ada di antara mereka yang melalaikan shalat, atau terlambat melaksanakan shalat berjamaah karena sibuk dengan hal-hal yang lebih penting menurut mereka, yaitu membaca. Dan terkadang keseriusan mereka menjaga tali silaturahmi dengan para kerabat mereka jauh kalah dibandingkan ketekunan mereka menghabiskan waktu di hadapan sarana informasi, maksudnya sarana-sarana informasi yang serius, bukan sarana informasi yang tidak jelas. Bahkan ada di antara mereka yang suka melalaikan shalat sunnah karena menyita waktu (menurut mereka). Dan ada yang tidak punya kesempatan untuk membaca Al-Quran, atau menghafalnya, atau mentadaburinya. Waktu mereka hanya dihabiskan untuk bacaan yang membingungkan dan menerawang.

Orang-orang yang berada dalam kondisi seperti ini hendaklah bersegera mengobati hatinya. Yaitu dengan membiasakan diri melakukan berbagai macam ibadah, serta benar-benar menyiapkan pikiran, jiwa, dan hati untuk merasa senang dan damai dalam ibadah, bukan malah senang karena sudah menyelesaikan ibadah itu. Nasihat untuk beribadah tatkala banyak cobaan yang mengacaukan hati dan merusak pikiran, merupakan sebaik-baik dalil tentang pentingnya ibadah, ketaatan, dan mendekatkan diri kepada Allah. Sebagaimana itu juga menunjukkan bahwa ibadah dapat membersihkan pikiran ketika berhadapan dengan syubhat.

Kedua: Menjauhkan diri dari hal-hal yang membuat kasar dan lemahnya hati, terutama hal-hal yang menjadi bencana besar beberapa tahun belakangan ini, seperti:

1. Grup-grup kajian online yang menyebarkan kekufuran, kezindikan, bid'ah, celaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta hinaan terhadap Syariat, Agama, dan orang-orang yang beriman. Selain itu, sarana ini juga didasarkan kepada pemikiran yang menyesatkan dan wawasan yang diimpor dari Barat, kemudian berusaha membuat keraguan dan kerancuan di tengah umat Islam. Semua ini merupakan penyakit yang berbahaya bagi hati, serta mengandung racun yang mematikan. Tidak boleh memasukinya kecuali orang yang telah kuat pondasi keilmuannya, dan dengan niat ingin membantahnya. Ia juga haruslah orang yang bijak, agar tujuan yang diinginkannya dapat tercapai, serta membuahkan hasil yang bermanfaat untuk Agama sekaligus menangkis kemungkaran tersebut. Di samping itu, ia juga harus menuntaskannya dengan segera, dan tidak lama-lama bergabung di dalamnya dengan alasan ingin mengetahui rincian syubhat tersebut. Selain juga di hatinya harus ada semangat walâ` (cinta kebenaran) dan barâ` (benci kebatilan) yang akan mengembalikannya ke dalam keimanan, keilmuan, dan ketaatan.

2. Website-website merusak yang berisi berbagai godaan, terutama godaan gambar, serta berbagai kemungkaran yang mengikutinya, baik berbentuk tulisan, audio, maupun video. Hal ini bisa mengeraskan hati dan membuatnya lemah dalam beribadah, sehingga pemiliknya terjerembab ke dalam virus penyakit. Ia juga potensial menjadi sasaran syubhat yang bisa jadi berasal dari kebiasaannya terlibat dalam dunia syahwat.

Ketiga: Jadikanlah hati Anda seperti kaca yang bersih dan tidak berpori, sebagaimana yang dinasihatkan oleh Syaikhul Islâm.

Hendaklah hati Anda mempunyai mata yang tajam ketika berhadapan dengan syubhat, sehingga ia mengetahui bahwa hal itu merupakan syubhat, bukan ilmu, sehingga ia akan memperlakukannya sebagai syubhat. Menyerupakan hati dengan kaca mengandung banyak nilai sastra, ilmiah, dan keimanan, di antaranya:

1. Hati yang berada dalam keadaan seperti ini merupakan lawan dari hati yang lunak laksana gabus. Hati yang laksana kaca ini kuat dalam keimanan, keilmuan, dan daya tangkapnya, sekaligus yakin dengan manhajnya, tanpa ada keraguan sedikit pun.

2. Hati yang seperti ini bersih seperti bersihnya kaca kristal. Ia dapat melihat hakikat segala sesuatu, sehingga dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil, dan antara yang makruf dengan yang mungkar, serta antara dalil yang benar dengan dalil yang salah. Di samping itu, ia juga mengetahui mana hakikat Agama, ilmu, dan iman yang terang dan mana syubhat yang batil. Ia dapat membedakan antara bisikan iman dengan bisikan Syetan. Apabila syubhat datang menghampirinya, ia bisa melihatnya dengan jelas, sebab ia telah diterangi oleh iman, ilmu, dan ketaatan. Ia dapat mengetahui hakikat syubhat itu, sekaligus mengetahui sumber, orientasi, dan pengaruh buruknya. Kemudian ia tetap menganggapnya sebagai syubhat, dan berinteraksi dengannya secara benar. Ini merupakan salah satu bentuk firasat yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada orang-orang yang berhati bersih dan berbuat ikhlas karena-Nya.

3. Hati seperti ini bersifat kuat, sebab selain bersih, kaca juga tertutup dan tidak berpori, tanpa pecahan atau goresan. Dengan karakter kuatnya itu, hati seperti ini bisa menolak dan mengingkari syubhat. Syubhat tidak akan bisa menembusnya karena ia demikian kuat dan solid.

Syubhat selalu berputar mengelilingi dan berusaha menembusnya dengan berbagai cara. Ia terus berusaha untuk masuk, walau hanya sampai ke beranda atau pintu hati ini. Tapi itu mustahil, sebab hati ini telah begitu kuat dan solid untuk menangkis kebatilan dan segala syubhatnya. Akhirnya, syubhat itu pun berpaling dan pergi dalam keadaan kalah.

[Sumber: Majalah Al-Bayan, edisi 270, dengan sedikit perubahan redaksi]

Artikel Terkait