Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. KELUARGA DAN MASYARAKAT
  4. Anak-Anak

Pengaruh Doa terhadap Keshalihan Anak

Pengaruh Doa terhadap Keshalihan Anak

Di antara karunia Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah nikmat anak. Allah menyebut dan mengingatkan nikmat ini di dalam Al-Quranul Karim. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kalian bersyukur." [QS. An-Nahl: 78]

Anak merupakan perhiasan, kesenangan, dan hiburan dalam kehidupan dunia. Hal itu sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia." [QS. Al-Kahf: 46]

Namun demikian, hati orang tua sesungguhnya tidak akan bahagia dengan keberadaan anak, kecuali jika anak itu adalah anak yang shalih. Oleh karena itu, orang-orang shalih selalu berusaha membuat anak-anak mereka menjadi anak-anak yang shalih. Mereka juga menyadari bahwa hal itu tidak mungkin terwujud kecuali dengan kuasa Allah—`Azza wajalla. Sebagaimana mereka memahami bahwa di antara hal yang membuat anak-anak menjadi shalih adalah doa dan munajat orang tua kepada Allah agar menjadikan mereka anak-anak yang shalih. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berbicara tentang kriteria orang-orang yang diakui-Nya sebagai hamba-Nya (`ibâdurrahmân) dalam firman-Nya (yang artinya): "Dan (juga) orang-orang yang berkata, 'Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami penyenang hati, dan jadikanlah kami penghulu bagi orang-orang yang bertakwa." [Qs. Al-Furqân: 74]

Mengenai tafsir ayat ini, Ibnu `Abbâs—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Maksud mereka adalah memohon anugerah istri dan anak-anak yang taat kepada Allah, sehingga menyenangkan hati mereka di dunia dan Akhirat."

Sementara Imam Ibnu Katsir—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Maksudnya, mereka memohon agar Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang taat dan menyembah Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya."

Berangkat dari kenyatan bahwa doa memiliki pengaruh yang besar dalam menciptakan keshalihan anak, maka manusia-manusia pilihan, seperti para nabi dan rasul selalu memohon dengan sangat kepada Tuhan agar menjadikan keturunan mereka sebagai orang-orang yang shalih. Bahkan mereka melantunkan doa dan permohonan itu sejak anak-anak mereka belum dilahirkan.

Ibrahim Berdoa Agar Dikarunai Keturunan yang Shalih

Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—menengadahkan tangan, memohon kepada Allah agar dikarunia anak-anak yang shalih, sekaligus menjadi jalan keshalihan bagi orang lain. Beliau berdoa sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang artinya): "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang yang shalih." [QS. Ash-Shâffât: 100]

Usianya telah lanjut dan istrinya juga telah tua, sementara ia ingin memiliki anak. Di samping itu, ia tidak ingin memiliki sembarangan anak. Anak yang diinginkannya adalah anak yang shalih. Ternyata Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—mengabulkan doanya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (yang berarti): "Maka Kami beri ia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar." [QS. Ash-Shâffât: 101]

Yang lebih menakjubkan adalah bahwa Khalîlullâh Ibrahim—`Alaihis salâm—tidak pernah berhenti berdoa untuk keturunannya. Ia senantiasa mendoakan mereka sepanjang hayat mereka dengan doa-doa yang baik. Hal itu sebagaimana disinyalir dalam firman-firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):

· "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata, 'Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah) sebagai negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala." [QS. Ibrâhîm: 35];

· "Wahai Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Wahai Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan karuniakanlah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." [QS. Ibrâhîm: 37];

· "Wahai Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Wahai Tuhan kami, perkenankanlah doaku." [QS. Ibrâhîm: 40]

Nabi Zakaria

Nabi Zakaria—`Alaihis salâm—meniti jalan yang sama dengan Nabi Ibrahim. Ia berdoa kepada Allah untuk anaknya, sebelum sang anak lahir. Ia juga berdoa kepada Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—agar anak yang dikaruniai itu adalah anak shalih yang dicintai Allah dan juga dicintai manusia. Ia meminta anak yang memikul beban kenabian dan melanjutkan usahanya dalam berdakwah kepada keesaan Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ. Ia berdoa sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang artinya): "Maka anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra yang akan mewarisiku dan mewarisi sebagian keluarga Ya'qûb; dan jadikanlah ia, wahai Tuhanku, seorang yang diridhai." [QS. Maryam: 5-6]

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—kemudian mengabulkan doanya. Malaikat menyampaikan kepadanya berita gembira tentang kelahiran seorang anak yang merupakan sosok nabi yang shalih. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, saat ia berdiri melakukan shalat di mihrab. (Malaikat itu berkata), 'Sesungguhnya Allah memberimu kegembiraan dengan kelahiran Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang Nabi yang termasuk orang-orang shalih." [QS. Âli `Imrân: 39]

Nabi Muhammad Mendoakan Anak-Anak Kaum Muslimin

Dengan kembali menelusuri peri hidup Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, kita akan menemukan bahwa beliau banyak berdoa untuk anak-anak kaum muslimin. Beliau juga menyuruh kaum muslimin berdoa untuk anak-anak mereka, bahkan sejak anak-anak itu belum dilahirkan. Karena itu, beliau menyuruh seorang suami yang ingin menggauli istrinya demi memenuhi kebutuhan syahwatnya dan mendapatkan anak agar menjaga hubungan mereka itu dari gangguan Syetan. Beliau bersabda, "Jika salah seorang dari kalian mendatangi istrinya (untuk hubungan badan), lalu ia mengucapkan: 'Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari Syetan dan jauhkan juga Syetan dari apa yang engkau anugerahkan kepada kami', maka jika mereka dikaruniai anak dari hubungan itu niscaya anak itu tidak akan diganggu oleh Syetan selamanya."

Nabi Mendoakan Janin-janin di Dalam Rahim

Sebuah hadits diriwayatkan dari Ummu Sulaim—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Pada suatu hari, anakku meninggal dunia dan suamiku sedang tidak berada di rumah. Maka aku baringkan anak itu di salah satu sudut rumah. Beberapa saat kemudian, suamiku pulang. Aku memakai wewangian dan perhiasan untuk menyambutnya, sehingga ia menggauli (menyetubuhi)-ku. Kemudian aku hidangkan untuknya makanan, dan ia pun makan. Kemudian barulah aku katakan kepadanya, 'Tidakkah engkau heran melihat para tetangga kita?' Ia bertanya, 'Apa yang mereka lakukan?' Aku jawab, 'Mereka dipinjamkan suatu barang, dan ketika barang itu diminta oleh pemiliknya, mereka marah'. Ia langsung menimpali, 'Sungguh buruk tindakan mereka itu'. Lalu aku katakan kepadanya, '(Lihatlah) itu anakmu'. Ia berkata, 'Sungguh, engkau telah menghabiskan kesabaranku malam ini'. Pada keesokan harinya, ia pergi menemui Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—untuk menceritakan kejadian itu. Setelah mendengar kisah itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—berdoa, "Ya Allah, berkatilah malam mereka."

Perawi kisah ini berkata, "Beberapa tahun kemudian, aku melihat tujuh orang anak mereka di dalam mesjid, semuanya hafal Al-Quran." Semua itu adalah berkat doa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam.

Nabi Mendoakan Bayi-bayi Ketika Dilahirkan

Sebuah hadits diriwayatkan dari 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya, "Bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—diserahi beberapa bayi yang baru lahir, lalu beliau men-tahnîk mereka (mengunyahkan kurma lalu memasukkannya ke dalam mulut mereka), dan mendoakan agar mereka memperoleh keberkahan."

Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Asmâ'—Semoga Allah meridhainya—membawa bayinya kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Asmâ' berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—men-tahnîknya dengan kurma, kemudian beliau berdoa dan memohon keberkahan untuknya." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Nabi Mendoakan Anak-anak Ketika Bersama Mereka untuk Mendorong Mereka Berbuat Baik

Sebuah hadits diriwayatkan dari Anas—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Ibuku mengajakku menemui Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Ketika itu, separuh jilbabnya ia jadikan sebagai sarungku, dan separuh lagi ia jadikan sebagai bajuku. Ibuku berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ini adalah Unais (Anas kecil), anakku. Aku membawanya ke sini untuk membantu Anda, karena itu, doakanlah ia'. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pun berdoa, 'Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya'." Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau juga berdoa untuknya, "Dan berkatilah apa yang Engkau karuniakan kepadanya." Anas berkata (saat meriwayatkan hadits ini), "Demi Allah, sekarang anak dan cucuku berjumlah sekitar seratus orang." [HR. Muslim]

Mari perhatikan bagaimana Ummu Sulaim membangun pondasi masa depan anaknya di dunia dan Akhirat dengan doa. Sungguh, generasi shahabat yang tiada duanya ini adalah generasi yang cerdas dalam mengambil, memahami, dan mengamalkan ajaran yang datang dari Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam.

Rasulullah juga menghadiahkan doa untuk Ibnu `Abbâs kecil yang menyediakan air wudhuk untuk beliau. Beliau bahkan mendoakannya sebelum beliau diminta. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhâri dari Ibnu `Abbâs—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—seuatu ketika masuk ke dalam kakus, lantas aku sediakan air wudhuk untuk beliau. Beliau kemudian bertanya, 'Siapa yang mengambilkan ini?' Lalu disampaikanlah kepada beliau apa yang terjadi. Beliau pun berdoa, "Ya Allah, pahamkanlah ia dalam urusan Agama." [HR. Al-Bukhâri]. Allah kemudian mengabulkan doa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Ibnu `Abbâs pun menjadi Hibrul Ummah (cendekiawan agung umat Islam), sekaligus Turjumânul Qur'ân (ahli penafsiran Al-Quran).

Generasi ini adalah generasi teladan yang Allah perintahkan untuk kita ikuti—Semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk mereka. Sebagaimana disinyalir dalam firman-Nya (yang berarti): "Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka." [QS. Al-An`âm: 90]

Allah juga mengabarkan bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah teladan kita dalam segala hal. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya (yang artinya): "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat, dan ia banyak menyebut Allah." [QS. Al-Ahzâb: 21]. [Dikutip dari buku "Ishlâhul Banîn", karya Sahr Sya'îr, dengan sedikit perubahan]

Generasi Salaf Mengikuti Langkah Nabi

Para tokoh salaf (generasi awal) sangat antusias untuk banyak-banyak mendoakan anak mereka. Fudhail Ibnu `Iyâdh, seorang ulama besar dan salah seorang tokoh besar umat Islam, misalnya. Ia selalu berdoa untuk anaknya yang bernama Ali—Semoga Allah merahmatinya—saat masih kecil. Di antara doanya adalah: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku telah bersungguh-sungguh untuk mendidik Ali, anakku ini, namun aku tidak mampu. Kerena itu, didiklah ia untukku, wahai Tuhan."

Namun demikian, ia tidak pernah berhenti untuk memperbaiki, menjaga, dan mengasah adab anaknya itu. Tetapi ia tetap menyadari bahwa semua perkara tergantung kepada kehendak Allah. Karena itulah, ia selalu berdoa kepada Allah agar menjadikan anaknya sebagai anak yang shalih. Allah pun ternyata mengabulkan doanya itu dengan menjadikan anaknya seorang tokoh shalih, sehingga ada ulama yang memposisikan sang anak (Ali Ibnu Fudhail) di atas Fudhail sendiri. Padahal Fudhail adalah seorang tokoh yang sangat terpandang—Semoga Allah merahmati mereka.

Beginilah sikap kebanyakan para ulama generasi salaf. Namun, di sini kita tidak ingin berpanjang lebar menjelaskannya.

Jangan Mendoakan Keburukan untuk Anak!

Suatu hal yang mesti diketahui dan tertanam dalam diri setiap orang tua adalah bahwa mendoakan keburukan untuk anak merupakan hal terlarang yang tidak layak di dekati, walau bagaimana pun keadaannya. Mendokaan keburukan untuk anak merupakan sesuatu yang sangat dilarang oleh Baginda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda, "Janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian, dan jangan juga mendoakan keburukan untuk anak-anak kalian, agar kalian tidak bertemu dengan waktu di mana ketika itu Allah mengabulkan setiap permintaan."

Barangkali kedua orang tua atau salah satunya merasa tersakiti oleh sikap atau kedurhakaan sebagian anak, sehingga membuat mereka marah. Kemarahan itu adalah sesuatu yang wajar. Namun, jangan sampai membuat mereka mendoakan keburukan untuk si anak. Karena jika terjadi sesuatu yang tidak baik pada diri anak, yang akan tersakiti dan sedih pertama kali tetaplah orang tuanya sendiri.

Setiap orang tua harus menyadari bahwa doa orang tua untuk anak, baik doa kebaikan maupun keburukan, adalah salah satu doa yang mustajab (dikabulkan) di sisi Allah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam sebuah hadits, "Terdapat tiga jenis doa mustajab yang tidak ada keraguan tentang kepastian dikabulkannya…" Beliau menyebutkan di antaranya adalah: "Doa orang tua untuk anaknya." Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi: "Doa keburukan orang tua untuk anaknya."

Kadang kala pengabulan doa buruk (kutukan) orang tua untuk anaknya malah menjadi sebab bertambahnya kedurhakaan dan kerusakan pribadi si anak. Pada suatu ketika, seorang laki-laki menemui Abdullâh Ibnul Mubârak untuk mengadukan kedurhakaan anaknya. Abdullâh Ibnul Mubârak bertanya kepada orang itu, "Apakah engkau pernah mendoakan keburukan untuknya?" laki-laki itu menjawab, "Pernah." Ibnul Mubârak lalu berujar, "Pergilah, sesungguhnya engkaulah yang telah merusaknya." Jawaban ini menunjukkan keluasan ilmu Ibnul Mubârak—Semoga Allah merahmatinya.

Sesungguhnya doa keburukan untuk anak hanya akan menambah kerusakan dan kedurhakaan anak. Dan orang pertama yang merasakan akibat kedurhakaan itu adalah orang tuanya sendiri, yaitu orang yang secara gegabah mendoakan keburukan untuknya.

Semoga Allah menunjuki dan memperbaiki anak dan keturunan kita, serta menjadikan mereka sebagai penyejuk hati bagi kita di dunia dan Akhirat. Amin.

Walhamdulillâhi rabbil `âlamîn

Artikel Terkait