Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Mengapa Islam

Balaslah dengan yang Lebih Baik

Balaslah dengan yang Lebih Baik

Dalam hidup ini, manusia pasti berbaur dengan komunitas di sekitarnya; mulai dari tetangga, kerabat, teman-teman sekolah, teman-teman seprofesi, hingga yang lain.

Dalam bergaul dengan berbagai macam tipe manusia, sedikit banyaknya pasti ada perlakuan orang lain yang tidak menyenangkan, baik disengaja maupun tidak. Coba kita bayangkan seandainya setiap kejelekan harus dibalas dengan kejelekan pula, sudah barang tentu kehidupan masyarakat akan berubah menjadi kehidupan rimba. Etika dan moral ditanggalkan. Hidup pun akan berjalan tanpa aturan.

Agar kehidupan masyarakat Islam tidak menyerupai potret kehidupan masyarakat rimba, Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. Hal itu tertuang dalam firman-Nya (yang artinya): "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang ada permusuhan denganmu itu seolah-olah menjadi teman yang sangat setia." [QS. Fushshilat: 34]. Dan sudah barang tentu bahwa sikap yang lebih baik dari membalas kejahatan dengan kejahatan adalah memberikan maaf dan berbuat baik, atau berpaling dan tidak membalas perilaku keburukan.

Saudaraku, ketika Anda memiliki akhlak mulia seperti ini, Anda berarti telah menjaga wibawa dan stabilitas diri Anda. Sehingga Anda tidak hanyut dalam provokasi para penghasut yang jahat. Dan dengan begitu, Anda telah menjadi hamba Allah yang disebutkan dalam beberapa firman-Nya (yang artinya):

· "Dan (orang-orang mukmin itu adalah) orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna." [QS. Al-Mu'minûn: 3];

· "Dan apabila mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya dan mereka berkata, 'Bagi kami amal-amal kami dan bagi kalian amal-amal kalian, kesejahteraan atas diri kalian, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang bodoh." [QS. Al-Qashash: 55];

· "Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik." [QS. Al-Furqân: 63]

Ketika Anda memperlakukan orang yang pernah berbuat jahat kepada Anda dengan baik, berarti Anda telah berhasil menahan amarah Anda. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah bersabda, "Barang siapa yang menahan amarahnya sedangkan ia mampu untuk meluapkannya maka Allah akan menyerunya di hadapan seluruh manusia pada hari Kiamat untuk diberikan kebebasan memilih bidadari yang dikehendakinya."

Salah satu buah terbesar dari perilaku membalas keburukan dengan kebaikan adalah berubahnya orang-orang yang pada awalnya memusuhi dan menyakiti kita menjadi sahabat dekat yang senantiasa membela kita.

Subhânallâh! Dalam banyak kasus, Akhlak yang mulia mampu mengalahkan kekuatan amarah dan keinginan balas dendam. Musuh pun dapat berubah menjadi teman karenanya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang ada permusuhan denganmu itu seolah-olah menjadi teman yang sangat setia." [QS. Fushshilat: 34]

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abdullah ibnu Abbâs—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Tolaklah dengan kearifanmu tindakan jahat yang dilakukan oleh orang yang mengganggumu."

Kita semua mengetahui bagaimana akhlak Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabar menahan semua perlakuan jahat orang kafir. Bukan hanya itu, bahkan beliau bersedia memaafkan dan mengampuni mereka. Dalam hal ini, Ummul Mu'minîn, 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan beliau selalu memaafkan dan merelakan."

Orang-orang shalih—Semoga Allah meridhai mereka—pun juga demikian. Mereka mengikuti akhlak Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Pernah salah seorang dari mereka dicerca, tapi hanya berkata kepada orang yang mencercanya itu, "Jika engkau bohong, aku berdoa semoga Allah mengampunimu. Namun, jika engkau benar, aku berdoa semoga Allah mengampuniku."

Meskipun semua kita dituntut untuk menghiasi diri dengan akhlak yang mulia ini, namun ia jauh lebih dituntut dari orang yang memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, wasiat terakhir yang diberikan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—kepada umat beliau sebelum beliau wafat adalah: "Siapa pun umat Muhammad yang diberikan kekuasaan atas sesuatu, dan ia dapat memberikan manfaat dan mudharat kepada orang lain, hendaknya ia menerima kebaikan orang lain dan memaafkan orang yang bersalah kepadanya."

Ketika ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengadukan pembantunya seraya berkata, "Aku mempunyai seorang pembantu yang selalu berbuat salah dan zalim, apakah aku boleh memukulnya?" Beliau menjawab, "Maafkanlah ia setiap hari 70 kali."

Akhlak yang satu ini, secara khusus juga dibutuhkan oleh orang yang mempunyai kerabat yang berperilaku buruk kepadanya. Dengan akhlak ini, ia tidak perlu membalas perlakuan tersebut dengan kejahatan serupa. Ia mesti bersedia memaafkan kesalahan itu dan tetap berbuat baik kepada si kerabat. Pernah suatu ketika, datang seorang laki-laki menemui Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—seraya berkata, "Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat yang setiap aku berusaha menyambung silaturahim mereka malah memutuskannya, setiap aku memaafkan mereka malah berbuat zalim, dan setiap aku berbuat baik mereka malah membalasnya dengan kejahatan. Apakah aku boleh membalas mereka dengan perbuatan yang sama?" Beliau menjawab, "Tidak, karena itu akan membuat kalian semua ditinggalkan oleh Allah. Tetaplah berbuat baik dan menyambungkan silaturahim dengan mereka. Sesungguhnya jika engkau berbuat demikian, maka engkau akan mendapatkan penolong dari Allah."

Sesungguhnya membalas kejahatan dengan cara yang lebih baik adalah obat yang dapat mengeratkan kembali simpul-simpul ikatan sosial yang telas putus, memperbaiki apa-apa yang telah rusak, dan memperbarui hal-hal yang telah hilang selama ini. Dengan cara tersebut, nilai-nilai kebaikan akan hidup dalam jiwa setiap individu, orang akan berlomba-lomba dalam kebaikan, pintu-pintu kejahatan akan tertutup bagi Syetan, dan tidak ada kesempatan bagi kejahatan untuk hidup subur. Bahkan sebaliknya, nilai kebaikan akan tersebar dan mengikis semua faktor kejahatan.

Artikel Terkait