Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Islam
  5. Puasa

Bulan yang Sering Dilalaikan

Bulan yang Sering Dilalaikan

Oleh: Râsyid bin Abdurrahmân Al-Baddâh

Segala puji hanya milik Allah semata. Sesungguhnya manusia hidup di dunia ini adalah dalam rangka berlomba-lomba menuju Akhirat. Orang yang menang adalah orang yang bersegera memanfaatkan kesempatan, dan takut kesempatan tersebut akan terlewatkan olehnya. Sedangkan orang yang malang adalah orang yang tidak mendapatkan kebaikan apa pun.

Pada saat ini, kita berada dalam musim keberuntungan dalam berniaga dengan Allah, yakni hari-hari bulan Sya`bân yang sering dilalaikan oleh manusia. Berikut penjelasan tentang hukum-hukum dan keutamaannya.

Keutamaan Puasa

Diriwayatkan dari Abû Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Allah`Azza wajalla—berfirman (yang artinya): 'Setiap amal kebaikan manusia dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat, sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah milik-Ku dan Aku yang akan membalas-Nya." [HR. Muslim]

Suatu ketika Sufyân bin `Uyainah ditanya tentang maksud dari redaksi hadits di atas yang berbunyi "Kecuali puasa, sesungguhnya ia milik-Ku, dan Aku yang akan membalasnya." Sufyân berkata, "Pada hari Kiamat kelak Allah—`Azza wajalla—akan menghisab amal-amal hamba-Nya. Kezaliman-kezaliman yang telah diperbuat oleh seorang hamba harus ia bayar dengan amal-amal baiknya, sampai tidak ada yang tersisa dari amal baiknya selain puasa. Maka Allah menanggung sisa kezalimannya, lalu dengan puasanya itu Allah memasukkannya ke dalam surga."

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru—Semoga Allah meridhai mereka—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Puasa dan Al-Quran akan memberi syafaat untuk hamba pada hari Kiamat." [HR. Ahmad. Menurut Al-Albâni: shahîh]

Dan diriwayatkan juga dari Abû Umâmah—Semoga Allah meridhainya—dia berkata, "Wahai Rasulullah, perintahkanlah kepadaku sebuah amalan!" Beliau bersabda, "Hendaklah engkau berpuasa. Sesungguhnya puasa itu tidak ada tandingannya." Dalam riwayat lain disebutkan, "Tidak ada yang menyamainya." [HR. An-Nasâ'i. Menurut Al-Albâni: shahîh]

Puasa Orang-orang Generasi Awal

Dâwud bin Abi Hind berpuasa selama empat puluh tahun tanpa diketahui oleh keluarganya. Dia seorang penjual pakaian. Dari rumahnya ia membawa bekal makan siang, lalu ia menyedekahkannya ketika di perjalanan menuju tokonya. [Tahdzîb Siar A`lâmin Nubalâ']

Abû Muslim Al-Khaulâni berpuasa pada saat perjalanan ke medan perang di daerah kekuasaan Romawi. Seseorang berkata kepadanya, "Kenapa engkau berpuasa, padahal engkau sedang melakukan perjalanan jauh?" Dia menjawab, "Seandainya peperangan sudah dimulai, niscaya aku berbuka, dan aku akan mempersiapkan diri untuk menghadapinya, dan menguatkan badan. Sesungguhnya kuda tidak mampu lari kian ke mari dalam keadaan kenyang, akan tetapi ia bisa lari ketika dalam keadaan perut yang tidak kenyang. Ketahuilah sesungguhnya hari-hari kita masih lama, dan untuknya kita beramal." [Tahdzîb Siyar A`lâmin Nubalâ']

Hadits-hadits tentang Keutamaan Puasa Bulan Sya`bân

Diriwayatkan dari Aisyah—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—selalu berpuasa sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak pernah berbuka, dan beliau selalu berbuka sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak pernah berpuasa. Aku tidak melihat beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhân. Dan aku tidak melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya`bân." [HR. Al-Bukhâri]

Aisyah—Semoga Allah meridhainya—juga meriwayatkan bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak pernah berpuasa lebih banyak dari bulan Sya`bân, dan beliau pernah berpuasa pada bulan Sya`bân sebulan penuh.

Diriwayatkan juga dari `Imrân bin Hushain—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bertanya kepada seorang shahabat, "Apakah engkau berpuasa pada awal Sya`bân?" Dia menjawab, "Tidak." Beliau lantas bersabda, "Jika engkau tidak berpuasa, maka berpuasalah dua hari." [HR. Muslim]

An-Nawawi berkata, "Hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits shahîh yang berbicara tentang larangan menduhului Ramadhân dengan puasa. Maka Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menjelaskan bahwa puasa yang sudah biasa dilakukan tidak termasuk dalam larangan. Yang dilarang hanyalah melakukan puasa yang tidak biasa dilakukan seseorang."

Di antara hadits yang menunjukkan keutamaan puasa pada bulan Sya`bân adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Tidaklah Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—berpuasa lebih banyak dari bulan Sya`bân. Dan beliau penah berpuasa pada bulan Sya`bân sebulan penuh." [HR. Al-Bukhâri]

Dalam Sunan Abû Dâwud disebutkan, "Beliau tidak berpuasa sebulan penuh dalam setahun kecuali Sya`bân, dan beliau menyambungnya dengan Ramadhân." Maksudnya adalah beliau berpuasa pada kebanyakan hari di bulan Sya`bân. At-Tirmidzi menukil dari Abdullah bin Al-Mubârak bahwa ia berkata, "Boleh dalam bahasa Arab dikatakan, 'Berpuasa sebulan,' namun yang dimaksud adalah berpuasa pada kebanyakan hari di bulan itu."

Ada yang mengatakan juga bahwa maksudnya adalah kadang beliau berpuasa sepanjang bulan, kadang pada kebanyakan hari di bulan tersebut. Ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya adalah berpuasa sejak awal sampai akhir bulan tersebut.

Hikmah Memperbanyak Puasa Bulan Sya`bân Lebih dari Bulan Lainnya

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—mengatakan dalam kitab Tahdzîbus Sunan, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—berpuasa di bulan Sya`bân lebih banyak dari bulan lainnya. Hal tersebut di dalamnya terdapat empat hikmah (alasan):

Pertama: Beliau biasanya berpuasa tiga hari setiap bulan. Barangkali beliau tidak bisa berpuasa selama beberapa bulan, maka beliau mengumpulkannya pada bulan Sya`bân, agar bisa melakukannya sebelum kedatangan puasa wajib.

Kedua: Beliau melakukannya untuk menghormati bulan Ramadhân. Puasa ini sama dengan shalat yang dilakukan sebelum shalat fardhu untuk mengagungkannya.

Ketiga: Sya`bân adalah bulan yang di dalamnya amal diangkat ke langit. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—ingin amalnya diangkat ke langit, dan beliau dalam keadaan berpuasa."

Adapun Ibnu Hajar—Semoga Allah merahmatinya—menguatkan pendapat yang terakhir. Dia berkata, "Dan yang lebih utama dalam masalah ini adalah pendapat yang dijelaskan dalam hadits yang lebih shahîh dari hadits di atas, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasâ'i, Abû Dâwud, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Hadits ini diriwayatkan dari Usâmah bin Zaid bahwa ia berkata, 'Wahai Rasulullah, kenapa saya tidak melihat Anda berpuasa pada suatu bulan seperti puasa Anda pada bulan Sya`bân?' Beliau bersabda, 'Ia adalah bulan yang dilalaikan manusia, terdapat antara Rajab dan Ramadhân. Ia adalah bulan yang di dalamnya amal diangkat kepada Rabb semesta alam. Maka aku suka amalku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.' Serupa dengan hadits tersebut adalah hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Abû Ya`lâ. Namun di dalamnya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya Allah menuliskan setiap diri yang mati pada tahun itu (pada bulan Sya`bân). Maka aku ingin ajalku datang pada saat aku dalam keadaan berpuasa."

Permasalahan dan Jawabannya

Kenapa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak memperbanyak puasa pada bulan Muharram, padahal beliau bersabda, "Ia adalah puasa yang paling mulia," dan di sisi lain beliau sering menganjurkan puasa pada bulan Sya`bân?

An-Nawawi—Semoga Allah merahmatinya—menjelaskan jawaban atas permasalahan ini. Penjelasan itu dinukil oleh Ibnu Hajar, ia berkata, "Bahwa ada kemungkinan beliau tidak mengetahui hal itu kecuali pada akhir hayat beliau, sehingga beliau tidak sempat memperbanyak puasa pada bulan Muharram, atau pada saat itu bertepatan dengan keadaan beliau yang sedang memiliki uzur, seperti dalam perjalanan, atau dalam keadaan sakit, sehingga menghalangi beliau memperbanyak puasa di dalamnya."

Sedangkan Ibnu Rajab Al-Hambali—Semoga Allah merahmatinya—berpendapat bahwa puasa Sya`bân lebih utama dari puasa Muharram. Hal itu sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. Dia (Ibnu Rajab) berkata, "Kedudukan puasa bulan Sya`bân seperti kedudukan shalat sunnah rawatib yang dilakukan sebelum atau sesudah shalat fardhu. Adapun sabda Nabi, "Puasa yang paling utama setelah Ramadhân adalah (puasa pada bulan) Muharram", yang dimaksud adalah puasa sunnah mutlak, tidak termasuk di dalamnya puasa sebelum dan sesudah Ramadhân. Sesungguhnya keutamaan puasa bulan Sya`bân mengikuti keutamaan puasa Ramadhân." Kemudian ia juga berkata, "Bulan Sya`bân diapit oleh dua bulan yang agung, (yaitu bulan Rajab yang termasuk salah satu) bulan haram dan (bulan Ramadhân yang merupakan) bulan puasa. Dan sebagian hal yang mempunyai keutamaan yang masyhur, boleh jadi hal yang lainnya lebih utama darinya, baik secara mutlak, atau pun karena di dalamnya terdapat keistimewaan tersendiri." (Ibnu Rajab, Lathâ'iful Ma`ârif).

Keutamaan Bulan Sya`bân Lainnya

Terdapat keutamaan lain bagi bulan Sya`bân yang disinggung oleh hadits berikut, diriwayatkan dari Mu`âdz bin Jabal—Semoga Allah meridhainya, dari Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—beliau bersabda, "Allah melihat ke seluruh makhluk-Nya pada malam nishfu (pertengahan) Sya`bân, maka Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali seorang musyrik, dan orang yang bermusuhan (saling membenci)." [HR. Ath-Thabarâni. Menurut Al-Albâni: shahîh]

Seputar Nishfu Sya`bân

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah—Semoga Allah merahmatinya—berkata (dalam Fatwa-fatwa Mesir), "Sedangkan malam nishfu Sya`bân, di dalamnya terdapat keutamaan. Di antara generasi salaf ada yang melaksanakan shalat pada malam nishfu Sya`bân tersebut. Namun berkumpul di masjid-masjid untuk menghidupkan malam tersebut adalah bid`ah. Generasi salaf hanya melaksanakan shalat di rumah-rumah mereka seperti mereka melaksanakan qiyamullail. Jika ada sebagian orang yang mengikuti shalatnya (sebagai makmum) tanpa dilaksanakan secara rutin dengan berjamaah pada malam itu atau pada malam lainnya, maka hal itu tidak apa-apa. Hal itu sebagaimana yang dilakukan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—ketika shalat dengan Ibnu Abbas dan Hudzaifah. Pemerintah (pemimpin) semestinya mencegah perkumpulan-perkumpulan bid`ah seperti itu."

Ibnu Rajab—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Ini adalah pendapat Al-Awzâ`i, seorang imam, ahli fikih, dan ulama negeri Syam. Inilah pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran insyâallâh."

Adapun hadits, "Jika datang pertengahan Sya`bân, maka janganah kalian berpuasa", yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan penulis kitab-kitab Sunan adalah hadits munkar yang didha`ifkan oleh Ibnu Mahdi, Ahmad, Abû Zur`ah, dan Al-Atsram. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits, "Janganlah kalian mendahului Ramadhân dengan puasa satu atau dua hari." Dari sini dapat dipahami bolehnya mendahului Ramadhân dengan puasa lebih dari dua hari. Ath-Thahâwi berpendapat bahwa hadits ini mansukh (dibatalkan). Disebutkan juga bahwa terdapat ijmak ulama perihal tidak mengamalkan hadits ini. Sedangkan berpuasa pada hari pertengahan Sya`bân tidak dilarang, karena ia termasuk salah satu dari hari-hari bîdh (hari-hari pertengahan bulan).

Diriwayatkan dari Ikrimah dan para ahli tafsir lainnya perihal penjelasan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ, "Di dalamnya dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah", bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah malam nishfu Sya`bân. Sedangkan yang benar adalah malam lailatul qadar.

Ibnu Rajab—Semoga Allah merahmatinya—menukil dari `Athâ' bahwa ia berkata, "Jika datang malam nishfu Sya`bân, maka diberikan lembaran kepada malaikat maut, seraya dikatakan kepadanya, 'Matikanlah orang yang (ditulis) dalam lembaran ini."

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari `Athâ' secara mursal (tanpa menyebutkan shahabat perawi hadits), "Rasulullah tidak berpuasa lebih banyak dari puasanya di bulan Sya`bân, karena di dalamnya ajal dituliskan."

Makna Penting dalam Puasa Bulan Sya`bân

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengisyaratkan hal ini dalam sabda beliau yang berbunyi, "Ia adalah bulan yang dilalaikan manusia, terletak antara Rajab dan Ramadhân." Ibnu Rajab berkata, "Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan dianjurkannya mengisi waktu dengan ketaatan, dan perbuatan yang demikian itu dicintai oleh Allah—`Azza wajalla. Sebagaimana sebagian generasi salaf suka menghidupkan waktu antara dua isyâ' dengan shalat. Mereka mengatakan, 'Ia adalah waktu yang dilalaikan."

Dalam hal ini terdapat isyarat tentang keutamaan menyendiri berdzikir pada waktu-waktu yang di dalamnya tidak ada orang yang berdzikir kepada Allah. Abû Shâlih bahkan pernah mengatakan, "Sesungguhnya Allah takjub kepada orang yang berdzikir kepada-Nya di pasar." Hal itu karena ia mengingat Allah di tempat-tempat kelalaian, di tengah orang-orang yang lalai.

Dalam menghidupkan waktu-waktu yang dilalaikan terdapat beberapa faedah. Di antaranya:

- Yang demikian itu lebih tersembunyi, dan menyembunyikan amal sunnah itu lebih utama, terutama puasa.

- Ia lebih berat bagi jiwa seseorang. Amal yang paling baik adalah yang paling berat, karena sedikit orang yang mengikutinya. Karena itu Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Bagi orang yang beramal dari mereka (generasi umat yang terakhir) pahalanya sebanding lima puluh orang dari kalian (shahabat). Karena kalian mendapatkan penolong dalam kebaikan, sedangkan mereka tidak." [HR. At-Tirmidzi dan Abû Dâwud]

- Sesungguhnya orang yang menyendiri melakukan ketaatan di tengah orang-orang yang bermaksiat dan lalai barangkali dirinya akan membuat mereka terhindar dari bencana. Diriwayatkan oleh Ath-Thabarâni, Al-Bazzâr, Al-Baihaqi, dan Abu Ya`lâ dengan sanad yang dha`îf bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Kalau bukan karena pemuda yang khusuk, orang tua yang rukuk, anak yang menyusui, niscaya kepada kalian akan ditimpakan azab dengan deras, kemudian ditumbukkan kepada kalian."

Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya Allah menolak (keburukan) karena seorang laki-laki shalih dari istri, anak, dan keturunan, serta orang yang ada di sekitarnya."

Sya`bân merupakan pendahuluan bagi Ramadhân, oleh karena itu disyariatkan di dalamnya apa yang disyariatkan pada bulan Ramadhân, seperti puasa dan membaca Al-Quran, sehingga kita memiliki kesiapan untuk menyambut Ramadhân. Salamah bin Kuhail berkata, "Bulan Ramadhân adalah bulan para pembaca Al-Quran." Al-Hasan bin Sahal berkata, "Sya`bân berkata, 'Wahai Rabbku, Engkau telah menjadikan aku antara dua bulan yang agung, lalu apa jatahku?' Rabb menjawab, 'Aku jadikan kamu (sebagai bulan untuk) membaca Al-Quran."

Fatwa

Syaikh Muhammad Al-`Utsaimin—Semoga Allah merahmatinya—suatu ketika ditanya tentang hukum puasa pada bulan Sya`bân.

Dia menjawab, "Berpuasa pada bulan Sya`bân sunnah, dan memperbanyak puasa di dalamnya juga sunnah. Bahkan Aisyah—Semoga Allah meridhainya—mengatakan, 'Aku tidak melihat Rasulullah lebih banyak puasanya dari pada di bulan Sya`bân.' Berdasarkan hadits ini, maka hendaknya kita memperbanyak puasa di bulan Sya`bân.

Para ulama mengatakan bahwa puasa Sya`bân ibarat sunnah rawâtib dalam shalat fardhu. Oleh sebab itu, disunnahkan puasa pada bulan Sya`bân, dan disunnahkan juga puasa enam hari pada bulan Syawwâl, seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat.

Dalam puasa Sya`bân juga terdapat faedah lainnya, yaitu mempersiapkan dan menyiagakan diri agar seseorang siap melaksanakan puasa Ramadhân dengan mudah." (Fatâwâ Arkânil Islâm).

Catatan

Pahala dan keutamaan suatu ibadah semakin besar jika di dalamnya terdapat keutamaan waktu, tempat, dan kondisi, serta ketika ia dilalaikan manusia, dan sebagainya."

5/8/1425 H.

Artikel Terkait