Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. KESALAHFAHAMAN
  4. Islam

Konsep Barat tentang Wahabisme

Konsep Barat tentang Wahabisme

Oleh: Ja`far Syaikh Idris

Jika Anda menyangka bahwa yang dimaksud dengan Wahabi/Wahabisme oleh para politisi dan para penulis barat terbatas pada apa yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahhâb dalam buku-buku, ceramah-ceramah, dan kuliah beliau, atau orang-orang Wahabi adalah mereka yang setuju terhadap seruan Syaikh ini, maka Anda keliru. Wahabisme menurut mereka adalah sifat bagi setiap pelaksanaan ajaran Islam secara serius, walaupun pelakunya adalah seorang yang sama sekali tidak pernah satu huruf pun karya Syaikh Ibnu Abdul Wahhâb, dan tidak bercirikan dengan namanya, tidak menisbatkan dirinya kepada nama beliau (Wahabi), dan tidak juga menyetujui sebagian pendapat beliau. Bahkan Wahabisme adalah sifat bagi setiap orang yang menjalankan dengan serius sebagian ajaran yang disepakati oleh Umat Islam, walaupun ia juga melakukan sebagian praktek bid`ah, atau mempercayai beberapa khurafat.

Wahabisme bagi mereka identik dengan fundamentalisme yang mengimani bahwa seluruh isi Al-Quran adalah firman Allah, dan bahwa mematuhi ajarannya adalah kewajiban setiap muslim. Wahabi adalah seorang muslim yang disiplin menjaga shalat lima waktu, berpuasa Ramadhân, menunaikan zakat, dan menunaikan haji ke Baitullah jika mampu. Wahabi adalah seorang muslim yang tidak meminum minuman keras, tidak memakan riba, tidak membolehkan perbauran antara pria dan wanita, dan tidak percaya kepada nilai-nilai peradaban Barat yang bertentangan dengan Islam. Muslim Wahabi adalah yang yakin bahwa Agamanyalah yang benar, dan bahwa agamanya ini mendorongnya untuk berdakwah mengajak manusia ke jalan Islam. Singkatnya, Wahabi adalah setiap muslim yang berusaha komitmen menjalankan ajaran Agamanya, walaupun ia hidup di negara-negara Barat.

Nampaknya, pihak yang menyarankan kepada para politisi untuk memakaikan label ini untuk setiap muslim yang komitmen menjalankan Agamanya adalah sebagian oknum spesialis dalam kajian Studi Islam, dan mungkin saja usulan mereka ini mempunyai faktor-faktor politis tertentu.

Para spesialis itu mungkin telah mengatakan kepada mereka: "Kalian akan membangkitkan amarah Umat Islam jika terang-terangan mengatakan kepada mereka bahwa kalian tidak ingin mereka komitmen menjalankan ajaran kitab Tuhan mereka dan sunnah Nabi mereka, atau kalian tidak ingin mereka mengambil apa pun dari ajaran Agama mereka dengan serius. Karena itu, buatlah tipu daya dengan berbicara tentang Wahabisme, sebagai ganti dari berbicara tentang Islam, Al-Quran, atau Sunnah. Karena di Dunia Islam, banyak orang yang bermasalah dengan Wahabisme, serta melontarkan berbagai tuduhan kepadanya, melekatkan kepadanya ajaran-ajaran yang kami ketahui sebagian besarnya tidak ada hubungan dengan Wahabisme. Walaupun kita tidak sepakat dengan mereka tentang semua alasan yang menyebabkan mereka memusuhi Wahabi, tetapi sikap permusuhan mereka terhadap Wahabi mungkin akan membantu kita untuk merealisasikan keinginan dan kepentingan kita."

Jika demikian, siapa sebenarnya muslim yang bukan Wahabi? Ia adalah muslim yang memahami Al-Quran sebagaimana mereka (orang Barat) memahami kitab suci mereka, menjalankan Agamanya sebagaimana mereka menjalankan agama mereka, tidak menolak sedikit pun budaya mereka, tidak menyeru untuk menentang sedikit pun kebijakan mereka bahkan walaupun terlihat zalim dan membahayakan negaranya, serta sama sekali tidak pernah mengucapkan sebuah kata, yaitu: Jihad. Siapa pun yang melakukan ini adalah musuh bagi mereka, karena itu akan menghambat apa yang mereka anggap sebagai kepentingan nasional mereka.

Apa artinya memahami Agama sebagaimana mereka memahami agama mereka? Barangkali jawaban terbaik untuk pertanyaan ini adalah kalimat yang diucapkan oleh seorang pengikut Gereja Escopel (Gereja Amerika yang berafiliasi kepada Gereja Inggris). Pendeta bernama Robinson ini terang-terangan melakukan homoseksual. Bahkan ia datang ke beberapa pertemuan keagamaan bersama pasangan homonya yang ia banggakan, na`ûdzubillâh. Meski demikian, Gereja tidak memandang sedikit pun hal ini sebagai penghalang untuk memilihnya sebagai pemegang jabatan tinggi di dalamnya, yaitu jabatan Uskup. Lembaga tertinggi mereka memilihnya dengan suara mayoritas, kira-kira 60 anggota berbanding 40 anggota. Dalam konferensi pers setelah kemenangannya, uskup ini mengakui bahwa orang-orang yang menolak untuk memilihannya sebenarnya benar ketika mengatakan bahwa homoseksual bertentangan dengan ajaran gereja. Kemudian ia berkata: "Katakanlah dengan mudah bahwa homoseksual bertentangan dengan tradisi serta ajaran gereja dan Al-Kitab, tetapi itu tidak berarti sebuah kesalahan. Kita menyembah tuhan yang hidup, dan tuhan inilah yang membimbing kita kepada kebenaran."

Dalam sebuah khutbah Jumat yang saya bawakan setelah menyampaikan berita di atas, saya mengingatkan saudara-saudara kita para jemaah dengan sebuah hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Kalian benar-benar akan mengikuti umat sebelum kalian, selangkah demi selangkah, bahkan jika mereka masuk ke lubang biawak sekalipun, kalian akan turut masuk ke dalamnya."

Maksud saya adalah agar kita tidak merasa heran jika ada orang yang mengaku Islam datang kepada kita, kemudian mengucapkan perkataan yang sama atau mirip dengan perkataan si Uskup di atas. Misalnya, ia mengatakan: "Sesungguhnya sebuah perkataan atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Umat Islam, bertentangan dengan hadits-hadits Nabi, atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, tidak serta-merta berarti salah."

Saya katakan, bahwa muslim seperti inilah yang disenangi oleh mereka yang berbicara tentang ekstrimisme, fundamentalisme, dan Wahabisme. Bukankah Allah—Subhânahu wata`âla—berfirman kepada Nabi-Nya—Shallallâhu `alaihi wasallam—(yang artinya): "Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan engkau dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar engkau membuat (`wahyu`) yang lain secara bohong atas nama Kami. Dan kalau sudah begitu, tentuah mereka akan menjadikanmu sebagai sahabat yang setia." [QS. Al-Isrâ': 73]

Bukankah pula Allah—Subhânahu wata`âla—telah berfirman tentang sebagian orang Yahudi dan Kristen yang bersikukuh untuk tidak beriman (yang artinya): "Dan sekali-kali orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu, hingga engkau mengikuti millah (agama) mereka." [QS. Al-Baqarah: 120]

Maka jelaslah sekarang bahwa mengikuti millah mereka tidak berarti sebatas mengikuti kepercayaan yang mereka yakini, tetapi mencakup cara mereka memandang agama dan menyelewengkannya. Semua orang yang mengikuti jalan mereka ini dalam menyelewengkan agama Islam dan tidak menjalankan ajarannya dengan sungguh-sungguh sebagaimana diperintahkan oleh Allah—Subhânahu wata`âla—berarti termasuk orang yang mereka senangi.

Ketidaksenangan mereka terhadap orang yang tidak bersedia mengikuti jalan mereka dalam memahami agama Islam terlihat jelas dalam banyak statemen mereka. Mungkin yang paling jelas adalah apa yang dikatakan oleh mantan Presiden, Clinton, dalam sebuah pidato yang ia bawakan di sebuah universitas terkemuka di Washington DC, yaitu George Town University. Saya sudah pernah menukil sebagiannya dalam beberapa ceramah saya, kemudian membahas sebagiannya dengan sedikit detail di hadapan beberapa pemuda, di sekretariat Dârul Arqam di Washington.

Di antara hal yang dikatakan oleh Clinton pada pidato itu adalah: "Sengketa yang mendasar antara kita dengan mereka—maksudnya Kaum Muslimin atau sebagian kelompok Kaum Muslimin—adalah persepsi kita tentang kebenaran. Kita percaya bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui semua kebenaran, dan karena itu, kita melihat bahwa setiap orang mempunyai pertimbangannya masing-masing. Ini berbeda dengan persepsi mereka, karena mereka berkeyakinan mengetahui semua kebenaran, sehingga mereka berpendapat bahwa jika Anda bukan seorang muslim maka Anda adalah kafir. Jika Anda seorang muslim dan tidak sependapat dengan mereka maka Anda adalah pelaku bid`ah. Anda pada dua kondisi itu adalah target pembunuhan yang legal, walaupun Anda adalah seorang anak berumur enam tahun."

Di antara poin yang saya sampaikan dalam ceramah di Dârul Arqam itu adalah bahwa jika yang ia maksud dengan "seluruh kebenaran" itu adalah mengetahui segala sesuatu, maka kita menjadi orang pertama yang mengakui bahwa ini bukanlah sifat manusia, tetapi ini merupakan salah satu sifat Allah—Subhânahu wata`âla. Bahkan jika yang ia maksud dengan perkataan tersebut adalah bahwa kita mengetahui segala hal tentang sesuatu, kita percaya bahwa hanya Allah—Subhânahu wata`âla—saja yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.

Kita tidak mengetahui segalanya, bahkan tentang Tuhan kita yang tidak sembah sekalipun, karena ada sebagian nama-nama-Nya yang hanya diketahui oleh Dia sendiri dengan ilmu-Nya. Tetapi yang kita ketahui tentang-Nya—Subhânahu wata`âla—walaupun sedikit, itu sudah cukup untuk meyakinkan kita bahwa Dia adalah satu-satunya yang layak disembah, dan bahwa Dialah yang telah menurunkan Al-Quran kepada Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam.

Demikian pula dengan apa yang kita ketahui tentang urusan dunia kita, itu juga sudah cukup untuk kita mengambil manfaat darinya. Sebelum kita mengetahui bahwa air terbentuk dari hidrogen dan oksigen, kita telah tahu bahwa air menghilangkan dahaga, bahwa air penting bagi pertumbuhan tanaman, bahwa ia membersihkan kotoran, dan seterusnya. Jadi, keterbatasan ilmu tidak berarti relativitas kebenaran. Bahkan dalam apa yang kita ketahui—selama itu benar—terkandung bukti yang pasti bahwa kebalikannya adalah batil (tidak benar).

Saya sampaikan juga ketika itu, bahwa kekafiran artinya pengingkaran terhadap kebenaran, atau penolakan terhadap sesuatu yang diyakini sebagai fakta. Orang yang mengingkari bahwa Muhammad adalah utusan Allah padahal ia mengetahuinya, berarti ia telah mengingkari kebenaran, sehingga ia adalah kafir. Dan orang yang mengingkari bahwa ada objek selain Allah yang berhak disembah, dalam ungkapan Al-Quran, ia disebut sebagai kafir kepada Thâghût (Syetan dan segala yang disembah selain Allah).

Saya juga menyampaikan bahwa prinsip interaksi kita dengan orang-orang yang tidak percaya dengan Islam adalah mendakwahinya dengan bijaksana, dengan nasihat yang baik, serta berdialog dengan mereka menggunakan cara terbaik. Bahwa kita tidak akan membunuh seseorang hanya karena ia kafir. Jika tidak demikian, niscaya tidak ada seorang pun di antara mereka yang masih hidup di dunia ini. Bagaimana mungkin Agama kita menyuruh kita untuk membunuh setiap orang kafir, sementara ia membolehkan bagi kita menikahi perempuan Ahli Kitab? Apakah kita menikahinya untuk kemudian menghunus pedang dan memenggal lehernya? Adapun anak-anak, dalam pandangan Agama kita adalah muslim, lalu untuk apa kita membunuh mereka?

Artikel Terkait