Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. RAMADHAN
  3. Idul Fitri&Adha

Hukum dan Adab-adab Idul Adha

Hukum dan Adab-adab Idul Adha

Oleh: Nahâr ibnu Abdurrahmân Al-`Utaibi

Idul Adha adalah hari raya kedua bagi imat Islam. Hari raya ini jatuh pada hari terakhir dari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang merupakan hari-hari terbaik dalam setahun, menurut pendapat sebagian ulama. Sebuah hadits diriwayatkan dari Jâbir—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Hari-hari yang paling utama (terbaik) di dunia adalah sepuluh hari (di awal Dzulhijjah)." [HR. Al-Bazzâr. Menurut Al-Albâni: shahîh]

Hari raya Idul Adha adalah hari yang paling agung di sisi Allah. Tentang hal ini, terdapat sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Hari yang paling utama di sisi Allah adalah hari Nahr, kemudian hari Qarr." [HR. Imam-imam hadits pengarang kitab Sunan]. Hari Qarr adalah tanggal sebelas Dzulhijjah. Dinamakan Qarr (bermukim), karena para jemaah haji ketika itu bermukim di Mina. Dalam hadits lain yang juga terdapat dalam kitab-kitab Sunan dan di-shahîhkan oleh At-Tirmidzi, disebutkan: "Hari Arafah, Hari Nahr, dan hari-hari Mina adalah hari raya kita orang-orang Islam. Ia adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir mengingat Allah."

Pada hari raya Idul Adha yang penuh berkah ini, terdapat beberapa hukum dan adab, di antaranya yang paling penting adalah:

1. Sunnah hukumnya melantunkan takbir pada malam dan siang Hari Raya sampai akhir hari Tasyrîq. Waktunya habis dengan terbenamnya matahari memasuki tanggal 14 Dzulhijjah, berdasarkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang." [QS. Al-Baqarah: 203]

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun takbir, disyariatkan pada hari raya Idul Adha menurut kesepakatan seluruh ulama." [Majmû'ul Fatâwa]

Kemudian ia berkata, "Adapun takbir pada hari Nahr, lebih ditekankan dari sisi bahwa ia disyariatkan di setiap selesai shalat, dan itu disepakati oleh para ulama. Pada hari raya Idul Adha berkumpul kemuliaan tempat dan waktu. Hari raya Idul Adha lebih agung daripada hari raya Idul Fitri. Oleh karena itu, ibadah pada hari raya ini adalah kurban dan shalat, sebagaimana firman AllahSubhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)." [QS. Al-Kautsar: 2-3]. Maka shalat (Hari Raya) yang dilakukan oleh umat Islam di berbagai daerah menempati kedudukan seperti melontar Jamrah `Aqabah yang dilakukan oleh para jemaah haji. Penyembelihan hewan kurban yang mereka lakukan di berbagai penjuru dunia juga menempati posisi penyembelihan hady (hewan dam) yang dikurbankan oleh jemaah haji. Oleh karena itu, pendapat yang shahîh di antara berbagai pendapat ulama adalah bahwa orang-orang di berbagai daerah di dunia (yang tidak melaksanakan haji) bertakbir sejak subuh hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq, berdasarkan hadits di atas dan hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Dâraquthni dari JâbirSemoga Allah meridhainya. Selain itu, ini juga merupakan kesepakatan para shahabat Nabi yang terkemuka.

Wallâhu a`lam. Dan bunyi takbir adalah: Allâhu akbar, Allâhu akbar, Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu akbar, Allâhu akbar walillâhil hamd." [Majmû'ul Fatâwa]

2. Hukum Shalat Idul Adha

Ulama-ulama mazhab Hanbali—Semoga Allah merahmati mereka—berpendapat bahwa shalat Idul Adha hukumnya fardhu kifayah. Sementara Mâlik dan Asy-Syâfi`i berpendapat bahwa hukumnya sunnah. Namun Imam Abu Hanîfah—Semoga Allah merahmatinya—dan banyak ulama lain seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, serta sebagian ulama kontemporer seperti Ibnu Sa`di, Ibnu Bâz, dan Ibnu `Utsaimîn—Semoga Allah merahmati mereka semua—berpendapat shalat Hari Raya ini adalah wajib. Pendapat ini didasarkan kepada perbuatan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, dan karena beliau juga memerintahkan para perempuan, anak-anak gadis remaja, dan wanita-wanita pingitan untuk ikut keluar melaksanakan shalat pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu `Athiyyah—Semoga Allah meridhainya. Dalam hadits itu, Ummu `Athiyyah berkata, "RasulullahShallallâhu `alaihi wasallammemerintahkan kepada kami untuk membawa keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha para gadis remaja, wanita-wanita haid, dan wanita-wanita pingitan. Wanita-wanita yang sedang haid tidak masuk ke tempat shalat, namun ikut menghadiri kebaikan dan dakwah kaum muslimin pada hari itu. Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, ada di antara kami yang tidak memiliki kebaya'. Beliau menjawab, 'Hendaklah saudarinya memakaikan kepadanya kebaya miliknya'." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Imam memimpin jemaah melakukan shalat dua rakaat di lapangan, kemudian dilanjutkan dengan khutbah. Disunnahkan melaksanakan shalat Idul Adha pagi-pagi, apabila matahari mulai naik. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Yazîd ibnu Khumayyar, ia berkata, "Abdullah ibnu Busr, shahabat Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, keluar bersama orang banyak pada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Lalu ia mengkritik keterlambatan imam dan berkata, 'Sesungguhnya kami (melakukan shalat hari raya) bersama Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, dan selesai pada waktu seperti saat ini." [HR. Abû Dâwûd dan Ahmad]

3. Diharamkan berpuasa pada hari raya Idul Adha, demikian juga di hari-hari Tasyriq setelahnya. Keharaman berpuasa pada hari raya didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa`îd Al-Khudri—Semoga Allah meridhainya, "Bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—melarang berpuasa pada dua hari: hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Sementarea keharaman berpuasa pada hari-hari Tasyriq berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan dari Nubaisyah Al-Hadzli—Semoga Allah meridhainya, bahwa RasulullahShallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan, minum, dan zikir mengingat Allah." [HR. Muslim]

Sebuah hadits diriwayatkan pula dari 'Aisyah dan Ibnu Umar—Semoga Allah meridhai mereka, bahwa mereka berkata, "Tidak dibolehkan berpuasa pada hari-hari Tasyriq kecuali bagi jemaah haji yang tidak memiliki hady (hewan dam)." [HR. Al-Bukhâri]

4. Amalan paling mulia pada hari raya Idul Adha adalah shalat `Id, kemudian menyembelih kurban. Maka seorang muslim hendaknya memulai Hari Rayanya dengan shalat, sebelum melakukan amalan-amalan lain. Setelah itu, hendaklah ia menyembelih kurban. Imam Al-Bukhâri membuat sebuah judul dalam kitab Shahîh-nya: "Bab tentang Sunnah Dua Hari Raya bagi Umat Islam." Lalu ia menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Al-Barâ'—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia pernah mendengar Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—berkhutbah (di hari Idul Adha) dengan bersabda, "Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini adalah shalat, kemudian kita pulang dan menyembelih kurban. Barang siapa yang melakukan itu berarti telah menjalankan sunnah kita." [HR. Al-Bukhâri]

5. Termasuk amalan yang disunnahkan pada Hari Raya adalah menghias diri dan memakai pakaian yang paling bagus. Adapun kaum perempuan, hendaknya keluar melaksanakan shalat tanpa berhias diri, tidak memakai wangi-wangian, dan tidak menampakkan aurat. Karena kaum wanita diperintahkan untuk menutup aurat dan dilarang memakai perhiasan dan wangi-wangian ketika keluar rumah. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abdullah ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia berkata, "Suatu ketika, Umar mengambil sebuah jubah dari sutra yang dijual di pasar, lalu membawanya ke hadapan RasulullahShallallâhu `alaihi wasallamseraya berkata, 'Wahai Rasulullah, belilah pakaian ini, dan pakailah untuk Hari Raya dan menyambut para utusan. RasulullahShallallâhu `alaihi wasallammenjawab, 'Ini adalah pakaian orang yang tidak akan memiliki bagiannya (memakai sutra) kelak di Akhirat'. Mendengar itu, Umar kembali dan berdiam beberapa waktu. Setelah itu, RasulullahShallallâhu `alaihi wasallammengirimkan untuknya sebuah jubah terbuat dari sutra. Umar lalu membawa jubah itu menghadap Rasulullah seraya berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anda pernah mengatakan bahwa ini adalah pakaian orang yang tidak akan memiliki bagiannya di Akhirat, lalu mengapa Anda mengirimkan jubah ini kepadaku?' RasulullahShallallâhu `alaihi wasallambersabda, 'Untuk engkau jual atau untuk memenuhi kebutuhanmu'." [HR. Al-Bukhâri]

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—melarang Umar ketika membawakan jubah itu kepada beliau, karena jubah itu terbuat dari sutra, sementara sutra diharamkan (untuk dipakai) oleh kaum laki-laki. Ibnu Hajar—Semoga Allah merahmatinya—dalam kitab Fathul Bâri berkata, "Penjelasan tentang judul yang dibuat oleh Imam Al-Bukhari di atas adalah, bahwa judul ini diambil dari persetujuan NabiShallallâhu `alaihi wasallamterhadap kebolehan berhias. Beliau hanya mencegah Umar dari jubah itu karena terbuat dari sutra."

6. Salah satu sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) pada hari raya Idul Adha adalah ibadah kurban. Syaratnya ada tiga:

a. Hewan kurban haruslah dari jenis binatang ternak dan mencapai umur yang dibenarkan oleh Syariat. Binatang ternak yang dimaksud adalah unta, sapi, dan kambing. Sedangkan umur hewan kurban yang dibenarkan oleh Syariat adalah (minimal) lima tahun untuk unta, dua tahun untuk sapi, satu tahun untuk kambing, dan enam bulan untuk domba. Satu unta atau satu sapi dapat dijadikan kurban untuk tujuh orang.

b. Hewan kurban harus bersih dari aib/cacat yang menghalangi keabsahan ibadah kurban. Cacat yang dimaksud ada empat macam, yaitu pincang yang parah, sakit, buta, dan sangat kurus.

c. Penyembelihan kurban harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu setelah selesai shalat `Id, dan yang lebih utama adalah setelah imam selesai berkhutbah. Waktu penyembelihan kurban berakhir dengan tenggelamnya matahari pada hari Tasyriq tanggal 13 Dzulhijjah.

Disunnahkan bagi pemilik hewan kurban untuk makan sebagian dari daging kurban sembelihannya, berdasarkan perbuatan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Ia boleh juga memasaknya, menyedekahkannya, atau menghadiahkannya. Artinya, ada keluasan dalam masalah ini.

7. Termasuk sunnah pada hari raya adalah menampakkan kebahagiaan dan rasa senang. Diperkenankan pula melakukan permainan-permainan yang dibolehkan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "(Pada suatu Hari Raya), Rasulullah masuk ke rumahku dan bersamaku ketika itu ada dua anak perempuan yang menyanyikan nyanyian Bu`âts. Beliau pun berbaring di kasur dan memalingkan wajah. Lalu datanglah Abu Bakar seraya menghardikku dan berkata, 'Apakah pantas ada seruling Syetan di dekat Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam?!" Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—lalu mendatanginya dan bersabda, 'Biarkanlah mereka!' Ketika beliau lengah, aku memberi isyarat kepada kedua anak perempuan itu untuk pergi." 'Aisyah berkata: "Pada Hari Raya, orang-orang hitam bermain memukul perisai kulit dan belati. Kalau tidak aku yang meminta kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, beliau yang biasanya bertanya, 'Engkau ingin melihatnya?' Aku pun menjawab, 'Ya'. Lalu beliau mengangkat aku di belakang punggung beliau, dan pipiku menempel di pipi beliau. Ketika itu, beliau bersabda, 'Lanjutkan, wahai Bani Arfidah'. Sampai ketika aku merasa bosan, beliau bersabda, 'Apakah cukup?' Aku pun menjawab, 'Ya', dan beliau bersabda, 'Pergilah." [HR. Al-Bukhâri]

Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bâri: "Salah satu hukum yang terkandung dalam hadits ini adalah disyariatkannya memberikan keluasan bagi keluarga pada hari raya-hari raya dengan berbagai cara yang membuat mereka senang, serta merehatkan tubuh dari kepenatan menjalankan tugas ibadah. Namun menjauhi hal itu lebih utama. Hadits ini juga mengandung pelajaran bahwa menampakkan kebahagiaan pada Hari Raya termasuk syiar Agama."

8. Termasuk sunnah pada Hari Raya adalah mengambil jalan yang berbeda ketika pergi ke tempat shalat dengan jalan ketika pulang. Sebuah hadits diriwayatkan dari Jâbir—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Ketika Hari Raya, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—membedakan jalan yang ditempuhnya (ketika pergi dan ketika pulang)." Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bâri, "Dalam riwayat Al-Ismâ`îli disebutkan dengan redaksi: 'Bila keluar menuju (tempat shalat) pada Hari Raya, Nabi biasanya pulang dengan tidak melalui jalan saat beliau berangkat'."

9. Bukan termasuk sunnah melakukan shalat dua rakaat sebelum dan sesudah shalat Hari Raya jika shalat dilaksanakan di tanah lapang. Adapun jika dilaksanakan di mesjid, tidak mengapa melakukan shalat Tahiyyatul Masjid sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbâs—Semoga Allah meridhainya, "Bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—melaksanakan shalat Hari Raya dan tidak melaksanakan shalat dua rakaat sebelum dan sesudahnya." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Menurut para ulama yang berpendapat bahwa hukum shalat Hari Raya adalah wajib, orang yang ketinggalan shalat Hari Raya diwajibkan meng-qadha-nya. Namun mereka berbeda pendapat tentang jumlah rakaat yang harus dilakukan ketika meng-qadha. Imam Al-Bukhâri—Semoga Allah merahmatinya—berpendapat harus diqadha dua rakaat. Sementara menurut Imam Ahmad, dan didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah—Semoga Allah merahmatinya, harus diqadha empat rakaat. Ishâq—Semoga Allah merahmatinya—mengambil pendapat pertengahan dengan berkata, "Jika ia melaksanakannya dengan berjamaah, cukup dua rakaat, tapi jika tidak, harus empat rakaat."

10. Termasuk sunnah mengucapkan selamat pada Hari Raya, yaitu mengatakan kepada sesama muslim pada hari itu: "Taqabbalallâhu minnâ wa minkum" (semoga Allah menerima amal ibadah kita semua), atau: "`Îdukum mubârak" (Semoga hari raya Anda penuh berkah), atau: "Semoga Allah mengembalikan lagi Hari Raya ini kepada kita semua", dan kalimat-kalimat lainnya yang semakna dengan itu. Ibnu Hajar berkata, "Diriwayatkan kepada kami dengan sanad yang baik (hasan) dari Jubair ibnu Nufair, ia berkata, 'Para shahabat Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—apabila bertemu satu sama lain pada Hari Raya, biasanya saling mengucapkan: 'Taqabbalallâhu minnâ wa minka' (Semoga Allah menerima amal ibadah kita semua."

Kita berdoa kepada semoga Allah—Subhânahu wata`âlâ—menerima amal ibadah kita semua, dan menjadikan Hari Raya kita penuh kebahagiaan. Semoga Allah menghapus segala kesedihan, kesempitan, dan berbagai bencana yang menimpa kaum muslimin di seluruh dunia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan doa. Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam, beserta keluarga dan para shahabat beliau.

[Sumber: www.islamselect.com]

Artikel Terkait