Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. RAMADHAN
  3. 10 Hari Terakhir

Keutamaan Lailatul Qadar

Keutamaan Lailatul Qadar

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam yang diberkahi (Lailatul Qadar) dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." [QS. Ad-Dukhân: 3-4]

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—juga berfirman yang artinya: "Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan [Lailatul Qadr]. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." [QS. Al-Qadr: 1-5]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—bersabda: "Barang siapa yang mendirikan malam Lailatul Qadar dengan iman dan mengharap ridha Allah, maka dihapuslah dosa-dosanya yang telah lalu." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam riwayat lain: "Barang siapa yang telah mendirikan malam Lailatul Qadr dengan iman dan mengharap ridha Allah, maka dihapuslah dosa-dosanya yang telah lalu." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—bersabda tentang Lailatul Qadr: "Malam itu adalah malam ke duapuluh tujuh atau duapuluh sembilan. Sesungguhnya Malaikat pada malam itu di dunia, lebih banyak dari jumlah kerikil." [HR. Ahmad, Abû Dâwûd, Menurut Ibnu Khuzaimah: Shahîh]

Kandungan dan Hukum

Pertama, Keutamaan Lailatul Qadr. Keutamaannya ini tampak pada hal-hal berikut:

1. Sesungguhnya malam itu memiliki kemuliaan yang agung di sisi Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ.

2. Malam itu lebih baik dari seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadr-nya. Ukuran waktu ini sama dengan delapan puluh tahun empat bulan.

3. Banyaknya Malaikat yang turun pada malam itu hingga jumlahnya lebih banyak dari jumlah kerikil di bumi.

4. Al-Quran yang mulia diturunkan pada malam itu.

5. Banyak kesempatan untuk selamat dari azab pada malam itu, dengan amal-amal shalih yang dilakukan oleh para ahli ibadah, dan karena limpahan rahmat, ampunan dari Allah dan pembebasan dari api Neraka bagi hamba-Nya.

6. Malam itu disifati dengan malam yang penuh berkah, karena keutamaan dan keistimewaannya yang banyak.

7. Orang yang mendirikan malam itu karena mengimani janji Allah yang ada di dalamnya dan mengharap pahalanya, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.

8. Pada malam itu ditulis takdir yang akan terjadi selama setahun mendatang.

9. Orang yang menghidupkan malam itu akan meraih kedudukan yang agung di sisi Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ, serta layak mendapatkan rahmat dan magfirah-Nya.

Kedua: Seyogyanya bagi setiap muslim untuk berusaha sungguh-sungguh mendapatkan malam Lalilatul Qadr ini dengan menghidupkan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan seluruhnya, memenuhinya dengan shalat, doa dan dzikir. Karena malam ini tidak akan disia-siakan kecuali oleh orang-orang yang tercegah dari keutamaannya. Kita memohon kepada Allah agar tidak mencegah kita dari keutamaan malam ini.

Ketiga: Kebaikan malam Lailatul Qadr ini adalah kebaikan beramal shalih di dalamnya, karena orang yang berjuang untuk beribadah pada malam itu, amal shalihnya lebih baik dari amal shalih selama seribu bulan yang tidak ada malam Lalilatul Qadr-nya. Dan hal ini adalah kemurahan yang besar dari sisi Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ.

Keempat: Kemurahan Allah bagi umat ini, dengan menganugerahkan mereka malam yang berkah ini setiap tahun. Maka segala puji hanya bagi Allah seluas-luasnya.

Kelima: Malam Lailatul Qadr adalah malam yang paling utama, dan tidak benar bahwa malam Jumat lebih utama darinya. Apabila malam itu kebetulan bertepatan dengan malam Jumat, maka keutamaannya tentu akan semakin bertambah.

Keenam: Malam Isrâ' dan Mi`râj lebih utama dari malam Lailatul Qadr bagi Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam, karena pada malam itu beliau diangkat ke langit kemudian Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berbicara langsung dengan beliau. Hal ini tentu merupakan kemuliaan yang paling agung dan kedudukan yang paling tinggi. Adapun bagi kaum muslimin seluruhnya, keutamaan yang dapat mereka raih pada malam itu lebih jauh besar dari pada keutamaan malam Isrâ' dan Mi`raj.

Ketujuh: Sebagian ulama mengatakan bahwa malam yang agung ini merupakan keistimewaan bagi umat Islam. Hal ini disebutkan dalam beberapa hadits dha`îf, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang lain bahwa malam ini juga diberikan kepada umat-umat terdahulu sebelum kita, atau bagi nabi-nabi mereka. Tetapi hadits-hadits ini juga dha`îf.

Kedelapan: Terdapat dalam riwayat Muslim: "Barang siapa yang mendirikan malam Lailatul Qadr "dengan disertai" iman dan mengharap ridha Allah, maka dihapuslah dosa-dosanya." Sebagaian orang berdalil dengan hadits di atas bahwa malam Lailatul Qadr tidak akan di dapatkan kecuali bagi orang yang mengetahui bahwa malam itu adalah malam Laialtul Qadr. Namun, zahir hadits tersebut tidak menunjukkan hal itu. Hadits tersebut justru menunjukkan bahwa malam Lailatul Qadr akan didapatkan oleh setiap orang yang menghidupkannya dengan niat menghidupkan malam Lailatul Qadr, dan malam itu benar-benar malam Lailatul Qadr, walapun orang tersebut tidak mengetahui hal itu. [Tharhut Tatsrîb dan Dzakhîratul Uqbâ][1]

Berdasarkan hal ini, setiap muslim yang berusaha menghidupkan sepuluh malam terakhir haruslah dengan niat menghidupkan malam Lailatul Qadr, karena kemungkinan demikian adanya, sehingga niatnya bertepatan dengan malam itu.



[1] Untuk diperhatikan: Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa: "Barang siapa yang shalat Isya secara berjamaah, maka ia telah mendapatkan Lailatul Qadr." [HR. Ibnu Khuzaimah]. Di-dha`ifkan Al-Albâni. Akan tetapi hadits ini sebenarnya maudhû` (palsu), karena di dalam sanadnya terdapat Ahmad bin Al-Hajjâj bin Ash-Shalt, ia adalah seorang rawi yang tertuduh memalsukan hadits. Lihat kitab Zawâ'id Târîkh Bagdâd `alâ al-kutub as-sittah, karya Syaikh Khaldûn Al-Ahdab.

Artikel Terkait