Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Orangtua

Apakah Ayahmu Telah Wafat?

Apakah Ayahmu Telah Wafat?

Seorang teman pernah bertanya kepada saya, "Apakah ayahmu telah wafat?"

Ia melanjutkan, "Apakah engkau sudah pernah merasakan hal ini sebelumnya? Apabila engkau belum pernah merasakannya, mari, saya akan menjelaskannya?

Suatu waktu, orang yang dahulu menjadi perantara lahirnya engkau ke dunia ini pergi meninggalkanmu. Ia pergi sambil meninggalkan ratusan kenangan yang memenuhi otak dan hatimu. Ia pergi tanpa memberi aba-aba sebelumnya. Dan seperti inilah memang kematian, ia datang ketika seseorang tidak menyadarinya, tanpa pilih kasih, antara orang tua dengan anak kecil.

Engkau terbangun di saat orang-orang membawa kabar menyedihkan bahwa ayahmu telah tiada. Engkau tidak dapat percaya. 'Beberapa hari yang lalu, beliau masih ada bersama saya, berbicara tentang pernikahan, rumah, dan keluarga. Pada saat itu, rumah kami dipenuhi oleh tawa ceria karena komentar-komentar beliau yang penuh canda'.

Satu hal yang tidak Anda ketahui, wahai saudaraku—atau mungkin engkau mengetahuinya, namun engkau tidak menghiraukannya—adalah bahwa semua orang tidak mengetahui nilai sesuatu yang dimilikinya kecuali ketika ia telah hilang. Dan engkau tidak akan mengetahui nilai seorang ayah, kecuali ketika engkau telah kehilangannya—Semoga hal itu tidak terjadi. Di saat ia telah pergi, semua kenangan akan terlintas di benakmu. Kemudian engkau akan mempertanyakan kepada dirimu satu pertanyaan, namun mengandung sejuta tekanan di pikiranmu, yaitu: 'Apakah ayahku wafat dalam keadaan ridha terhadapku?'

Artinya, apakah beliau masih menyebut-nyebut kesalahan dan dosa-dosaku, atau telah memaafkanku dengan hatinya yang penuh kasih sayang itu? Ya, hati seorang ayah yang tidak pernah menaruh dendam terhadap anak-anaknya, walau bagaimana pun sikap mereka. Apabila beliau telah memaafkanku, bagaimanakah aku bisa mengetahuinya? Mungkinkah aku bisa mencapai derajat yang lebih tinggi daripada ini bersama beliau? Apabila beliau masih menyebut-nyebut kesalahanku, dan ia menaruh rasa kurang senang terhadapku, bagaimanakah aku bisa mengetahuinya? Dan bisakah aku menghapus dosa itu?"

Perkataan temanku terhenti sampai di situ. Ia tidak bisa lagi meneruskan curahan hatinya, karena ia telah hanyut oleh isak tangisanya. Sementara saya hanya bisa melihatnya dengan rasa belas kasihan, dan saya memakluminya, karena musibah tersebut sangat berat baginya.

Saat itu, saya teringat dengan kisah Iyâs ibnu Mu'âwiyah. Ketika ibunya meninggal dunia, ia menangis. Lalu ada yang bertanya kepadanya, "Kenapa engkau menangis?" Ia menjawab, "Aku melihat ada dua pintu Surga yang terbuka untukku, lalu salah satunya tertutup. Dan Aku sangat berharap agar pintu yang lain tidak tertutup sampai aku dan ayahku bisa masuk bersama ke dalamnya."

Dan saat itu pula, saya teringat kepada kisah para salafus shalih yang sangat berbakti kepada orang tua mereka. Diriwayatkan dari Al-Ma`mûn, bahwa ia tidak pernah melihat ada orang yang lebih berbakti kepada orang tuanya melebihi bakti Al-Fadhl ibnu Yahya kepada ayahnya. Al-Ma`mûn bercerita:

"Ayahnya tidak pernah berwudhuk kecuali dengan air hangat. Ketika mereka berdua masuk penjara, penjaga penjara mencegah mereka untuk memasukkan kayu bakar ke dalam penjara di suatu malam yang dingin. Tatkala ayahnya tertidur, Al-Fadhl mengambil satu bejana air, lalu mendekatkannya ke lampu. Ia terus melakukan itu sampai terbit fajar. Ketika ayahnya terbangun, ia menuangkan air hangat itu untuknya. Pada malam berikutnya, para penjaga penjara mengambil lampu tersebut. Al-Fadhl kemudian mengambil bejana, memasukkannya ke dalam bajunya, dan meletakkannya di atas perutnya, agar air itu menjadi hangat oleh panas tubuhnya, sementara ia sendiri menahan dinginnya air dan cuaca waktu itu."

Sekarang, coba Anda perhatikan pula sebuah kisah yang membuat Umar ibnul Khaththâb dan semua orang yang ada di sekelilingnya ketika itu menangis:

Diceritakan di sebuah buku bahwa Umayyah Al-Kinâni merupakan seorang pemuka di tengah kaumnya. Ia memiliki seorang anak yang bernama Kilâb. Ia (Kilâb) hijrah ke Madinah pada masa kekhalifahan Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya. Lalu ia menetap di sana beberapa waktu. Pada suatu hari, ia bertemu dengan beberapa shahabat, lantas ia bertanya, "Apakah amalan yang paling baik di dalam Islam?" Mereka menjawab, "Jihad di jalan Allah". Kemudian Kilâb meminta izin kepada Umar untuk ikut berjihad, lalu Umar mengirimnya bersama pasukan Islam ke Persia. Ketika ayahnya mengetahui hal itu, ayahnya merasa keberatan, lalu berkata, "Jangan tinggalkan ayah dan ibumu yang telah tua dan lemah ini. Mereka telah mengasuhmu di waktu kecil, lalu apakah ketika mereka membutuhkanmu, engkau malah meninggalkan mereka?" Lalu Kilâb menjawab, "Aku meninggalkan ayah dan ibu berdua demi suatu hal yang lebih baik bagiku." Setelah itu, ia pergi berperang setelah meminta keridhaan orang tuanya. Namun peperangan itu ternyata agak menyita waktu dan membuatnya pulang lambat.

Pada suatu hari, kedua orang tuanya duduk di bawah sebuah pohon kurma milik mereka, lalu mereka melihat dua ekor burung merpati yang sedang memanggil anak mereka yang masih kecil. Burung itu bermain dengan anaknya ke sana-sini. Melihat pemandangan tersebut, ayahnya langsung menangis, dan ibunya juga ikut menangis. Tidak lama setelah itu, penglihatan ayahnya menjadi lemah.

Tatkala Kilâb sudah sangat terlambat pulang, ayahnya pergi menemui Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya. Sesampai di Madinah, ia masuk ke mesjid, seraya berkata, "Wahai Ibnul Khaththâb, demi Allah, jika engkau tidak mengembalikan anakku, niscaya aku akan mendoakan keburukan untukmu di Padang Arafah." Mendengar itu, Umar langsung mengirimkan surat agar Kilâb disuruh pulang.

Ketika Kilâb datang, dan masuk menemui Umar, Umar bertanya, "Apa bakti yang pernah engkau persembahkan untuk ayahmu?" Kilâb menjawab, "Aku selalu mengutamakannya dan memenuhi semua kebutuhannya. Di kala aku ingin memeras susu untuknya, aku mendatangi unta yang paling gemuk, lalu aku menenangkannya dan membiarkannya sampai benar-benar tenang. Setelah itu, aku cuci puting susunya sampai dingin, barulah kemudian aku peras susunya, dan setelah itu aku minumkan kepada ayahku."

Umar kemudian mengirim seorang utusan untuk menjemput sang ayah. Lalu datanglah lelaki itu sambil berjalan terhuyung-huyung, dengan mata yang sudah sangat lemah dan punggung yang sudah membungkuk. Umar berkata kepadanya, "Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Kilâb?" Ia menjawab, "Sebagaimana yang engkau lihat, wahai Amîrul Mukminîn." Lalu umar berkata, "Apa yang paling engkau inginkan pada hari ini?" Abu Kilâb menjawab, "Aku tidak menginginkan apa pun hari ini. Aku tidak merasa bahagia karena kebaikan, dan juga tidak merasa sedih karena keburukan." Umar berkata, "Tidak ada yang lain?" Ia baru menjawab, "Tentu, aku ingin anakku, Kilâb, berada di dekatku, sehingga aku bisa menciumnya dan memeluknya sebelum aku mati." Mendengar itu, Umar menangis, seraya berkata, "Engkau akan mendapatkan apa yang engkau inginkan, Insyâallâh."

Kemudian Umar menyuruh Kilâb keluar dan memeras susu untuk ayahnya, sebagaimana yang pernah ia lakukan. Kilâb melaksanakan perintah itu dan kemudian datang membawa bejana kepada Umar. Umar lalu mengambilnya, seraya berkata, "Minumlah, wahai Abu Kilâb!" Tatkala bejana sudah menghampiri mulutnya, lelaki itu berkata, "Demi Allah, wahai Amîrul Mukminîn, sungguh aku mencium aroma tangan Kilâb." Umar kembali menangis, seraya berkata, "Kilâb sudah berada di hadapanmu. Kami telah menjemputnya untukmu." Abu Kilab langsung maju dan memeluk anaknya sambil menangis. Umar tak kuasa menahan haru sehingga ia menangis, dan semua orang yang hadir ketika itu juga ikut menangis. Lantas Umar berkata, "Wahai anakku, tetaplah bersama orang tuamu, dan bersungguh-sungguhlah berbakti kepada mereka. Kemudian baru perhatikan dirimu setelah mereka tiada."

Mari, wahai saudaraku…

Bersegeralah berbuat baik kepada orang tua Anda. Jadilah seperti para tokoh mulia itu, sebelum datang suatu kabar duka yang mengejutkan, saat orang-orang disekitar Anda berkata: "Semoga Allah memberikan pahala yang besar bagimu. Ayahmu telah meninggal dunia."

[Sumber: www.islammemo.cc]

  

Artikel Terkait

Keutamaan Haji