Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Ringkasan Ajaran Islam

Musyawarah; Jalan Hidayah

Musyawarah; Jalan Hidayah

Sejak dahulu sudah terkenal ungkapan yang mengatakan: "Tidak akan kecewa orang yang melakukan istikharah dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah."

Di sisi lain, ada juga ungkapan yang mengatakan: "Siapa yang kagum dengan pendapatnya sendiri pasti akan tersesat." Atau: "Siapa yang egois dengan pendapatnya sendiri niscaya akan jauh dari kebenaran."

Musyawarah berarti mengambil pendapat dari orang lain dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi.

Baginda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, meskipun merupakan manusia yang memiliki pandangan yang paling baik, apalagi beliau didukung dengan wahyu, tetapi Allah—Subhânahu wata`âlâ—tetap menyuruh beliau untuk bermusyawarah dengan para shahabat. Ini bertujuan untuk mengajarkan kepada Umat tentang keutamaan musyawarah, dan agar Umat meneladani contoh ini sepeninggal beliau. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman kepada Nabi-Nya (yang artinya): "...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." [QS. Âli `Imrân: 159].

Sebagaimana Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga menggambarkan komunitas orang-orang beriman dengan berbagai sifat mulia, dan di antara sifat yang terpenting adalah bahwa masyarakat muslim berdiri di atas landasan musyawarah. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "...sedang urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka." [QS. Asy-Syûrâ: 38].

Musyawarah adalah Salah Satu Tonggak Syariat

Ibnu `Athiyyah berkata, "Musyawarah termasuk salah satu tonggak Syariat dan dasar ketetapan hukum. Pemimpin yang tidak bermusyawarah dengan para ulama dan ahli Agama wajib diberhentikan. Dan ini merupakan perkara yang tidak lagi diperdebatkan. AllahSubhânahu wa Ta`âlâtelah memuji orang-orang yang beriman dengan firman-Nya (yang artinya): ‘...sedang urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka’."

Seorang Arab badui berkata, "Aku sama sekali tidak akan tertipu sampai kaumku tertipu." Ketika ditanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?", ia menjawab, "Karena aku tidak melakukan sesuatu pun kecuali terlebih dahulu bermusyawarah dengan mereka."

Ibnu Khuwaiz Mandâd berkata, "Para pemimpin wajib bermusyawarah dengan para ulama dalam urusan-urusan Agama yang tidak mereka ketahui atau belum jelas bagi mereka. Mereka wajib bermusyawarah dengan para komandan pasukan dalam hal yang berkaitan dengan perang. Mereka wajib bermusyawarah dengan para tokoh masyarakat dalam hal yang berhubungan dengan kemaslahatan. Mereka wajib bermusyawarah dengan para tokoh penulis, para menteri, dan para buruh dalam hal yang berkaitan dengan kemaslahatan negeri dan usaha membangunnya. Pepatah mengatakan: 'Tidak akan menyesal orang yang meminta pandangan (bermusyawarah)'. Pepatah lain juga mengatakan: 'Siapa yang kagum dengan pendapatnya sendiri pasti akan tersesat'."

Kriteria Orang yang Bisa Diajak Bermusyawarah

Dalam berbagai urusannya, orang yang teguh hati seyogianya bermusyawarah dengan orang yang mempunyai pandangan jernih dan akal yang kuat. Para ahli telah menetapkan lima syarat bagi kepatutan seseorang menjadi konsultan yang layak diajak bermusyawarah, yaitu:

1.   Akal yang sempurna disertai pengalaman.

Seorang tokoh pernah berkata, "Bermusyawarahlah dengan orang yang telah mengalami banyak hal. Karena ia akan memberikan pandangannya yang dahulu mungkin ia dapatkan dengan membayar mahal, sementara engkau mengambilnya secara gratis."

2.   Beragama dan bertakwa.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Siapa yang menginginkan suatu perkara, lalu memusyawarahkannya dengan seorang muslim, niscaya Allah akan membimbingnya kepada jalan yang paling baik."

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah menjelaskan bahwa "Seorang konsultan yang diajak berunding berarti adalah orang yang diberi amanah." Jika ia beragama kuat, ia pasti akan menunaikan amanah itu sebagaimana mestinya.

3.   Suka menasihati dan penuh kasih sayang. Karena niat memberi nasihat dan cinta kasih akan meluruskan pemikiran dan menjernihkan pandangan.

Al-Qurthubi berkata, "Sifat seorang konsultan dalam urusan dunia adalah harus cerdas, berpengalaman, dan penuh cinta kasih kepada orang yang meminta pandangannya."

4.   Bersih dari pikiran yang mengganggu dan masalah yang membelit. Karena orang yang sedang mengalami berbagai masalah, biasanya tidak akan berpandangan sehat.

5.   Tidak mempunyai tendensi dan kepentingan dalam masalah yang dikonsultasikan kepadanya. Karena bila pandangan dihalangi oleh hawa nafsu dan ditarik oleh berbagai kepentingan, biasanya ia akan rusak.

Rasulullah Bermusyawarah dengan Para Shahabat

Kita melihat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bermusyawarah dengan para shahabat dalam banyak persoalan. Beliau misalnya mengajak mereka bermusyawarah dalam masalah tawanan perang Badar. Abu Bakar lalu mengusulkan untuk meminta tebusan, sementara Umar memberi pandangan bahwa mereka sebaiknya dibunuh. Rasulullah kemudian cenderung kepada pendapat Abu Bakar.

Rasulullah juga meminta pandangan para shahabat dalam masalah keluar untuk perang Badar. Lalu mereka pun memberi pandangan yang menyenangkan hati beliau. Sebagaimana sebagian dari shahabat juga memberi pandangan agar mengambil tempat yang dekat dari sumur-sumur Badar sekaligus menghalangi kaum musyrikin untuk mendapatkan air. Dan ini kemudian memberi pengaruh paling besar terhadap hasil pertempuran.

Rasulullah bermusyawarah juga dengan para shahabat sebelum perang Uhud, dan beliau mengikuti pendapat mereka meskipun berlainan dengan pendapat beliau sendiri. Dalam perang Ahzab, beliau juga bermusyawarah dengan para shahabat. Dan salah satu berkah musyawarah itu terlihat ketika Allah memberi petunjuk kepada Salman Al-Farisi agar menyarankan untuk menggali parit.

Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah meminta pandangan kepada istri beliau, Ummu Salamah—Semoga Allah meridhainya, dan Ummu Salamah pun menyarankan kepada beliau usulan yang baik bagi kaum muslimin.

Para Khalifah Bermusyawarah

Para Khulafâ'urrasyidîn juga mengikuti jejak Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Mereka tidak mau otoriter mempertahankan pendapat. Mereka bermusyawarah dengan para ulama, orang-orang  bertakwa, dan para ahli yang pengalaman. Abu Bakar misalnya, jika datang kepadanya suatu perkara, ia melihat solusinya di dalam Al-Quran. Jika ia menemukan di sana sandaran untuk membuat keputusan, ia pun membuat keputusan dengan itu. Jika ia mengetahui ada Sunnah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang terkait dengan itu, ia pun memberi keputusan dengannya. Jika tidak mengetahuinya, ia bertanya kepada kaum muslimin tentang Sunnah. Jika itu tidak memungkinkan, ia mengundang para pemuka masyarakat dan alim ulama untuk mengajak mereka bermusyawarah.

Umar pun demikian, selalu bermusyawarah dengan para shahabat. Kisah musyawarahnya dengan kaum muslimin ketika ia berangkat ke Syam saat di sana terjadi wabah penyakit sudah demikian masyhur kita dengar. Demikian pula yang dilakukan oleh Utsman dan Ali—Semoga Allah meridhai mereka semua.

Dapatkah Anda mengambil teladan dari mereka? Tidakkah Anda ingin mendapatkan petunjuk melalui pendapat dan nasihat orang-orang yang pandai lagi bertakwa, sehingga itu menjadi penguat keputusan sekaligus jalan hidayah bagi Anda?!

 

 

 

 

Artikel Terkait

Keutamaan Haji