Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Zakat

HUKUM-HUKUM ZAKAT FITRAH

HUKUM-HUKUM ZAKAT FITRAH

Oleh: Husein Al-`Ubaidi

Zakat Fitrah

Zakat Fitrah adalah zakat yang disebabkan oleh fithr (berbuka/selesai) dari puasa Ramadhân. Disebut Zakat Fithr/Fitrah, karena ia wajib ditunaikan setelah berbuka/selesai dari puasa Ramadhân. Ia merupakan sedekah badan (fisik) dan jiwa. Jadi, ia masuk ke dalam kategori zakat fisik, bukan zakat harta.

Adapun hukumnya, Zakat Fitrah adalah wajib, bahkan ia termasuk salah satu amalan fardhu, dan ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama, baik yang terdahulu maupun generasi kemudian, di antaranya adalah para Imam Mazhab yang Empat. Dalil atas fardhunya Zakat Fitrah ini terambil dari Al-Quran, Sunnah, dan Ijmak.

Dalil dari Al-Quran adalah keumuman ayat-ayat yang memerintahkan untuk menunaikan zakat. Zakat Fitrah termasuk ke dalam keumuman firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan tunaikanlah zakat." [QS. Al-Baqarah: 43]. Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—menerangkan rincian zakat itu, yang di antaranya adalah Zakat Fitrah.

Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga berfirman (yang artinya): "Sungguh beruntung orang yang membersihkan diri, dan ia ingat nama Tuhannya, lalu ia menunaikan shalat." [QS. Al-A`lâ: 14-15]

Diriwayatkan dari banyak ulama terdahulu bahwa ayat ini turun mengenai Zakat Fitrah dan Shalat `Id. Bahkan ada riwayat yang marfû` (sampai) ke Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam. Umar ibnu Abdul Aziz—Semoga Allah merahmatinya—dahulu juga menyuruh orang-orang untuk mengeluarkan Zakat Fitrah dan membaca ayat ini

Pendapat ini juga diriwayatkan dari Abu Sa`îd Al-Khudri, Ibnu Umar, Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhai mereka, dan para ulama terdahulu selain mereka. Ayat ini mengandung penetapan keberuntungan bagi orang yang menunaikan zakat. [Sunan Al-Baihaqi]

Sementara itu, dalil dari Sunnah adalah hadits shahîh yang diriwayatkan dari Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—memfardhukan Zakat Fitrah sebanyak satu shâ` kurma kering, atau satu shâ` gandum, atas semua umat Islam, baik hamba sahaya maupun orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, baik anak-anak maupun dewasa. Beliau memerintahkan untuk menunaikannya sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat `Id." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan juga hadits dari Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya—ini dengan redaksi: "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—memerintahkan untuk menunaikan Zakat Fitrah sebanyak satu shâ` kurma kering, atau satu shâ` gandum." [HR. Muslim]. Ini juga menunjukkan hukum wajib dan fardhunya Zakat Fitrah, karena adanya perintah untuk menunaikannya.

Oleh karena itu, Imam Al-Bukhâri menyebutkan dalam kitab Shahîh-nya: "Bab Fardhunya Zakat Fitrah. Abul `Âliyah, `Athâ', dan Ibnu Sirîn berpendapat bahwa Zakat Fitrah setelah Ramadhân adalah fardhu." [HR. Al-Bukhâri]

Selain itu, para ulama telah berijmak (sepakat) atas fardhu dan wajibnya Zakat Fitrah setelah Ramadhân. Maksud dari kata fardhu adalah lebih wajib dan lebih mengikat. Ibnul Mundzir dan ulama lain telah menukilkan adanya ijmak ulama tentang hal itu.

Waktu Wajibnya

Zakat Fitrah diwajibkan ketika matahari terbenam pada malam Hari Raya Idul Fitri. Karena awal waktu selesai dari keseluruhan bulan Ramadhân adalah ketika tenggelamnya matahari pada malam Idul Fitri. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya: "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—memfardhukan Sedekah Fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan kotor, serta sebagai makanan untuk orang-orang miskin." [HR. Abû Dâwûd dan Ibnu Mâjah; Menurut Al-Albâni: shahîh]. Penambahan kata "Sedekah" kepada kata "Fitrah" menjadikan sekedah itu wajib, karena penambahan menunjukkan adanya kekhususan tertentu. Dan awal waktu selesainya kewajiban puasa Ramadhân secara keseluruhan jatuh pada saat matahari terbenam di malam menjelang Idul Fitri.

Waktu Menunaikannya

Waktu yang paling utama untuk menunaikannya adalah para hari Idul Fitri sebelum pelaksanaan shalat `Id, berdasarkan perkataan Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya: "Sesungguhnya Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—memerintahkan untuk menunaikan Zakat Fitrah sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat `Id." [HR. Al-Bukhâri]

Hadits ini menunjukkan bahwa maksud dari hari Idul Fitri itu adalah awal hari tersebut, yaitu antara shalat Subuh dan shalat `Id. Tetapi Zakat Fitrah boleh dibayarkan sehari atau dua hari sebelumnya, berdasarkan perkataan Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya: "Mereka (para shahabat) menunaikan Zakat Fitrah sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri." [HR. Al-Bukhâri]

Tidak sah membayar Zakat Fitrah lebih dari dua hari sebelum Idul Fitri, menurut pendapat yang benar, karena hal itu akan melewatkan manfaat 'memenuhi kebutuhan orang miskin' yang diperintahkan dalam sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam: "Cukupkanlah mereka (orang-orang miskin) dari meminta–minta pada hari ini (Idul Fitri)."

Sebagaimana juga tidak boleh menundanya sampai setelah hari Idul Fitri. Orang yang menundanya dihukum berdosa, karena ini adalah zakat, dan orang yang menunda pembayaran zakat adalah berdosa, sebagaimana orang yang menunda shalat dari waktunya.

Adapun menundanya hingga setelah shalat `Id, yaitu mengeluarkan Zakat Fitrah setelah ditunaikannya shalat Hari Raya Idul Fitri adalah makruh karena tidak sejalan dengan perintah Rasulullah untuk membayarkannya sebelum berangkat menuju tempat shalat `Id. Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa perbuatan ini haram, berdasarkan sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam, "Barang siapa yang menunaikannya setelah shalat (`Id) maka itu hanya menjadi salah satu jenis sedekah (biasa)." [HR. Abû Dâwûd dan Ibnu Mâjah]. Maksudnya, sama dengan sedekah yang biasa dikeluarkan di waktu-waktu lain. Adapun diterima atau tidaknya, tergantung kepada kehendak Allah—Subhânahu wata`âlâ. Tetapi makna tekstual hadits ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengeluarkan Zakat Fitrah kecuali setelah shalat `Id adalah sama dengan orang yang tidak mengeluarkannya sama sekali. Keduanya sama–sama meninggalkan sedekah yang wajib ini.

Asy-Syaukâni berkata, "Jumhur ulama berpendapat bahwa mengeluarkan Zakat Fitrah sebelum shalat `Id adalah mustahab/sunnah saja, dan mereka menegaskan bahwa Zakat Fitrah boleh dikeluarkan sampai penghujung hari `Id. Dan hadits di atas membantah pendapat mereka." [Nailul Authâr]

Adapun orang yang menunda pembayaran Zakat Fitrah sehingga lewat hari Idul Fithri adalah berdosa karena telah menunda pelaksanaan kewajiban dari waktu seharusnya. Karena itu, ia harus meng-qadhâ' (mengganti)-nya, karena Zakat Fitrah adalah sebuah ibadah, dan ia tidak gugur hanya karena terlewatkan waktunya, sama halnya dengan ibadah shalat.

Adapun menunaikan Zakat Fitrah dalam bentuk uang, ini adalah hal yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Sebabnya adalah karena jenis benda yang harus dikeluarkan dalam Zakat Fitrah adalah makanan. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat apakah yang harus dibayarkan itu apakah hanya makanan jenis tertentu seperti tercantum di dalam hadits, yaitu: "Biji gandum, jelai, kismis, dan susu kering", ataukah boleh berbentuk semua biji-bijian dan buah-buahan yang menjadi makanan pokok sebagian besar penduduk setempat, dan yang terakhir ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Jika kita perhatikan secara seksama nas-nas yang menyebutkan jenis benda yang dibayarkan untuk Zakat Fitrah ini, kita akan menemukan bahwa semua berbicara tentang makanan dan bahan-bahan makanan yang biasa disimpan. Demikan pula nas-nas yang berbicara tentang memenuhi kebutuhan orang-orang miskin agar tidak berkeliling meminta-minta pada hari Idul Fitri, di sana disebutkan bahwa Zakat Fitrah adalah 'memberi makan' orang-orang miskin. Dari sinilah, para ulama berbeda pendapat tentang hukum membayar Zakat Fitrah dalam bentuk uang. Jumhur ulama, di antaranya Tiga Imam Mazhab, berpendapat bahwa itu tidak dibolehkan, karena tidak sejalan dengan sunnah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam, sebab beliau telah memfardhukan satu shâ` kurma kering, atau gandum, atau jelai untuk zakat ini. Oleh karena itu, ketika ditanya tentang kebolehan membayarkan uang dirham untuk Zakat Fitrah, Imam Ahmad—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Aku takut itu tidak sah, karena tidak sejalan dengan sunnah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam." [Al-Mughni, Ibnu Qudâmah]

An-Nawawi—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Mayoritas ulama tidak membolehkan mengeluarkan zakat dalam bentuk uang, sementara Abu Hanifah membolehkannya." [Syarh Shahîh Muslim]

Oleh karena itu, yang wajib adalah mengeluarkan Zakat Fitrah dalam bentuk makanan pokok mayoritas penduduk setempat, walaupun tidak termasuk jenis yang disebutkan di dalam hadits.

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—ketika menyebutkan lima jenis makanan yang tercantum dalam hadits tersebut, berkata, "Makanan-makanan ini adalah mayoritas makanan pokok mereka yang ada di Madinah ketika itu. Adapun jika penduduk setempat atau makanan pokok mereka selain jenis-jenis yang disebutkan ini, maka mereka wajib mengeluarkan satu shâ` makanan pokok mereka selain jenis biji-bijian. Mereka wajib mengeluarkan zakat berupa makanan pokok mereka, apapun jenisnya. Inilah pendapat jumhur ulama, dan inilah pendapat yang benar, tidak ada pendapat lain yang menandinginya. Karena maksud dari Zakat Fitrah adalah menutupi kebutuhan orang-orang miskin pada hari Idul Fitri dan mengobati hati mereka dengan jenis makanan yang menjadi makanan pokok penduduk setempat." [I`lâmul Muwaqqi`în, Ibnul Qayyim]

Oleh karenanya, seorang muslim harus berhati-hati dalam menjalankan Agama dan ibadahnya, sehingga benar-benar mengikuti sunnah yang shahîh dan jelas, tanpa berpindah kepada ijtihad dan istihsân.

Kita berdoa semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang paham tentang Agama kita, sekaligus menerima amal-amal kebaikan kita, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—Mahatahu dan Mahabijaksana.

Alhamdulillâhi Rabbil `âlamîn.

Artikel Terkait

Keutamaan Haji