Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Tempat&peristiwa

Ka`bah dan Tempat-tempat yang Suci

Ka`bah dan Tempat-tempat yang Suci

 

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam.

Allah—`Azza wajalla—berfirman (yang artinya):

·         "Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia adalah Baitullah yang ada di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) niscaya akan aman. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." [QS. Âli `Imrân: 96-97];

·         "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), 'Wahai Tuhan kami, terimalah (amal) kami. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui'." [QS. Al-Baqarah: 127]

Ibnu Katsîr—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Allah—Subhânahu wata`âlâ—menceritakan tentang hamba, rasul, pilihan, sekaligus kekasih-Nya, imam para pemeluk Agama tauhid dan bapak para nabi, Ibrahim—`Alaihis salâm, bahwa ia telah membangun rumah tua (Baitullah) yang merupakan mesjid pertama yang dibangun untuk manusia secara umum, di mana mereka bisa menyembah Allah di sana. Allah juga telah menunjukkan tempat Baitullah itu kepada Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm. Yakni, membimbingnya ke tempat yang disediakan untuk Baitullah dan telah ditentukan untuk itu sejak Allah menciptakan langit dan bumi, sebagaimana jelas dinyatakan di dalam kitab Shahîh Al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, 'Bahwa negeri ini—yakni Mekah—Allah sucikan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Karenanya, negeri ini menjadi suci dengan kesucian Allah sampai hari Kiamat." Tidak ada disebutkan dalam hadits yang shahîh dari Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bahwa Baitullah sudah dibangun sebelum (masa) Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm. Sementara dalil orang yang mengatakan itu dengan berpegang pada firman Allah (yang artinya): 'Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah." [QS. Al-Hajj: 26], tidaklah kuat dan tidak jelas. Karena maksudnya adalah tempat Baitullah yang sudah diperkirakan dalam ilmu Allah, ditetapkan dalam kuasa-Nya, serta diagungkan tempatnya oleh para nabi sejak zaman Nabi Adam sampai zaman Nabi Ibrahim." [Al-Bidâyah wan Nihâyah, (1/53)]

Kemudian Ibnu Katsir—Semoga Allah merahmatinya—menetapkan apa yang sudah menjadi ketetapan para ulama sebelumnya, bahwa kisah-kisah Israiliyat (riwayat-riwayat dari Ahlul Kitab) tidak bisa dibenarkan, tidak pula didustakan, dan juga tidak bisa dijadikan hujjah dengan sendirinya.

Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—membangun mesjid paling mulia di tempat yang paling mulia, di lembah tanpa tanaman. Ia lalu mendoakan keberkahan untuk keluarganya, agar mereka dikarunia rezeki buah-buahan, meskipun berada di tempat tandus dengan sedikit air sedikit, tanpa pepohonan, tanpa timbuh-tumbuhan, dan tanpa buah-buahan. Ia berdoa pula agar Allah menjadikan tempat itu sebagai lokasi yang suci lagi aman. Selain itu, Inrahim juga meminta kepada Allah agar di tempat itu Allah mengutus rasul dari kalangan mereka sendiri, yakni dari ras mereka dan dengan bahasa mereka. Allah pun mengijabah doa itu dan mengabulkan semua permohonannya.

Oleh karena Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—adalah orang yang membangun Ka`bah untuk penduduk bumi, maka pantas jika kedudukan, tempat, dan posisinya adalah di tempat yang terhormat di langit, serta meraih derajat yang tinggi di sisi Baitul Makmur yang merupakan Ka`bah penduduk langit ketujuh, sebagaimana dinyatakan dalam hadits tentang Isra` Mi'raj.

Ketika membangun Ka`bah, Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—meletakkan Hajar Aswad di tempatnya sekarang ini. Dan telah dijelaskan dalam riwayat yang shahîh bahwa Hajar Aswad diturunkan dari Surga. Ketika turun, Hajar Aswad berwarna lebih putih daripada salju, tapi kemudian dosa-dosa kaum musyrikin membuatnya hitam legam. Al-Muhibb Ath-Thabari berkata, "Tetap hitamnya Hajar Aswad mengandung pelajaran bagi orang yang memiliki mata hati. Karena sesungguhnya jika dosa-dosa bisa memberi efek pada batu yang keras, berarti efeknya pada hati lebih dahsyat lagi."

Adapun Maqam Ibrahim yang Allah sebutkan dalam Al-Quran, adalah batu tempat dahulu Nabi Ibrahim berdiri ketika bangunan Ka`bah telah mencapai ketinggian postur tubuhnya. Nabi Ismail—`Alaihis salâm—meletakkan batu yang masyhur itu untuk Nabi Ibrahim, agar ia menjadi lebih tinggi di atas batu itu ketika bangunan (Ka`bah) sudah semakin tinggi. Dahulu, batu itu melekat dengan dinding Ka`bah. Kemudian dipindahkan sedikit dari posisinya semula ke tempatnya sekarang ini.

Selama jangka waktu yang panjang, Ka`bah terus berada dalam kondisi sebagaimana dahulu dibangun oleh Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm. Kemudian kaum Quraisy—yang dahulu sangat mengagungkan Ka`bah—membangunnya kembali pada zaman Jahiliah. Namun mereka tidak membangunnya di atas pondasi Nabi Ibrahim. Mereka mengeluarkan Hijir Ismail dari Ka`bah, sebagaimana hal tersebut diberitahukan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam hadits riwayat 'Aisyah, dalam Shahîh Al-Bukhari dan Muslim. Inilah rahasia yang menyebabkan tidak sahnya thawaf orang yang melakukan thawaf dari dalam Hijir Ismail. Karena sejatinya, Hijir Ismail adalah bagian dari Ka`bah. Demikian juga, tidak boleh melakukan shalat fardhu di Hijir Ismail. Namun untuk shalat sunnah, ada perbedaan pendapat. Ini karena orang yang shalat di Hijir Ismail tidak bisa menghadap ke seluruh Ka`bah.

Kiswah Ka`bah

Imam Al-Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Shahîh-nya, pada bagian Kitab Haji, dengan menulis: "Bab Kiswah Ka`bah". Kemudian ia menyebutkan sebuah hadits terkait hal ini. Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Baththâl, "Sesungguhnya para raja di setiap masa saling membanggakan diri dengan Kiswah Ka`bah dengan tingginya kualitas kain yang merupakan tenun dari emas dan lain-lain. Sebagaimana mereka juga saling membanggakan diri dengan mendermakan harta untuk Ka`bah, yakni menjadikan harta tersebut sebagai derma fî sabîlillâh dan wakaf untuk Ka`bah."

Kemudian Al-Hâfizh Ibnu Hajar di dalam kitab "Fathul Bârî" juz 3 hal. 536, secara panjang lebar menceritakan tentang awal mula Kiswah Baitullah. Menurutnya, ada tiga pendapat mengenai orang yang pertama kali memasang kain penutup (Kiswah) pada Ka`bah secara mutlak, yaitu: Ismail, Adnan, dan Taba`a. Nabi Ismail—`Alaihis salâm—adalah orang yang pertama kali memakaikan Kiswah pada Ka`bah secara mutlak. Sedangkan Taba`a adalah orang yang memakaikan selubung permadani dari kulit dan benang pada Ka`bah. Adapun Adnan, adalah orang yang pertama kali memakaikan kain penutup pada Ka`bah setelah Ismail.

Tentang orang yang pertama kali memasangkan Kiswah dari brokat (kain sutra yang bersulam benang emas atau perak), Ibnu Hajar menyebutkan enam nama: Khalid, Natîlah, Mu`awiyah, Yazid, Ibnu Az-Zubair, atau Al-Hajjâj. Kemudian Ibnu Hajar menggabungkan keenam pendapat tersebut dan menghilangkan kontradiksinya. Ia berkata, "Kiswah Khalid dan Natîlah tidak mencakup seluruh Ka`bah. Hanya saja Kiswah yang ia pasangkan ke Ka`bah itu mengandung sedikit brokat. Adapun Mu`awiyah, barangkali memberikan kain penutup Ka`bah itu di akhir masa kekhalifahannya. Sehingga itu bertepatan dengan masa kekhalifahan putranya, Yazid. Sedangkan Ibnu Az-Zubair, sepertinya memakaikan Kiswah brokat tersebut ke Ka`bah setelah pembaruan bangunan Ka`bah. Sehingga sifat kepertamaannya adalah dengan menimbang hal itu (pertama setelah pembaruan). Tetapi ia tidak berketerusan menutupi Ka`bah dengan Kiswah dari brokat. Ketika Al-Hajjâj memakaikan Kiswah dari brokat ke Ka`bah atas perintah Abdul Malik, hal itu terus berlangsung, sehingga seolah-olah ia adalah orang yang secara rutin memasangkan Kiswah dari brokat ke Ka`bah setiap tahun. Al-Fâkihi menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menyelubungi Ka`bah dengan brokat putih adalah Al-Makmun ibnu Ar-Rasyid. Muhammad ibnu Sabaktakîn memakaikan brokat kuning. Sementara An-Nâshir Al-`Abbâs menutupi Ka`bah dengan brokat hijau. Kemudian ia menutupinya dengan brokat hitam, dan berlangsung terus sampai sekarang."

Air Zam-zam

Imam Al-Bukhâri meriwayatkan di dalam kitab Shahîh-nya dengan sanad yang bersambung kepada Anas ibnu Malik—Semoga Allah meridhainya, bahwa Anas berkata, "Abu Dzar—Semoga Allah meridhainya—pernah menceritakan bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Atap rumahku pernah dibuka ketika aku di Mekah. Lalu Jibril turun dan membelah dadaku, kemudian mencucinya dengan air zam-zam. Kemudian ia datang membawa sebuah bejana dari emas yang penuh dengan hikmah dan keimanan, lalu menuangkannya ke dalam dadaku, kemudian menutupnya kembali. Selanjutnya ia menggandeng tanganku dan membawaku naik ke langit dunia. Ketika sampai di langit dunia, Jibril berkata kepada penjaga langit dunia, 'Bukalah'. Ia (penjaga langit) bertanya, 'Siapakah ini?' Jibril menjawab, 'Ini Jibril'." [HR. Al-Bukhâri]

Tentang keutamaan air Zam-zam juga telah ditetapkan melalui hadits shahîh yang diriwayat dari Abu Dzar: "Sesungguhnya ia (Zam-zam) adalah makanan yang mengenyangkan." [HR. Muslim]. Dan dalam riwayat Abu Dâwûd Ath-Thayâlisi disebutkan: "Dan obat penyakit."

Adapun hadits yang berbunyi: "Air Zam-zam itu tergantung (niat) orang yang meminumnya." Al-Hâfidz berkomentar, "Ulama berbeda pandapat, apakah hadits ini mursal (terputus sanadnya) atau maushûl (bersambung sanadnya). Pendapat yang mengatakan hadits ini mursal lebih kuat."

Air ini dinamakan Zam-zam karena jumlahnya yang banyak. Ada juga yang menyebut bahwa ia dinamakan demikian karena berkumpulnya. Karena kumpulan manusia sekitar lima puluh orang disebut "zamzamah" menurut pendapat sebagian pakar bahasa Arab. Sementara itu, Al-Fâkihi dalam kitab "Akhbâr Makkah" menyebutkan perkataan Mujâhid: "Ia dinamakan Zam-zam karena berasal dari kata 'hazmah' yang artinya menyentuh tanah dengan tumit, sebagaimana yang dilakukan Jibril—`Alaihis salâm—ketika munculnya air Zam-zam." Ada juga yang berpendapat bahwa ia dinamakan Zam-zam karena gerakannya, atau karena ia dibatasi agar tidak mengalir/menyebar ke kanan dan ke kiri.

Sementara hari Tarwiyah dinamakan demikian karena orang-orang menghilangkan dahaga dengan air di hari itu. Ada juga yang berkata: "(Dinamakan Tarwiyah), karena orang-orang berbekal dengan air pada hari itu ketika menuju Arafah, dan saat itu tidak ada air di sana."

Adapun Arafah, penamaannya disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Fâkihi dengan sanad yang shahîh kepada Abu Mijlaz—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Jibril dan Nabi Ibrahim—`Alaihimâs salâm—bertolak menuju Arafah. Lalu Jibril berkata, '`Arafta? (Apakah engkau mengetahui)'. Ibrahim menjawab, 'Ya, aku mengetahui'. Oleh sebab itulah tempat itu dinamakan Arafah."

`Athâ'—Semoga Allah meridhainya—juga berkata, "Sesungguhnya tempat itu dinamakan Arafah karena Jibril—`Alaihis salâm—pernah memperlihatkan kepada Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—tata cara haji, kemudian ia berkata, 'Apakah engkau telah mengetahui? ('arafta?)' Ibrahim menjawab, 'Aku telah mengetahui'. Lalu dinamakanlah tempat itu dengan Arafah."

Sementara itu, Muzdalifah dinamakan demikian karena orang-orang berangkat dari sana (ke Mina), dan tidak tinggal di sana satu hari penuh.

Dan hari Tasyrîq dinamakan demikian karena pada saat itu jemaah haji berjemur di Mina tanpa rumah dan bangunan dalam prosesi ibadah haji. Atau karena mereka menjemur ikan/daging kering pada hari-hari itu. Wallâhu a`lam.

Semoga shalawat, salam, dan keberkahan semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.

 

Artikel Terkait

Keutamaan Haji