Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Hukum Puasa

Jima' (Berhubungan Intim) di Siang Hari Bulan Ramadhan

Jima

Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, "Ketika kami sedang duduk bersama Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki sambil berkata, 'Wahai Rasulullah, celakalah saya!' Beliau bertanya, 'Ada apa denganmu?' Ia menjawab, 'Saya menggauli istri saya dalam keadaan puasa.' Lalu Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Apakah engkau mempunyai hamba sahaya yang bisa engkau merdekakan?' Ia menjawab, 'Tidak.' Rasulullah bertanya kembali, 'Apakah engkau bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?' Ia menjawab, 'Tidak.' Rasulullah bertanya lagi, 'Apakah engkau mempunyai makanan untuk memberi makan 60 orang miskin?' Ia menjawab, 'Tidak.' Abu Hurairah berkata, "Lalu Nabi pergi sebentar. Ketika kami dalam keadaan seperti itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—datang dengan membawa sekeranjang kurma, lalu beliau bersabda, "Mana orang yang bertanya tadi?' Laki-laki itu, 'Saya!' Lalu Nabi bersabda, 'Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!' orang itu berkata, 'Apakah ada yang lebih miskin dari saya wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada seorangpun di antara kedua bukit (yang mengelilingi) Madinah ini yang lebih miskin dari keluarga saya.' Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pun tersenyum hingga tampak gigi taring beliau. Lalu beliau bersabda, 'Ambillah dan beri makanlah keluargamu dengannya." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Kandungan dan Hukum

Pertama: Suami yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan tanpa udzur seperti safar, lupa dan terpaksa, maka ia telah bermaksiat kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ. Ia wajib bertobat, disertai tetap menjaga sisa hari puasanya. Puasanya hari itu batal dan ia wajib membayar kaffârah.[1]

Kedua: Kaffârah ini harus berurutan. Mulai dari membebaskan budak, kalau tidak ada, maka berpuasa dua bulan berturut-turut, dan kalau tidak mampu, memberimakan 60 orang fakir miskin.

Ketiga: Dalam hadits ini, dibolehkan bagi seorang laki-laki memberitahukan apa yang terjadi pada keluarganya, karena suatu kebutuhan.[2]

Keempat: Seorang yang meminta fatwa tentang hukum maksiat yang ia lakukan tidak tergolong ke dalam mujâharah (tindakan menampakkan) kemaksiatan.[3]

Kelima: Berlemah lembut kepada orang yang belajar, kasih sayang dalam mengajar, menarik hati orang kepada Agama, penyesalan terhadap maksiat dan merasakan rasa takut kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ.[4]

Keenam: Boleh memberikan kaffârah kepada keluarga satu rumah.[5]

Ketujuh: Semangat para shahabat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—untuk mensucikan hati mereka dan membebaskannya dari sebab-sebab yang dapat mendatangkan azab.[6]

Kedelapan: Boleh makan dari makanan pembayaran kaffârah bagi orang yang wajib mengeluarkannya, apabila ia adalah orang miskin, dan dibolehkan juga menginfakkannya kepada keluarganya.[7]

Kesembilan: Nafkah diwajibkan kepada suami walaupun ia adalah orang yang susah. Imam Al-Bukhâri—Semoga Allah merahmatinya—memberi judul terhadap hadits ini dengan mengatakan, "Bab nafkah orang yang kesulitan terhadap keluarganya".[8]

Kesepuluh: Kaffârah yang berat ini khusus bagi mereka yang batal puasanya karena jima' (menggauli istrinya), bukan bagi mereka yang batal puasanya dengan makan atau minum. Dan inilah yang difatwakan (oleh kami).[9]

Kesebelas: Kebahagiaan sorang imam dengan menyelesaikan keperluan duniawi dan ukhrawi rakyatnya.[10]

Keduabelas: Dibolehkan bagi seseorang untuk mengeluhkan kondisinya kepada orang yang mampu menolongnya dalam musibahnya, jika dilakukan tidak dengan kebencian.

Ketigabelas: Apabila seseorang menggauli istrinya dua kali atau lebih dalam sehari pada bulan Ramadhan, maka ia hanya wajib membayar satu kaffârah, tanpa perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.[11]

Keempatbelas: Apabila ia menggauli istrinya pada dua hari atau lebih bulan Ramadhan, maka ia harus membayar satu kaffârah untuk setiap hari.[12]

Kelimabelas: Apabila seseorang berjimak ketika sedang meng-qadhâ' puasa Ramadhan, maka puasanya batal dan ia harus meng-qadhâ'nya lagi tanpa membayar kaffârah. Sebab kaffârah diwajibkan karena melanggar kehormatan bulan Ramadhan, menurut pendapat yang shahih, berbeda dengan qadhâ'.[13]

Keenambelas: Jika fajar terbit sementara ia sedang menggauli istrinya, kemudian ia langsung menarik zakar (penis-nya), maka ia tidak wajib membayar kaffârah. Kalau ia melanjutkannya, maka ia berdosa, wajib bertobat, membayar kaffârah dan tetap menghindari makan dan minum pada hari itu.[14]

Ketujuhbelas: Barang siapa yang berbuka (membatalkan puasanya) dengan minum atau makan dengan tujuan ingin menggauli istrinya, maka ia berdosa karena membatalkan puasanya tanpa ada udzur, dan caranya menyiasati Syariat ini tidak menggugurkan kewajibannya membayar kaffârah.[15]

Kedelapanbelas: Toleransi dan sifat keringanan syariat Agama ini. Hal ini tampak pada orang yang melakukan dosa besar di bulan Ramadhan, kemudian ia datang dengan menghadap Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—sambil ketakutan. Ia berkata, "Celakalah saya". Dalam riwayat lain ia berkata, "Saya tidak melihat diri saya melainkan celaka". Hal ini menunjukkan penyesalan dan tobatnya sehingga Allah memberinya tobat. Kemudain Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memberikan kepadanya harta yang dengannya ia membayar kaffârah, lalu ia menginfakkan harta itu kepada keluarganya karena kemiskinan mereka, oleh karena itu Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tersenyum.[16]

Kesembilanbelas: Jika seseorang tidak tahu bahwa bulan Ramadhan telah masuk, lalu ia menggauli istrinya, maka pendapat yang benar dalam hal ini adalah ia tidak berkewajiban membayar kaffârah.[17]

Keduapuluh: Jika ia menggauli istrinya karena lupa, maka puasanya sah, tidak ada kaffârah baginya dan tidak ada kewajiban meng-qadha'.[18]

 

 



[1] kitab Fatwa  Rukun-Rukun Islam Ibnu Utsaimin (474) dan kitab Syarh Al-Mumti` (401/6). Mayoritas Ulama berpendapat ia harus mang-qadha’. Lihat kitab Al-Mufhim (172/3). Dalam hal ini terdapat riwayat Abu Dâwûd (2287), Mâlik (297/6) dan Ad-Dârquthni (190/2), bahwa beliau menyuruhnya berpuasa, tetapi riwayat ini cacat. Riwayat lain dalam sunan Abu Dâwûd (2393) yang menyebutkan bahwa harus qadhâ’  adalah riwayat syâdzdzah (aneh), karena  44 rawi. Lihat juga kitab Tahdzîbus Sunan karya Ibnul Qayyim (19-18/7). Pendapat kedua: tidak perlu meng-qadhâ’. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam dan berkata, “Kalau seandainya Rasulullah memerintahkan hal itu, niscaya para shahabat tidak akan menyepelekan hal ini karena hal ini merupakan hukum syariat yang wajib diterangkan. Ketika Rasulullah tidak memerintahkan untuk meng-qadhâ’, hal ini menunjukkan bahwa hal itu tidak diterima darinya.” (kitab  Haqîqatush Shiyâm: 25-26).

[2] Ibnu Hajar, Fathul Bâri (173/4)

[3]  Syarh Ibnul Mulaqqin `Alal `Umdah (215/5)

[4]  Fathul Bâri (173/4)

[5]  Ibid (174/4)

[6]  Blûgul Marâm Syarah Al-Faryâbi (426/1)

[7]  Ibid.

[8]  Shahih Al-Bukhari (2053/5). Lihat juga Syarh Ibnul Mulaqqin terhadap Al-`Umdah (254/5).

[9] Berbeda dengan pendapat mazhab Hanafi dan Maliki yang mengatakan bahwa orang yang berbuka dengan makan atau minum juga diharuskan membayar kaffârah. Lihat kitab Al-Mufhim (173/3). Pendapat lain menyebutkan bahwa kaffârah tidak wajib menurut mazhab Syafi`i dan Hanbali, berdasarkan zahir nas di atas. Dan karena hukum asal adalah keterbebasan seseorang dari hal-hal yang mewajibkan kaffârah, sampai ada dalil jelas yang mewajibkannya. Lihat Fatâwa Al-Lajnah Ad-DSâ’imah (9393).   

[10]  Bulûgul Marâm Syarah Al-Faryâbi (426/1).

[11]  Al-Majmû` (349/6), dan Al-Asybâh wan Nazhâ’ir karya As-Suyûthi (127).

[12]  Al-Mugni (386/4) dan Al-Majmu` (348/6). Pendapat ini difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Dâ’imah dengan no. fatwa (13548), dan Ibnu `Utsaimin dalam kitab Fikih Ibadah (198). Syaikh Ibnu Jabrîn memfatwakan, apabila seseorang melakukan jima` pada dua hari dan belum membayar kaffârah untuk sehari pun, maka ia hanya wajib membayar kaffârah untuk sehari”, kitab Ash-Shiyâm, hal. 70.

[13] Lihat Al-Umm (100/2), Tafsir Al-Qurthubi (284/2) dan Al-Mugni, Ibnu Qudâmah meriwayatkannya dari mayoritas Ulama selain Qatâdah (378/4), dengan ini pula Al-Lajnah Ad-Dâ’imah berfatwa (13475).

[14]  Lihat Al-Majmû` (316/6), Raudhah Ath-Thâlibîn (365/2). Dalam kitab Al-Mugni (379/4) dan Kasyful Qina` (325/2) bahwa ia berbuka, karena ia tidak merasakan kenikmatan dengan menarik dzakarnya sebagaimana nikmatnya memasukkan. Al-Baihaqi dalam kitan Sunannya (219/4) meriwayatkan dari Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, “Jika azan dikumandangkan sementara seorang suami sedang berada di atas istrinya, hal itu tidak mencegahnya untuk berpuasa. Jika ia ingin berpuasa, hendaknya ia berhenti, mandi wajib dan menyempurnakan puasanya.” Dan pendapat inilah yang benar insyaallah.

[15]  Lihat Majmû` Fatâwâ Ibnu Taimiyah (260/25) dan I`lâmul Muwaqqi`în (247/3)

[16]  Lihat Minhatul Bâri (379/4) dan Fathul Bari (171/4)

[17] Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalan Fatâwâ (228/25) dan Ibnu Ibrâhîm dalam fatwanya (195/4)

[18] Lihat Al-Umm (99/2), Al-Istidzkâr (111/10), Al-Mufhim (169/3) dan Syarh Ibnu Mulaqqin terhadap Al-`Umdah (217/5).

Artikel Terkait

Keutamaan Haji