Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Tokoh Islam

Syarîk ibnu Abdillah

Syarîk ibnu Abdillah

"Hukum, keadilan, kezaliman, hak manusia, hak Allah." Itulah kata-kata yang diulang-ulang oleh Syarik did alam hatinya ketika Khalifah menawarkan kepadanya jabatan sebagai hakim di kota Kufah. Alangkah besarnya tanggung jawab itu!

Syarik ibnu Abdillah An-Nakha'i lahir di Bukhara, sebuah daerah di Republik Islam Uzbekistan sekarang, pada tahun 95 H. Ketika berusia 9 tahun, ia sudah hafal Al-Quranul Karim. Kemudian ia belajar fikih dan hadits, sehingga menjadi salah seorang penghafal hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam.

Di kota Kufah, Syarîk terkenal dengan ilmu dan kemuliaannya. Ia mengajar dan mengeluarkan fatwa untuk kaum muslimin seputar permasalahan Agama mereka. Ia tidak pernah pelit memberikan ilmunya kepada siapa pun. Ketika mengajar, ia tidak membedakan antara orang fakir dengan orang kaya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa suatu ketika, salah seorang anak Khalifah Al-Mahdi datang ke majelis ilmunya, lalu duduk dan mendengarkan pelajaran yang disampaikannya. Anak sang khalifah kemudian mengajukan pertanyaan. Tapi saat bertanya kepada Syarîk, ia bersandar ke dinding, seakan tidak menghormati majelis ilmu. Syarîk pun tidak menoleh ke arahnya. Sang pangeran lalu mengulangi pertanyaannya, namun Syarîk masih saja tidak menoleh. Orang-orang yang hadir di situ berkata kepadanya, "Engkau seperti meremehkan anak Khalifah dan tidak menghormatinya sebagaimana mestinya?" Syarîk menjawab, "Bukan demikian, tetapi ilmu lebih indah bagi pencintanya daripada kalian sia-siakan." Anak sang Khalifah pun tidak bisa berbuat apa-apa selain segera duduk di atas lututnya dan kemudian mengajukan pertanyaan. Syarîk pun berkata, "Beginilah mestinya cara menuntut ilmu."

Ketika ditawarkan menjadi hakim, pada awalnya ia menolak dan berusaha menghindari tanggung jawab yang besar ini, karena takut akan menzalimi hak orang lain. Ketika Khalifah Al-Manshûr mengundangnya dan berkata kepadanya, "Aku ingin menunjukmu sebagai hakim," Syuraik menjawab, "Bebaskanlah aku dari tanggung jawab ini, wahai Amirul Mukminin." Tapi Abu Ja'far berkata, "Aku tidak akan membebaskanmu." Ia pun kemudian terpaksa menerima jabatan sebagai hakim.

Sejak saat itu, Syarîk mulai menyelesaikan berbagai perkara dan memutuskannya dengan adil. Ia tidak takut kepada celaan siapa pun dalam menjalankan perintah Allah. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa suatu ketika, ia duduk di tempat pengadilan. Tiba-tiba, seorang wanita datang menemuinya seraya berkata, "Demi Allah, Aku telah dizalimi, wahai penolong orang-orang yang terzalimi." Syarîk pun menoleh ke arah wanita itu, seraya berkata, "Siapa yang menzalimimu?" Wanita itu berkata, "Pangeran Musa ibnu Isa, anak paman Amirul Mukminin." Syarîk bertanya, "Bagaimana kejadiannya?" Wanita itu menjawab, "Aku mempunyai sebidang kebun di pinggir sungai Eufrat. Di kebun itu, terdapat kurma dan tanaman yang aku warisi dari orang tuaku. Aku sudah membuat pagar di sekeliling kebun itu. Tiba-tiba, kemarin Pangeran Musa ibnu Isa mengutus lima orang pesuruhnya untuk membongkar pagar tersebut. Sekarang aku tidak lagi mengetahui batas antara kebunku dengan kebun-kebun miliknya."

Mendengar pengaduan itu, Qadhi Syarîk langsung menulis surat kepada pangeran Musa ibnu Isa. Isinya: "Semoga Allah senantiasa menjaga Pangeran dan menyempurnakan untuknya nikmat-Nya. Telah datang kepadaku seorang wanita yang menyatakan bahwa pangeran mencuri tanahnya kemarin. Mohon kiranya Pangeran datang ke mahkamah sekarang juga. Wassalam"

Pangeran Musa sangat marah membaca surat Syarîk. Ia kemudian memanggil kepala polisi dan berkata kepadanya, "Pergilah ke tempat Qadhi Syârîk. Sampaikanlah kepadanya kata-kataku ini: 'Subhanallâh! Aku tidak pernah melihat ada manusia yang lebih aneh dari dirimu! Bagaimana mungkin engkau mendakwa Pangeran berdasarkan pernyataan bohong seorang wanita bodoh?!'."

Kepala polisi itu berkata, "Seandainya Pangeran berkenan, mohon jangan tugaskan aku untuk hal ini. Baginda tentu tahu, Qadhi Syarîk adalah seorang yang keras." Pangeran berkata dengan penuh amarah, "Pergi saja! Jangan ragu!"

Kepala polisi itu pun keluar dari kediaman Pangeran Musa, tidak tahu akan berbuat apa. Kemudian ia berkata kepada pembantunya, "Pergi dan bawalah kasur, makanan, dan semua kebutuhan ke dalam penjara."

Kepala polisi itu lalu berangkat menemui Syarîk. Sesampai di sana, Qadhi Syarîk berkata kepadanya, "Aku meminta Pangeran sendiri yang datang ke sini. Tapi ternyata yang datang adalah engkau, untuk menyerahkan suratnya yang tidak berarti apa-apa dalam persidangan." Kemudian Syarîk memanggil para pengawalnya dan berkata kepada mereka, "Masukkan ia ke penjara!" Kepala polisi itu berkata, "Demi Allah, aku tahu bahwa engkau akan memenjarakanku. Karena itu, aku membawa apa yang aku butuhkan ke dalam penjara."

Pangeran Musa ibnu Isa lalu mengutus beberapa temannya untuk bernegosiasi dengan sang hakim. Namun Qadhi Syarîk pun memerintahkan pengawalnya memenjarakan mereka. Pangeran Musa kemudian mengetahui apa yang dilakukan oleh Qadhi Syarîk itu. Ia pun membuka pintu penjara dan mengeluarkan orang-orangnya yang ditahan di sana.

Pada keesokan harinya, Qadhi Syarîk mengetahui perbuatan Pangeran Musa tersebut. Ia berkata kepada para pembantunya, "Ambilkan barang-barangku dan antar aku ke Baghdad. Demi Allah, aku tidak pernah meminta (jabatan hakim) ini kepada anak-anak Abbas (Bani Abbasiyah). Tapi merekalah yang memaksaku untuk menerimanya. Mereka pun telah menjamin kehormatan dan kemerdekaan kami di dalamnya."

Ketika mengetahui hal itu, Pangeran Musa segera menyusul Qadhi Syarîk dan berkata kepadanya, "Wahai Abu Abdillah, apakah engkau memenjarakan teman-temanku setelah engkau memenjarakan utusanku?" Syarîk berkata, "Iya. Karena mereka telah mengikutimu dalam perkara yang tidak semestinya mereka ikuti. Penerimaan mereka untuk menjadi utusan adalah sebuah tindakan yang menghambat proses hukum, menantang keadilan, serta membantu terjadinya penindasan terhadap hak orang-orang lemah. Aku tidak akan menarik keputusanku, kecuali bila semua orang yang engkau keluarkan dari penjara itu dimasukkan kembali ke sana. Jika tidak, aku akan menghadap Amirul Mukminin dan memintanya melepaskanku dari jabatanku ini." Pangeran Musa pun merasa gentar dan segera memasukkan teman-temannya itu kembali ke dalam penjara.

Setelah Pangeran Musa bersedia datang, Qadhi Syarîk pun duduk di ruang persidangan. Wanita yang terzalimi itu dipanggi. Syarîk berkata kepadanya, "Ini orang yang engkau kadukan telah datang." Pangeran Musa berkata, "Sekarang aku telah datang. Tolong bebaskan orang-orang yang telah engkau penjarakan." Syarîk berkata, "Baiklah, sekarang permintaanmu aku penuhi."

Pangeran Musa Ibnu Isa lalu menanyakan apa yang didakwakan oleh wanita itu. Setelah mendengar pengaduannya, Pangeran Musa berkata, "Engkau benar." Qadhi Syarîk lalu berkata kepadanya, "Kalau demikian, engkau harus mengembalikan haknya yang telah engkau ambil dan membangun kembali pagarnya seperti semula." Pangeran berkata, "Aku akan melakukannya." Syarîk kemudian bertanya kepada wanita itu, "Apakah ada lagi pengaduanmu yang lain tentangnya?" Wanita itu menjawab, "Tidak ada. Semoga Allah memberkatimu dan membalasi jasamu dengan kebaikan."

Pangeran Musa berdiri dari ruangan itu sembari berkata, "Barang siapa yang mengagungkan perintah Allah niscaya Allah akan membuat para pembesar di kalangan hamba-hamba-Nya menjadi hina di hadapannya."

Qadhi Syarîk meninggal dunia pada tahun 177 H.

[Sumber: Ensikopedia Keluarga Muslim]

 

 

Artikel Terkait