Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Ulama

Ibnu Hazm Al-Andalusi

Ibnu Hazm Al-Andalusi

"Cita-citaku di dunia adalah menyebarkan ilmu di seluruh pelosok negeri, berdakwah kepada Al-Quran dan Sunnah yang sering dilupakan dalam berbagai perbincangan." [Ibnu Hazm]

Cita-citamu telah terwujud, wahai Faqih. Buah pikiran dan buku-bukumu mendapatkan kedudukan yang mulia di hati banyak kaum muslimin. Mereka mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, mengambil manfaat darinya, dan menjadikannya sebagai lentera untuk menerangi mereka di kala tersesat jalan.

Tokoh kita ini lahir di Cordova, salah satu kota menakjubkan di Andalusia, tepatnya di rumah seorang menteri, di penghujung bulan Ramadhan tahun 384 H. Kelahiran anak yang penuh berkah ini kemudian ternyata membawa makna besar, sekaligus membuat orang tuanya bangga dan bersyukur kepada Allah atas nikmat dan karunia-Nya.

Ia besar dalam iklim kemuliaan di istana orang tuanya. Bapaknya adalah seorang menteri di Kerajaan `Âmiriyah. Ia belajar Al-Quran, hadits Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, syair Arab, seni tulisan Arab (khat) dan keterampilan menulis. Hari berlalu, dan si kecil ini pun tumbuh besar. Orang tuanya mencarikan seorang laki-laki shalih untuk menjadi pembimbingnya, mengisi waktu kosongnya, dan mengantarkannya ke majelis para ulama. Anak yang diberkati ini adalah Ali ibnu Ahmad ibnu Sa`îd Al-Andalusi yang terkenal dengan Ibnu Hazm Al-Andalusi.

Keluarga Ibnu Hazm memiliki kedudukan yang tinggi dan berasal dari keturunan mulia. Bani Hazm adalah keturunan para ulama dan sastrawan. Mereka merupakan orang-orang yang berkedudukan tinggi dan terpandang. Banyak di antara mereka yang menjadi menteri dan memegang jabatan penting di kota Cordova.

Ahmad ibnu Sa`îd, bapak Ibnu Hazm termasuk salah seorang cendekiawan yang berwawasan dan berilmu luas. Karena itu, ia heran melihat orang-orang yang salah dalam berbicara. Ia berkata, "Aku heran melihat orang yang menggunakan kalimat yang salah dalam berbicara, atau menggunakan lafaz yang tidak jelas dalam menulis. Jika ia ragu tentang sesuatu, semestinya ia meninggalkannya, lalu cari kata-kata yang lain. Karena sesungguhnya dunia kata demikian luas."

Wawasan yang luas, serta kepribadian yang matang dan cerdas inilah yang membuat bapak Ibnu Hazm bisa menduduki jabatan menteri dalam pemerintahan Al-Hâjibul Mansûr ibnu Abi `Âmir di penghujung kekuasaan Dinasti Umayyah di Andalusia. Ibnu Hazm tinggal di istana orang tuanya dengan tenang, sejahtera, berada, dan penuh kenikmatan. Ia senantiasa diliputi kesenangan dan kemewahan, tidak pernah merasakan kesulitan rezeki dan kekurangan harta. Ia dikelilingi oleh para dayang-dayang wanita yang cantik. Namun, meskipun hidup dengan diliputi berbagai godaan yang melenakan itu, kehormatan Ibnu Hazm senantiasa terjaga. Ia jauh dari berbagai perbuatan maksiat.

Terkait hal ini, ia pernah berkata, "Allah mengetahui, dan cukuplah Dia sebagai Dzat Yang Maha Mengetahui bahwa aku adalah seorang yang bersih, selalu memakan rezeki yang halal, senantiasa menjaga kesucian kulit dan kemaluan. Demi Allah, aku bersumpah dengan sumpah yang paling agung, bahwa aku tidak pernah menempatkan kemaluanku di tempat yang haram, dan aku tidak pernah melakukan dosa zina sejak aku mulai berakal sampai hari ini."

Keadaan kemudian berubah. Khalifah meninggal dunia dan digantikan oleh khalifah yang baru. Ibnu Hazm dan ayahnya pun akhirnya pindah ke barat kota Cordova, jauh dari hiruk-pikuk godaan dunia. Sejak saat itu, berbagai cobaan menghampirinya. Hidupnya tidak lagi stabil. Taring-taring ganas kehidupan mulai terpampang di depan matanya, setelah sebelumnya senantiasa menampilkan pentas kenikmatan. Kondisi itu memaksa Ibnu Hazm untuk meninggalkan Cordova dan pergi ke Almeria pada tahun 404 H. Sejak saat itu, ia selalu hidup berpindah-pindah karena situasi politik dan tekanan penguasa yang tidak bersahabat.

Ibnu Hazm adalah seorang yang memiliki bacaan yang sangat luas. Ia banyak mentelaah berbagai cabang ilmu. Faktor yang memudahkannya untuk melakukan semua itu adalah keberadaan perpustakaan Cordova yang dipenuhi berbagai buku, serta perhatian besar masyarakat Andalusia terhadap ilmu pengetahuan dan sastra. Ibnu Hazm pun terkenal dengan ilmu dan wawasannya yang sangat dalam. Ia pantas diibaratkan sebagai sebuah ensiklopedia hidup yang menghimpun berbagai ilmu pengetahuan pada masanya, dengan demikian mantap dan komprehensif.

Abû Abdillâh Al-Humaidi, salah seorang ulama, pernah berkata tentangnya, "Ibnu Hazm adalah seorang tokoh yang hafal hadits lengkap dengan maknanya, bisa mengambil hukum dari dalil Al-Quran dan Sunnah, serta menguasai berbagai macam ilmu sekaligus mengamalkannya. Kami tidak pernah melihat ada orang yang seperti dirinya dalam hal kecerdasan, kecepatan hafalan, kedermawanan diri, dan kekuatan agamanya."

Ketika Ibnu Hazm mencapai derajat mujtahid yang mampu berijtihad memahami hukum-hukun Syariat, ia menyuarakan pentingnya kita mengamalkan zahir nash Al-Quran dan hadits Nabi yang mulia. Ibnu Hazm menulis banyak buku dalam berbagai bidang. Ia menulis tentang ilmu-ilmu Al-Quran, hadits, fiqih, teologi, bantahan terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani, mantiq, dan berbagai cabang ilmu lainnya. Seorang ahli sejarah pernah berkata, "Ibnu Hazm adalah penduduk Andalusia yang paling menguasai ilmu-ilmu keislaman, sekaligus paling luas wawasannya. Di samping itu, ia juga adalah seorang yang menguasai ilmu bahasa, ilmu balaghah, syair, sirah nabawiyah, dan sejarah." Buku-buku yang ditulis Ibnu Hazm mencapai 400 jilid, sekitar 80.000 lembar, seperti dikatakan Ibnul Fadhl. Abû Hâmid A-Ghazâli mengatakan, "Aku menemukan sebuah buku tentang Asmâ'ul Husna karya Ibnu Hazm yang menunjukkan kekuatan hafalan dan kejernihan pikirannya."

Ibnu Hazm pernah tiga kali menjadi menteri. Ia senantiasa setia dan loyal kepada Dinasti Bani Umayyah yang memerintah di Andalusia. Ia berusaha menghidupkan kembali kerajaan Umayyah. Menurutnya, Bani Umayyah adalah pihak yang paling berhak memegang khilafah. Karena keyakinan itu, ia rela dipenjara atau diasingkan. Musuh-musuhnya melancarkan berbagai konspirasi untuk mencelakainya. Mereka mengadu domba antara dirinya dengan Sultan, karena iri dan dengki kepadanya. Akibatnya, buku-bukunya sampai dibakar pada masa Al-Mu`tadhid ibnu `Abâd. Ibnu Hazm berkata tentang kejadian itu: "Seandainya kalian membakar kertas-kertas itu, sesungguhnya kalian tidak bisa membakar apa yang dikandungnya. Karena ia ada di dalam dadaku, berjalan ke mana kendaraanku melangkah, dan ikut turun jika aku turun. Jika aku mati, ia dikuburkan bersamaku."

Allah mengaruniakan kepada Ibnu Hazm ingatan yang kuat, cepat, dan cemerlang. Namun demikian, ia tetaplah seorang yang tawadhuk dan senantiasa bersyukur kepada Allah. Terkait hal ini, ia pernah berkata, "Seandainya engkau salut kepada ilmumu, maka ketahuilah bahwa sebenarnya tidak ada kehebatanmu di dalamnya. Sesungguhnya ia adalah karunia Allah yang Dia berikan kepadamu. Janganlah engkau balas karunia itu dengan sesuatu yang membuat Dia murka. Allah bisa saja membuat engkau lupa semua ilmu itu dengan memberimu penyakit, sehingga engkau tidak lagi ingat apa yang telah engkau ketahui dan engkau hafal sebelumnya."

Ibnu Hazm adalah sosok yang begitu percaya diri dengan ucapannya di hadapan para musuhnya. Ia tidak bersikap munafik kepada penguasa, serta biasa menolak hadiah-hadiah mereka. Meskipun semua itu mengakibatkan ia harus mengalami berbagai masalah. Loyalitas dan kesetiaan merupakan sifat yang menjadi ciri khas dirinya. Ia begitu setia kepada Agama, sahabat, guru-guru, dan semua orang yang berhubungan dengannya.

Ibnu Hazm mengkonsentrasikan diri dalam menulis, sehingga ia berhasil menelurkan begitu banyak buku. Di antara buku-buku karangannya adalah: Al-Muhallâ dalam ilmu fiqih; Al-Fashlu baina Ahlil ârâ' wan Nihal, Al-Ihkâm fî Ushûlil Ahkâm, Jamharatu Ansâbil `Arab, Jawâmi`us Siyar, Ar-Raddu `alâ Man Qâla bit Taqlîd, Syarhu Ahâdîtsil Muwaththa', dan Thûqul Hamâmah yang merupakan salah satu bukunya yang paling terkenal. Buku yang terakhir ini memuat banyak syair yang ia ucapkan dalam berbagai kesempatan.

Faqih yang mulia ini benar-benar hidup dalam mihrab ilmu. Ia menyibak gelapnya kezaliman dan kebodohan. Di samping senantiasa berusaha melawan hawa nafsunya sendiri. Setelah menjalani hidup yang penuh dengan perjuangan, ilmu, dan kesabaran atas berbagai siksaan, Ibnu Hazm meninggal dunia pada tanggal 28 Sya`bân tahun 564 H., dalam usia hampir 71 tahun. Abû Yûsuf Ya`qûb Al-Manshûr, khalifah ketiga dari Dinasti Al-Muwahhidîn pun saat itu berdiri di depan kuburannya, tidak mampu menahan kesedihan, seraya berkata, "Semua orang berhutang kepada Ibnu Hazm."

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

 

 

Artikel Terkait