Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Ringkasan Ajaran Islam

Rajâ'; Kedudukan Tertinggi

Rajâ

Seorang mukmin berjalan menuju Tuhannya dengan dua sayap, yaitu khauf (takut kepada murka dan azab Allah) dan rajâ' (mengharap rahmat dan ridha-Nya). Dengan khauf, ia akan menjauh dari dosa, dan dengan rajâ' anggota badannya akan bergerak melaksanakan ketaatan.

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Rajâ' termasuk kedudukan paling tinggi dan paling mulia bagi para hamba yang berjalan menuju Allah. AllahSubhânahu wata`âlâtelah memuji dan menyanjung para pemilik rajâ' ini dengan firman-Nya (yang artinya): 'Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat, dan ia banyak menyebut Allah.' [QS. Al-Ahzâb: 21]. Dalam sebuah hadits Qudsi yang shahih NabiShallallâhu `alaihi wasallammeneyebutkan bahwa AllahSubhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): 'Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni dosa-dosa yang pernah engkau lakukan, dan Aku tidak akan mempedulikannya'. Rajâ' adalah bentuk `ubudiyah (penyembahan) dan kebergantungan kepada Allah dari sisi nama-Nya yang suci: 'Al-Muhsin Al-Barr' (Yang Maha Berbuat Baik). Kekuatan rajâ' ini sejalan dengan kekuatan makrifat (pengetahuan) seseorang terhadap Allah, terhadap nama-nama-Nya yang suci, sifat-sifat-Nya yang mulia, dan pengetahuan betapa rahmat-Nya melampaui murka-Nya. Kalaulah bukan karena semangat rajâ' ini niscaya akan berhenti ibadah hati dan anggota badan, akan dihancurkan pula tempat-tempat ibadah dan mesjid-mesjid tempat disebut nama Allah. Bahkan kalau bukan karena dorongan rajâ' niscaya anggota badan tidak akan bergerak melakukan ketaatan. Kalaulah bukan karena angin rajâ' niscaya tidak akan berjalan kapal-kapal amal shalih di atas lautan keinginan."

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Kalaulah seorang mukmin mengetahui azab yang ada di sisi Allah, niscaya tidak seorang pun yang menginginkan Surga-Nya. Dan kalaulah seorang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya tidak seorang pun yang akan putus asa meraih Surga-Nya."

Abdullah ibnu Mas`ûd—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Sesungguhnya ayat yang paling membukakan harapan di dalam Al-Quran adalah satu ayat dalam surat Az-Zumar: 'Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'." [QS. Az-Zumar: 53]

Ketika orang-orang mengunjungi Imam Malik ibnu Anas di malam beliau wafat, sebagian mereka bertanya, "Wahai Abu Abdullah, bagaimana keadaan Anda?" Ia menjawab, "Aku tidak tahu apa yang aku hendak katakan kepada kalian. Hanya saja kalian akan melihat nantinya ampunan Allah yang sama sekali tidak kalian sangka."

Subhânallâh, kalaulah hamba-hamba yang berpaling dari–Nya mengetahui bagaimana Allah menunggu mereka, dan bagaimana besarnya rahmat Allah kepada mereka, niscaya persendian mereka akan terputus-putus karena rasa rindu kepada-Nya. Itulah kehendak Allah terhadap orang-orang yang berpaling dari-Nya, maka bagaimakah lagi terhadap orang yang datang menghadap kepada-Nya?!

Abdullah ibnul Mubarak berkata, "Aku mendatangi Sufyân Ast-Tsauri pada sore hari Arafah, ketika ia sedang duduk di atas kedua lututnya dengan kedua mata yang basah. Lalu aku bertanya kepadanya, 'Siapakah orang yang paling buruk keadaannya di tengah kumpulan besar manusia ini?' Ia menjawab 'Orang yang mengira bahwa Allah tidak mengampuninya'."

Al-Fudhail ibnu `Iyâdh memperhatikan suara tasbih dan tangisan manusia di sore hari Arafah, lalu ia berkata, "Bagaimana menurut kalian kalau mereka semua (jemaah haji itu) berdatangan kepada satu orang laki-laki dan meminta kepadanya seperenam dirham, apakah laki-laki itu akan menolak memberi permintaan mereka?" Orang-orang menjawab, "Tidak." Al-Fudhail lalu berkata, "Demi Allah, sungguh bagi Allah ampunan itu lebih ringan dari pemberian seperenam dirham laki-laki itu kepada mereka."

Sudah seharusnya bagi seorang hamba memperbesar rasa harap (rajâ')-nya kepada Allah, terutama ketika maut hendak menjemputnya. Karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman dalam sebuah hadits Qudsi: "Sesungguhnya Aku (berbuat) sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku."

Oleh karena inilah, ketika Wâtsilah ibnul Asqa'—Semoga Allah meridhainya—menjenguk Yazîd ibnul Aswad yang sedang menghadapi mautnya, Wâtsilah berkata kepadanya, "Kabarkanlah kepadaku, bagaimana prasangkamu kepada Allah?" Yazîd menjawab, "Dosa-dosaku menimpaku hingga aku hampir saja binasa. Akan tetapi aku mengharap rahmat Allah." Lalu Wâtsilah bertakbir dan berkata, "Aku mendengar Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): 'Aku (berbuat) sesuai prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, maka hendaklah hamba-Ku berprasangka kepada-Ku sekehendaknya'."

Atas dasar ini pula, ketika Sulaiman At-Taimi sedang menghadapi kematian, ia berkata kepada anaknya Mu`tamir, "Wahai Mu`tamir, bicarakanlah kepadaku tentang rukhash (keringan-keringanan), supaya aku bertemu Allah dalam keadaan berprasangka baik kepada-Nya."

Rajâ' Mendorong untuk Beramal Shalih

Kenyataan di dunia manusia menunjukkan bahwa banyak orang yang lalai melaksanakan ketaatan serta lancang berbuat maksiat dan kenistaan. Mereka mengaku yakin akan mendapat rahmat dan ampunan Allah. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah pemahaman yang salah terhadap makna rajâ'. Sangat tepat bagi mereka ini celaan Imam Al-Hasan Al-Bashri—Semoga Allah merahmatinya, "Sesungguhnya sekelompok orang telah dipedaya oleh angan-angan ampunan hingga mereka meninggal dunia tanpa memiliki satu pun kebaikan. Mereka berkata, 'Kami berprasangka baik kepada Allah'. Mereka sebenarnya berdusta, sebab kalau mereka berprasangka baik niscaya akan baik pula amal mereka."

Sesungguhnya Allah—Subhânahu wata`âlâ—Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Tetapi mari kita memperhatikan makna penting yang dikandung oleh ayat berikut ini. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, serta orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Baqarah: 218]

Lihatlah bagaimana mereka mengharap rahmat Allah seraya melaksanakan amal-amal shalih yang agung ini. Karena itu, marilah wahai saudaraku, kita melakukan amal-amal shalih dan bertobat atas segala dosa dan maksiat yang telah lalu.

 

 

Artikel Terkait