Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Puasa

Dengan Apa Kita Menyambut Ramadhan?

Dengan Apa Kita Menyambut Ramadhan?

Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Manusia memiliki beraneka cara dan kecenderungan dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan serta. Kegiatan yang mereka utamakan untuk mengisi waktu-waktu menjelang Ramadhan berbeda satu sama lain. Di antara manusia ada yang menyambut bulan mulia ini dengan bermalas-malasan, tanpa aktivitas, tidur-tiduran, dan melalaikan ibadah. Di antara mereka ada juga yang menyambutnya dengan menonton televisi dengan berbagai siarannya. Di antara mereka ada juga yang menyambutnya dengan bergadang di malam hari, menghabiskan waktu untuk berkunjung ke sana kemari, bermain ke pasar-pasar, penginapan, tempat-tempat rekreasi, dan sebagainya. Ada pula yang menyambutnya dengan makan dan minum secara berlebihan, seakan Ramadhan adalah bulan makan dan minum, bukan bulan untuk berpuasa.

Sedangkan orang-orang yang diberi taufik oleh Allah sehingga bisa melihat kebenaran dan membedakannya dengan kebatilan, menyambut bulan Ramadhan dengan penuh bahagia, gembira, dan ceria. Mereka melihat bahwa bulan ini berisi banyak kesempatan untuk memperoleh ampunan dosa dan kesempatan untuk meluruskan kesalahan diri. Ramadhan adalah bulan ampunan, bulan rahmat, dan bulan pembebasan dari api Neraka. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memberi kabar gembira kepada para shahabat beliau dengan kedatangan bulan Ramadhan. Beliau bersabda kepada mereka, "Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkati. Allah memfardhukan puasanya kepada kalian. Di dalamnya pintu-pintu langit (Surga) dibuka, di dalamnya pintu-pintu Neraka ditutup, dan di dalamnya Syetan-syetan pembangkang dibelenggu. Allah memiliki di dalamnya suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barang siapa yang tidak mendapatkan kebaikan malam itu, maka sesungguhnya ia tidak mendapatkan (kebaikan) sama sekali." [HR. An-Nasâ'i. Menurut Al-Albâni: shahîh]

Dari sini, mereka mengetahui beragam kebaikan, hadiah, dan buah ranum yang terdapat dalam bulan Ramadhan. Mereka pun ingin mengambil hadiah dan karunia itu, agar tidak menyesal kelak di Akhirat. Mereka takut kalau kelak termasuk orang-orang yang berucap sebagaimana digambarkan oleh Al-Quran (yang artinya): "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini." [QS. Al-Fajr: 24], atau mengatakan (yang artinya): "Wahai Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan dahulu." [QS. Al-Mu'minûn: 99-100]. Lalu ketika itu, datanglah jawaban (yang artinya): "Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu hanya semata-mata perkataan yang diucapkannya saja." [QS. Al-Mu'minûn: 100]. Maka akhirnya, hanya penyesalan yang ada, akibat kelalaian yang dilakukan.

Oleh sebab itu, orang-orang yang diberi taufik ini bertekad menyambut Ramadhan dengan melakukan berbagai perkara berikut:

1.    Bertobat dan Kembali Kepada Allah.

Bertobat dari dosa hukumnya wajib di setiap saat dan kesempatan. Pada bulan Ramadhan, kewajiban itu semakin kuat. Orang yang tidak bertobat pada bulan Ramadhan, kapan lagi ia akan bertobat? Barang siapa yang tidak kembali kepada Allah di bulan Ramadhan, kapankah lagi ia akan kembali kepada-Nya? Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "…dan bertobatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung." [QS. An-Nûr: 31]

Wahai Anda yang suka menunda-nunda tobat, sampai kapankah Anda menundanya? Sampai kapankah Anda mengulur waktu untuk kembali kepada Allah? Anda dahulu mengatakan, kalau datang waktu berpuasa saya akan bertobat, jika Ramadhan datang aku akan kembali kepada Allah. Nah, sekarang Ramadhan sudah berlalu hari demi hari. Namun demikian, Anda masih saja berpaling dan menjauh dari Tuhan, bukan justru kembali kepada-Nya. Anda masih betah dengan maksiat dan tidak mau meninggalkannya. Bayangkan, seandainya Malaikat Maut mendatangi Anda saat Anda berpaling dan lalai. Bagaimana mungkin Anda dikaruniai tobat, sementara Anda tidak meniti jalannya?

Ingatlah, Allah—Subhânahu wata`âlâ—Maha mengampuni segala dosa. Dia mengulurkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima tobat orang yang berbuat jahat pada siang hari, dan mengulurkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima tobat orang yang berbuat dosa pada malam hari. Allah sangat senang menyaksikan tobat dan penyesalan hamba-Nya yang terlanjur melakukan dosa. Karena itu, seperti yang disampaikan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, Allah meletakkan pintu tobat di sebelah barat dan Dia tampakkan selama empat puluh tahun. Allah tidak akan menutupnya sampai matahari terbit dari barat. [HR. Ahmad dan At-Tirmidzi]. Lalu, manakah orang-orang yang mau bertobat dan kembali kepada Tuhan mereka?

2. Ikhlas Karena Allah dalam Setiap Amal.

Saudaraku, saya ingin mengingatkan Anda sejak awal, jika Anda tidak ikhlas, janganlah Anda menyusahkan diri Anda. Karena amal seseorang tidak akan diterima kecuali jika ia melakukannya dengan ikhlas. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan (Allah) dengan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." [QS. Al-Kahf: 110]

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda bahwa Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman: "Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa yang melakukan sebuah amal dengan mempersekutukan-Ku dengan yang lain, maka Aku akan meninggalkannya dengan sekutunya itu." [HR. Muslim]

Puasa adalah salah satu ibadah paling agung yang melatih seorang muslim untuk bersifat ikhlas. Karena tidak seorang pun yang mengetahui keadaan orang yang berpuasa selain Allah—Tabâraka wata`âlâ, terutama di luar bulan Ramadhan. Bahkan di bulan Ramadhan pun, seseorang bisa saja tidak berpuasa dengan menampakkan diri seperti seorang yang berpuasa. Namun, meskipun demikian, seorang yang diberi taufik oleh Allah tetap menjauhi perkara yang membatalkan puasanya dan menghindari sekecil apa pun perkara yang merusak puasanya. Itu disebabkan oleh keikhlasannya mengharap ridha Allah—Subhânahu wata`âlâ—dan keinginan mendekatkan diri kepada. Karena itulah Allah merahasiakan bentuk pahala puasa dan Dia jadikan puasa itu khusus untuk-Nya sendiri, sebagaimana halnya orang yang berpuasa merahasiakan puasanya kepada orang lain. Dan seperti yang kita ketahui, Allah Yang Maha Pemurah tidak akan memberi kecuali dengan pemberian yang berlimpah dan karunia yang banyak. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Setiap amalan anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya sendiri; dan kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

3.    Mengikuti Sunnah Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam.

Sebuah amal tidak akan diterima di sisi Allah kecuali dengan terpenuhinya dua syarat: Pertama, ikhlas karena Alah, dan kedua, sesuai dengan tuntunan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Dalam ayat di atas, terdapat isyarat yang menunjukkan kedua syarat ini. Firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih." mengandung isyarat perintah untuk mengikuti tuntunan Nabi (Sunnah). Sedangkan firman-Nya (yang artinya): ". dan janganlah ia mempersekutukan (Allah) dengan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya" mengandung isyarat perintah untuk berbuat dengan ikhlas.

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah menjelaskan segala sesuatu tentang puasa. Beliau telah menjelaskan kapan kita berpuasa dan kapan berbuka, serta menjelaskan rukun puasa, perkara-perkara wajibnya, sunnahnya, dan adabnya. Beliau juga telah menjelaskan keutamaan dan keuntungan melakukan puasa, perkara yang membatalkan dan yang tidak membatalkannya, uzur (halangan) yang membolehkan seseorang tidak berpuasa, dan perkara-perkara lain yang terkait dengan puasa.

4.    Bersabar.

Ramadhan adalah bulan kesabaran. Karena di sana, manusia menghindari semua perkara yang sudah menjadi kebiasaannya, seperti makan, minum, melampiaskan syahwat, dan berbagai perkara lain yang membatalkan puasa, baik yang bersifat fisik maupun maknawi, dalam rangka mentaati Allah—`Azza wajalla—dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Sabar termasuk hal-hal yang sulit untuk dilakukan manusia. Karena itu, ia disebut setengah dari keimanan, dan balasannya pun paling besar, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang diberikan pahala mereka tanpa batas." [QS. Az-Zumar: 10]

Pembagian Sabar

Sabar ada tiga jenis, yaitu: (1) Sabar dalam melakukan ketaatan. (2) Sabar dalam meninggalkan maksiat, sehingga tidak melakukannya. (3) Sabar dalam menghadapi ujian, sehingga tidak mengeluhkan (mengutuk) takdir Allah. Seorang muslim harus memiliki salah satu dari ketiga jenis sabar ini.

Faktor-faktor Penunjang Kesabaran

Terdapat beberapa faktor yang mendorong seseorang untuk bisa bersabar, di antaranya:

a)    Mencinta Allah—Subhânahu wata`âlâ;

b)    Takut kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ;

c)    Kemuliaan, kesucian, dan keagungan jiwa (hati);

d)    Tidak panjang angan-angan;

e)    Tidak berlebihan dalam makan, minum, berpakaian, hubungan suami istri, dan interaksi dengan orang lain;

f)    Malu kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ;

g)    Mengingat berbagai nikmat dan karunia Allah—Subhânahu wata`âlâ;

h)    Mengetahui keburukan dan kekejian maksiat (dosa);

i)     Mengetahui dengan benar akibat dan pengaruh maksiat (dosa);

j)     Mengetahui keuntungan dan pengaruh ketaatan;

k)    Kokohnya iman di dalam hati.

Beberapa hal ini jika dijaga dan diperhatikan oleh seorang hamba akan sangat membantunya untuk bisa bersabar dalam melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat, terutama pada bulan Ramadhan yang menuntutnya bersungguh-sungguh dalam kedua hal ini.

5.   Menjaga dan Memanfaatkan Waktu untuk Melakukan Ketaatan.

Waktu adalah sesuatu yang berharga. Di antara bukti mahalnya adalah bahwa waktu yang sudah berlalu tidak akan pernah kembali lagi sampai hari Kiamat. Di samping itu, waktu adalah modal yang menentukan keberuntungan dan kerugian atau keselamatan dan kehancuran seseorang.

Beberapa Ibadah Wajib dan Sunnah di Bulan Ramadhan

Untuk mengisi waktu di bulan Ramadhan, berikut beberapa ibadah wajib dan sunnah yang harus dilakukan oleh seorang muslim:

a)    Berpuasa di siang hari.

Hal itu sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa di dalamnya, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain…" [QS. Al-Baqarah: 185]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan mencari ridha Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lampau." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

b)    Qiyamullail dan Shalat Tarawih.

Hal itu disinyalir dalam sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Barang siapa yang melakukan qiyam pada malam bulan Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan mengharap ridha Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lampau." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

c)    Membaca Al-Quran.

Ramadhan adalah bulan Al-Quran. Mengenai hal ini, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang hak dan yang batil)…" [QS. Al-Baqarah: 185]

Malaikat Jibril—`Alaihis salâm—senantiasa mengulangi bacaan Al-Quran bersama Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pada bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, generasi awal umat ini dan para ulamanya demikian memfokuskan diri untuk Al-Quran pada bulan Ramadhan. Mereka membaca Al-Quran, baik di dalam shalat maupun di waktu-waktu yang lain. Jika datang bulan Ramadhan, Imam Az-Zuhri berkata, "Sesungguhnya bulan ini adalah bulan untuk membaca Al-Quran dan memberi makan orang miskin."

d)    Memberi Makanan Berbuka untuk Orang yang Berpuasa.

Hal itu sebagaimana disinyalir dalam sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Barang siapa yang memberi makanan berbuka untuk orang yang berpuasa maka ia mendapatkan (pahala) seperti pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]


Artikel Terkait