Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Hukum Puasa

Tahapan-tahapan Diwajibkannya Puasa

Tahapan-tahapan Diwajibkannya Puasa

 Diriwayatkan dari Al-Barrâ'—Semoga Allah meridhainya. Ia berkata, "Dahulu para sahabat Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—apabila ada seseorang yang berpuasa, lalu ketika tiba waktu berbuka ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak makan pada malam hari dan tidak juga pada siang harinya sampai tiba waktu sore. Sesungguhnya Qais Ibnu Shirmah Al-Anshâry pernah berpuasa. Ketika tiba waktu berbuka, ia datang kepada istrinya, lalu berkata kepadanya, "Apakah Engkau mempunyai makanan?" Istrinya menjawab, 'Tidak. Tapi saya akan pergi mencari (makanan) untukmu.' Ketika itu, Qais sudah bekerja seharian. Lalu ia pun tertidur. Kemudian istrinya datang kepadanya. Ketika istrinya melihatnya (tertidur), ia berkata, "Rugilah engkau!". {Maksudnya, makanan yang engkau minta sudah luput—sudah berlalu waktu untuk memakannya.} Saat tiba tengah hari, Qais pun jatuh pingsan. Hal itu lalu diberitahukan kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Lalu turunlah ayat ini (yang artinya): "Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa menggauli istri-istri kalian." [QS. Al-Baqarah: 187] Maka mereka (para shahabat) pun sangat bersuka cita. Dan turunlah ayat (yang artinya): "Makan dan minumlah sehingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam." [QS. Al-Baqarah: 187]." [HR. Al-Bukhâri, Abû Dâwûd, At-Tirmîdzi, dan Ahmad]

Keterangan: Ungkapan yang terdapat di antara dua kurung kurawal {} bukan bagian dari hadits. Tetapi itu penjelasan makna dari penulis.

Diriwayatkan dari Mu`adz Ibnu Jabal—Semoga Allah meridhainya. Ia berkata, "Shalat disempurnakan dalam tiga tahapan, dan puasa juga disempurnakan dalam tiga tahapan."

Mu`adz lalu menyebutkan tahapan-tahapan shalat, kemudian ia berkata dalam masalah puasa, "Sesungguhnya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—selalu berpuasa tiga hari setiap bulan dan berpuasa pada hari `Âsyûrâ. Kemudian turun firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian." [QS. Al-Baqarah: 183], sampai firman Allah (yang artinya): "memberi makan seorang miskin". Maka siapa yang ingin berpuasa, ia pun berpuasa. Dan siapa yang ingin berbuka dan memberi makan setiap hari satu orang miskin, maka hal itu mencukupi dan hukumnya halal. Lalu Allah—Subhânahu wata`âlâ—menurunkan ayat (yang artinya): "Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran," sampai firman Allah (yang artinya): "hari-hari yang lain". Maka puasa pun berlaku bagi siapa saja yang menyaksikan bulan Ramadhan tersebut. Dan bagi musafir boleh mengqadhanya. Dan memberi makan ditetapkan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta yang tidak sanggup melaksanakan puasa." [HR. Abû Dâwûd, Ahmad, Ath-Thabrâni dan Al-Hâkim. Menurut Ahmad dan Adz-Dzahabi: shahih]

Dalam satu riwayat Imam Ahmad disebutkan, "Adapun kondisi-kondisi puasa, sesungguhnya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—datang ke Madinah. Beliau lalu berpuasa tiga hari setiap bulan." {Yazîd Ibnu Hârûn berkata, "Rasul berpuasa selama sembilan belas bulan, dari bulan Rabi`ul Awal sampai bulan Ramadhan. Setiap bulan tiga hari."}. Rasul juga berpuasa pada hari `Âsyûrâ. Lalu Allah—`Azza wajalla—mewajibkan puasa kepadanya. Turunlah firman Allah—`Azza wajalla—(yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian," sampai ayat (yang artinya): "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) agar membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin."

Perawi berkata, "Saat itu, siapa yang ingin berpuasa, ia pun berpuasa, dan siapa yang ingin memberi makan orang miskin, ia pun melakukannya. Hal itu sudah mencukupi baginya."

Perawi berkata, "Allah—`Azza wajalla— kemudian menurunkan ayat yang lain (yang artinya): "Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an," sampai firman Allah (yang artinya): "Karena itu, barang siapa di antara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu."

Perawi berkata, "Allah lantas menetapkan kewajiban puasa kepada orang yang menetap dan sehat, serta memberi keringanan bagi yang sakit dan musafir. Dan memberi makan ditetapkan bagi orang tua renta yang tidak sanggup berpuasa. Ini adalah dua tahapan puasa."

Perawi berkata, "Mereka (para sahabat) makan, minum serta menggauli istri-istri mereka selama mereka belum tidur. Jika mereka sudah tertidur, mereka menghindar."

Perawi berkata, "Kemudian, ada seorang laki-laki dari kaum Anshâr bernama Shirmah. Ia terus berkerja dalam keadaan berpuasa hingga sore hari. Kemudian ia datang menemui keluarganya. Dia shalat `Isya, setelah itu tidur. Dia tidak makan dan tidak minum sampai pagi. Paginya ia pun puasa."

Perawi berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—melihatnya. Dia betul-betul sudah sangat kepayahan". Rasul berkata, "Kenapa aku melihatmu tampak begitu kepayahan?" Dia (Shirmah) berkata, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya kemarin saya bekerja. Ketika saya datang ke rumah, saya langsung membaringkan tubuh, lalu saya pun tertidur. Dan ketika pagi hari tiba, saya pun berpuasa."

Perawi berkata. "Sesungguhnya Umar pernah menggauli budak atau istrinya setelah tidur. Dia datang kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Lalu Allah—`Azza wajalla—pun menurunkan ayat (yang artinya): "Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kalian" hingga firman-Nya (yang artinya): "Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam".

 

Beberapa Pelajaran dan Hukum

1.    Di antara rahmat Allah—Subhânahu wata`âlâ—adalah memberikan keringanan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Karena, di antara tahapan-tahapan diwajibkannya ibadah puasa adalah bahwa orang yang tidur setelah terbenam matahari, atau setelah melaksanakan shalat Isya, maka ia harus menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sampai terbenam matahari hari kedua. Dalam hal ini, mereka pun selalu menderita kepayahan yang teramat sangat, sebagaimana terdapat dalam kisah shahabat ini (Shirmah)—Semoga Allah meridhainya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—lalu memberikan keringanan bagi mereka dengan memperbolehkan makan, minum dan menggauli istri pada malam-malam Ramadhan, baik orang yang berpuasa itu tidur setelah matahari terbenam atau tidak. Sehingga jadilah hal itu sebagai rukhsah (keringanan) dari Allah—Subhânahu wata`âlâ. Alhamdulillâh.

2.    Pelayanan istri terhadap suami, dan bahwa hal itu termasuk cara bergaul dan berbakti yang baik terhadap suami.

3.    Sikap wara`(berhati-hati) para sahabat—semoga Allah meridhai mereka, ketaatan mereka dalam menjalankan perintah Allah—Subhânahu wata`âlâ, rasa takut mereka untuk melanggar perintah-Nya, dan rasa selalu diawasi oleh Allah—`Azza wajalla—pada diri mereka, baik saat sendiri maupun dalam keramaian. Di dalam beberapa riwayat hadits terdapat ungkapan: "Dia terlambat datang kepadanya—yakni, istrinya terlambat—sehingga ia tertidur. Lalu si istri pun membangunkannya. Tetapi ia tidak ingin mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Dia menolak untuk makan, dan ketika pagi hari datang ia tetap berpuasa." [HR. Ath-Thabarî]

Dan dalam riwayat yang lain disebutkan: "Dia meletakkan kepalanya dan tertidur. Lalu istrinya datang membawa makanan untuknya dan berkata kepadanya, "Makanlah!" Dia menjawab, "Sesungguhnya saya sudah tertidur." Istrinya berkata, "Sesungguhnya engkau belum tidur." Pada pagi hari, ia pun jadi sangat kelaparan dan kepayahan." [HR. Ath-Thabari]

4.    Anjuran untuk bersuka cita menerima rukhshah dari Allah—`Azza wajalla. Hal tersebut tidak bertentangan dengan sikap mengambil hukum-hukum Allah yang sudah ditetapkan. Karena semua berasal dari Allah. Dan Allah—`Azza wajalla—suka jika rukhshah-Nya dikerjakan sebagaimana Dia suka jika hukum-hukum-Nya yang sudah ditetapkan secara pasti dilaksanakan.

5.    Kasih sayang Allah—Subhânahu wata`âlâ—kepada hamba-hamba-Nya. Karena Dia mensyariatkan untuk mereka sesuatu yang bermanfaat bagi mereka, yaitu berbagai ibadah yang mendatangkan kebersihan hati dan kesucian jiwa bagi mereka.

6.    AllahSubhânahu wata`âlâ—membimbing mereka secara berangsur-angsur untuk sesuatu yang belum biasa mereka lakukan. Sebagaimana kewajiban shalat datang dalam tiga tahapan, demikian pula halnya puasa. Begitu juga larangan khamr (minuman keras), sementara mereka sudah terbiasa meminumnya. Pengharaman khamr datang secara bertahap, sebagai bukti kasih sayang Allah—Subhânahu wata`âlâ—dan untuk meringankan hamba-hamba-Nya. Alhamdulillâh.

7.    Kewajiban puasa datang secara bertahap, karena orang-orang pada masa awal Islam belum terbiasa puasa. Sebagaimana terdapat dalam riwayat kedua hadits tersebut, bahwa Mu`adz—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Mereka ketika itu adalah kaum yang belum terbiasa melakukan puasa. Puasa bagi mereka terasa sangat berat." [HR. Abû Dâwûd dan Al-Baihaqi. Menurut Syaikh Al-Albâni: shahih]

8.    Puasa diwajibkan melalui tiga tahapan:

  • Pertama: Puasa tiga hari pada setiap bulan dan puasa hari `Âsyûrâ.
  • Kedua: Dapat memilih dalam hal puasa Ramadhan, antara berpuasa dan memberi makan bagi orang yang tidak mau berpuasa.
  • Ketiga: Diwajibkannya puasa kepada orang yang sanggup melaksanakannya, dan diberikannya keringanan kepada laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa dengan memberi makanan. Dan masuk ke dalam kategori ini orang yang menderita sakit yang tidak ada harapan sembuh.

 

Artikel Terkait