Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Sejarah Islam
  5. Tokoh Islam
  6. Ulama

Ja'far Ash-Shâdiq

Ja

Pada tahun 80 H., kota Madinah menyambut kelahiran seorang anak dari keturunan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Ia adalah Ja'far Ash-Shâdiq ibnu Muhammad Al-Bâqir.

Ja'far besar di kota Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, dengan kemuliaan nasabnya. Kakeknya dari pihak bapaknya adalah Imam Ali ibnu Abi Thâlib—Semoga Allah meridhainya. Sedangkan kakeknya dari pihak ibunya adalah shahabat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, yaitu Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddîq.

Ja'far pernah mendapat nasihat dari bapaknya yang berkata, "Janganlah engkau malas dan mengeluh, karena kedua sifat ini adalah kunci semua keburukan. Sesungguhnya jika engkau malas, engkau tidak akan mampu menunaikan suatu kebenaran. Dan jika engkau mengeluh, engkau tidak akan bisa bersabar berada dalam kebenaran. Sesungguhnya menuntut ilmu berarti menjalankan salah satu kewajiban, lebih baik daripada zuhud." Ja'far pun benar-benar menjalankan nasihat ayahnya. Ia menghapal Al-Quran dan hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, serta memahami keduanya dengan baik.

Ketika menginjak usia remaja, ia begitu sedih melihat kondisi keluarga Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang terlibat perselisihan dengan Bani Umayyah. Apalagi ketika pamannya, Zaid, terbunuh, ia menangis dan sangat sedih. Ia pun berkesimpulan bahwa jalan terbaik untuk menghadapi kezaliman ini adalah menyampaikan kebenaran untuk menerangi jalan orang banyak, dan kemauan mereka untuk bergerak membela orang-orang yang terzalimi.

Ia memahami dari sunnah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bahwa menuntut dan menyebarkan ilmu termasuk jihad fî sabîlillâh. Bahkan itu merupakan kewajiban setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga menempatkan para ulama di tempat terhormat bersama nabi-nabi dan para syuhada. Oleh sebab itu, Ja'far pun mempelajari berbagai bidang ilmu, seperti: biologi, kimia, astronomi, kedokteran, serta ilmu tentang tumbuhan dan obat-obatan. Di samping juga mengkaji Al-Quran, hadits, dan fikih. Ia terus belajar dan membaca segala macam ilmu, sampai saat-saat menjelang runtuhnya Dinasti Bani Umayyah. Pada saat itu, para pendukung pemerintahan Ahlul Bait (keluarga Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam) mengirim surat kepadanya agar memanfaatkan kesempatan itu untuk menjadi khalifah kaum muslimin. Namun ia merasa tidak sepakat dengan isi surat itu. Surat itu pun akhirnya ia bakar.

Ia merasa bahwa dengan ilmu ia akan lebih kuat daripada semua raja di dunia. Ja'far terus mempelajari berbagai bidang ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain dengan ketawadhukan yang luar biasa. Jika ada orang yang bertanya kepadanya, ia jawab tanpa menyombongkan dan membanggakan diri. Pada suatu ketika, seseorang bertanya kepadanya, "Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): 'Bedoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya untuk kalian.' [QS. Ghâfir: 60]. Namun, kenapa setelah kami berdoa, Allah tidak mengabulkannya?" Imam Ja'far Ash-Shâdiq menjawab, "Karena engkau berdoa meminta kepada Dzat yang belum engkau kenal." (Maksudnya, karena engkau berdoa kepada-Nya, sementara engkau tidak mengenal-Nya).

Kaum muslimin begitu mencintai Ja'far dan sangat setia menyertainya. Hal itu membuat Khalifah Al-Manshûr marah dan berusaha membuatnya terdesak. Al-Manshûr pun menyuruh Abu Hanîfah menyiapkan beberapa masalah yang sangat rumit untuk diperdebatkan dengan Ja'far. Abu Hanîfah berkata, "Aku kemudian menyiapkan untuknya 40 buah permasalahan."

Kedua imam ini pun bertemu di hadapan Khalifah Al-Manshûr. Tidak satu permasalahan pun yang diutarakan oleh Abu Hanîfah melainkan dijawab dengan tuntas oleh Imam Ja'far Ash-Shâdiq. Akhirnya, Abu Hanifah berkata, "Sesungguhnya manusia yang paling luas pengetahuannya adalah yang paling tahu tentang perbedaan mereka." Itu karena Ja'far Ash-Shâdiq menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban para ulama terdahulu, lalu ia tambah dengan pendapat pribadinya.

Ja'far Ash-Shâdiq adalah seorang sosok yang lembut dan tidak pemarah. Ia mempunyai seorang budak yang pemalas dan penidur. Pada suatu hari, ia menyuruh si budak itu melakukan sesuatu. Setelah lama ditunggu, budak itu tidak kunjung kembali. Sang Imam khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada budaknya itu, sehingga ia pun pergi mencarinya. Ternyata budaknya itu sedang tidur di tepi jalan. Imam Ja'far lalu duduk di dekat kepala budak itu, kemudian membangunkannya dengan lembut. Sambil tertawa ia berkata kepada si budak, "Siang malam engkau tidur?! Untukmu waktu malam, dan untuk kami waktu siang."

Imam Ja'far tidak gentar menghadapi siapa pun selain Allah. Pada suatu ketika, Khalifah Al-Manshûr menanyainya kenapa Allah menciptakan lalat—setelah khalifah merasa terganggu oleh lalat yang hinggap di wajahnya, dan ia tidak bisa mengusirnya. Imam Ja'far menjawab, "Allah menciptakan lalat untuk menundukkan orang-orang yang angkuh."

Imam Ja'far Ash-Shâdiq tetap tinggal di Madinah. Ia terus mengajarkan ilmu kepada kaum muslimin dalam usianya yang telah melewati 60 tahun. Pada pada tahun 148 H., dalam usia 68 tahun, ia meninggal dunia. Khalifah Al-Manshûr sangat sedih dengan kematiannya. Ia berkata, "Telah meninggal dunia seorang pemimpin manusia, seorang ulama, dan salah satu orang terbaik yang tersisa di dunia ini. Sesungguhnya Ja'far termasuk orang-orang yang disebutkan dalam firman Allah (yang artinya): 'Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.' [QS. Fâthir: 32]."

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

Artikel Terkait