Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Sejarah Islam
  5. Tokoh Islam
  6. Ulama

Ibnu Hajar Al-'Asqalâni

Ibnu Hajar Al-

Hari kematiannya benar-benar menjadi sebuah hari yang bersejarah. Jenazahnya diiringi oleh kumpulan manusia dalam jumlah yang luar biasa banyak, hanya Allah yang dapat menghitung-Nya. Nadi kehidupan nyaris benar-benar berhenti di Mesir ketika itu. Di barisan terdepan rombongan itu terdapat Sultan Mesir, Khalifah Dinasti Abbasiyah, para menteri, pangeran, serta para hakim dan ulama. Negeri-negeri Islam di berbagai pelosok dunia, seperti Mekah, Baitul Maqdis, Al-Khalil (Hebron), dan lain-lain mengadakan shalat ghaib untuknya. Para penyair meratapi kepergiannya dalam syair-syair mereka, dan para penulis mengungkapkan kesedihan mereka melalui buku-buku mereka.

Ia adalah Syaikhul Islâm Syihâbuddîn Abul Fadhl Ahmad ibnu Ali ibnu Muhammad Al-'Asqalâni yang lahir dan besar di Mesir, serta dikenal dengan nama Ibnu Hajar. Kata Hajar sendiri sebenarnya adalah gelar salah seorang kakeknya.

Ibnu Hajar lahir di Mesir, tepatnya di kota Fustat, pada tanggal 12 Sya'bân 773 H. Ia besar dalam keadaan yatim. Ibunya meninggal dunia sebelum ia sempat disapih dari menyusui. Ketika baru saja menginjak usia 4 tahun, bapaknya juga meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 777 H. Bapaknya mewariskan untuknya sejumlah harta yang meringankannya dalam memikul beban hidup dan meneruskan perjuangan menuntut ilmu.

Setelah bapaknya meninggal dunia, ia diasuh oleh Zakiyuddin Al-Kharûbi, seorang saudagar besar Mesir. Al-Kharûbi inilah yang kemudian mendidik dan membesarkannya.

Sebelum berusia 9 tahun, Ibnu Hajar sudah hafal Al-Quran dengan tajwidnya. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 784 H., Al-Kharûbi membawa serta Ibnu Hajar yang baru berusia sekitar 12 tahun untuk belajar hadits Nabi yang mulia kepada para ulama Mekah.

Ketika kembali ke Kairo, ia belajar kepada banyak ulama besar zaman itu, seperti Sirâjuddîn Ibnul Mulaqqin, Al-Balqîni, Al-'Izz ibnu Jamâ'ah, dan Syihâb Al-Bûshairi. Setelah itu, Ibnu Hajar melanjutkan perjalanan belajarnya ke negeri Syam, Hijâz, dan Yaman. Di sana, ia belajar kepada Majduddîn Asy-Syîrâzi. Ia juga belajar bahasa Arab (Kamus Al-Muhîth) kepada pengarangnya secara langsung. Namun Ibnu Hajar merasa lebih suka belajar hadits Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Ia pun mentelaah dan membaca berbagai masalah seputar hadits dengan sungguh-sungguh.

Sebagian besar gurunya memberinya izin untuk meriwayatkan hadits, berfatwa, dan mengajar. Ia memiliki banyak halaqah (forum) pengajian yang dihadiri oleh para ulama di tempat mana pun yang ia kunjungi. Ia pun kemudian berhasil mencapai level tertinggi dalam ilmu hadits di seluruh dunia. Ketenarannya tersebar ke seluruh pelosok. Dan para ulama dari seluruh penjuru dunia Islam berdatangan kepadanya.

Ilmunya yang luas telah memberinya peluang untuk menduduki banyak jabatan penting. Ia mengajar hadits dan tafsir di Madrasah Al-Husainiyah, Al-Manshûriyah, Al-Jamâliyah, Asy-Syaikhûniyah, Ash-Shâlihiyyah, dan berbagai madrasah terkenal lainnya yang ada di Mesir. Ia juga menjabat sebagai guru besar Madrasah Beibers, mufti di kantor pengadilan, serta hakim di pengadilan. Ia menjabat sebagai hakim selama lebih kurang 20 tahun. Semua kalangan bersaksi bahwa ia adalah seorang yang adil dan bijaksana. Di samping itu, ia juga bertugas sebagai khatib di mesjid Al-Azhar, kemudian mesjid Amru Ibnul 'Âsh.

Di antara kebiasaan Ibnu Hajar adalah mengkhatamkan bacaan kitab Shahîh Al-Bukhâri di hadapan murid-muridnya pada bulan Ramadhan, lengkap dengan penjelasan dan penafsirannya. Malam khataman Shahîh Al-Bukhâri itu selalu semarak bagaikan hari raya. Malam itu dihadiri oleh para ulama, serta murid-murid dan penuntut ilmu. Sebagai mahkota cintanya terhadap Shahîh Al-Bukhâri, Ibnu Hajar menulis sebuah kitab syarahnya yang ia beri nama Fathul Bâri bi Syarhi Shahîhil Bukhâri. Kitab ini ia tulis selama seperempat abad, sejak tahun 817 H. sampai awal bulan Rajab 842 H.

Seperti dituturkan oleh muridnya, Imam As-Sakhâwi, kita ini tidak ada tandingannya. Kitab Fathul Bâri tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan dicari oleh para raja di berbagai daerah. Pada zaman itu, kitab ini dijual seharga 300 dinar.

Allah mentakdirkan Ibnu Hajar menjadi sosok yang diterima pada zamannya. Orang-orang begitu mencintainya, baik para ulama maupun orang awam, baik orang dewasa maupun anak keci, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan orang-orang Nasrani pun mencintainya. Hal itu disebabkan oleh akhlaknya yang mulia dan kepribadiannya yang luhur. Ia mendahulukan sifat lemah lembut, serta senantiasa santun dan menahan amarah dalam menangani semua perkara.

Salah seorang muridnya pernah berkata, "Semua itu dibarengi dengan sifat tawadhuknya yang luar biasa, kesabaran dan wibawanya, kehati-hatiannya memilih makanan, minuman, dan pakaiannya, begitu juga puasanya, qiyâmullail-nya, kedermawanannya, interaksinya yang baik, ceramahnya yang bermanfaat, akhlaknya yang disenangi, kecintaanya kepada orang-orang baik, sikap objektifnya dalam karya-karyanya, kesediaannya untuk rujuk kepada kebenaran, dan berbagai sifat lainnya yang tidak terdapat dalam diri seorang pun pada masanya."

Ibnu Hajar telah mewariskan kepada buku-buku karyanya yang berjumlah lebih dari 150 buku, di antaranya:

- Fathul Bâri bi Syarhi Shahîhil Bukhâri;

- Tahdzîbut Tahdzîb, tentang biografi perawi hadits;

- Bulûghul Marâm min Adillatil Ahkâm, tentang fikih;

- Al-Ishâbah fî Tamyîzis Shahâbah, tentang profil para shahabat Rasulullah;

- Ad-Durarul Kâminah, tentang biografi para tokoh abad kedelapan hijriah;

- Al-Qawlul Musaddad Fidz Dzabbi 'An Musnadil Imâmi Ahmad;

- Dan buku-buku lainnya.

Pada malam Sabtu, 28 Dzulhijjah tahun 152 H., Syaikhul Islâm Ibnu Hajar Al-Asqalâni, sang pembawa bendera sunnah itu menghembuskan nafas terakhirnya untuk menghadap Allah—Subhânahu wata`âlâ.

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

Artikel Terkait