Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Sejarah Islam
  5. Tokoh Islam
  6. Ulama

Abdullah Ibnul Mubârak

 Abdullah Ibnul Mubârak

Abdullah Ibnul Mubârak dilahirkan di kota Maru (Merv) pada tahun 118 H. Ia tumbuh besar di tengah para ulama dengan pendidikan yang baik. Ia pun menghafal Al-Quranul Karim, mempelajari bahasa Arab, menghafal banyak hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, dan mempelajari fiqih. Allah mengaruniakan kepadanya hafalan yang kuat sejak ia masih kecil. Ia sangat cepat menghafal, dan tidak mudah lupa apa yang sudah dihafalnya. Salah seorang kerabatnya, Shakhar Ibnul Mubârak berkata, "Ketika kami masih anak-anak dan belajar bersama, aku dan Ibnul Mubârak lewat di dekat seseorang yang sedang berceramah. Ceramahnya panjang. Setelah laki-laki itu menyudahi ceramahnya, Ibnul Mubârak berkata kepadaku, 'Aku sudah hafal ceramah orang itu'. Seorang laki-laki yang ada di sana berkata, 'Coba perdengarkan pada kami, jika benar engkau telah hafal seperti yang engkau katakan'. Ibnul Mubârak lalu mengulangi ceramah orang tadi tanpa salah satu kata pun."

Ketika berusia 23 tahun, Abdullâh Ibnul Mubârak bertualang ke negeri-negeri Islam yang luas untuk menuntut ilmu. Ia pergi ke Iraq, Hijaz, dan negeri-negeri lainnya. Ia bertemu dengan banyak ulama besar pada zaman itu, serta belajar hadits dan fiqih kepada mereka. Ia menemui Imam Mâlik ibnu Anas, Sufyân Ats-Tsauri, Abû Hanîfah An-Nu`mân. Semakin bertambah luas ilmunya, Abdullâh Ibnul Mubârak semakin takut kepada Allah dan semakin zuhud kehidupannya. Jika dibacakan kepadanya buku tentang nasihat mengenai Akhirat, Surga, Neraka, atau situasi ketika manusia dihisab di hadapan Allah, ia akan menangis keras, tubuhnya gemetar, sendi-sendinya bergoncang, dan tidak ada orang yang bisa berbicara dengannya.

Abdullâh Ibnul Mubârak berhasil mendapatkan banyak harta dari perdagangannya. Ia memberi kita sebuah pelajaran tentang perilaku seorang muslim yang benar. Salah seorang temannya yang bernama Abû Ali pernah datang kepadanya. Saat itu, ia mengira bahwa antara hidup zuhud dan berdagang tidak bisa disatukan. Ia pun berkata kepada Abdullâh Ibnul Mubârak, "Engkau menyuruh kami hidup zuhud, tapi kami lihat engkau membawa barang dari Khurasan ke tanah Haram. Bagaimana ini?" Abdullâh Ibnul Mubârak menjawab, "Wahai Abû Ali, aku melakukan ini adalah untuk menjaga mukaku, memelihara kehormatanku, dan membantuku dalam menaati Tuhanku. Sehingga ketika aku melihat ada hak Allah yang harus ditunaikan, aku bisa bersegera menunaikannya."

Abdullâh Ibnul Mubârak tidak pernah pelit memberikan hartanya kepada siapa pun. Ia selalu murah hati dan dermawan. Setiap tahun ia bersedekah kepada fakir miskin sebanyak 100.000 dirham. Ia menafkahi para penuntut ilmu dengan sangat dermawan, sehingga ia menuai kritikan karena itu. Namun kritikan itu ia jawab dengan berkata, "Aku mengetahui tempat orang-orang yang memiliki kemuliaan dan kejujuran. Mereka belajar hadits dengan tekun, karena manusia memang membutuhkan mereka. Mereka berada dalam keadaan membutuhkan (secara ekonomi). Jika kita membiarkan mereka, ilmu mereka akan hilang sia-sia. Namun jika kita bantu mereka, mereka akan menyebarkan ilmu untuk umat Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam. Dan sepengetahuanku, tidak ada yang lebih baik setelah kenabian selain menyebarkan ilmu."

Ibnul Mubârak adalah seorang yang sangat mencintai kota Mekah. Ia sering mengunjunginya untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah. Di samping itu, ia juga adalah seorang yang suka berjihad di jalan Allah dengan pedangnya. Bahkan tidak jarang ketika orang mengunjunginya untuk mendengarkan ilmu, ia sedang berada di medan perang. Menurutnya, jihad adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh Baginda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam.

Abdullâh Ibnul Mubârak juga sangat mencintai hadits-hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Ia tidak bersedia menjawab pertanyaan orang yang bertanya tentang sebuah hadits, sementara ia sedang berjalan. Ia berkata kepada orang yang bertanya, "Cara seperti ini tidak menghormati ilmu."

Jika terjadi perbedaan tentang sebuah hadits di antara para hâfizh hadits di Kufah, mereka biasanya berkata, "Mari kita pergi menghadap kepada si dokter (maksud mereka adalah Abdullâh Ibnul Mubârak)."

Pada suatu ketika, teman-temannya berkumpul dan berkata, "Mari kita hitung sisi-sisi kebaikan Abdullâh Ibnul Mubârak." Mereka lalu menyebutkan sifat-sifat kebaikannya: penuntut ilmu, pakar fiqih, hadits, nahwu, bahasa Arab, serta syair, juga fasih, zuhud, warak, objektif, rajin shalat malam dan ibadah, mahir menunggang kuda, berani, berbadan kuat, tidak berbicara yang tidak perlu, dan sebagainya, sampai mereka lelah menghitungnya.

Kaum muslimin sangat menghormati Abdullâh Ibnul Mubârak. Wibawanya di mata mereka melebihi wibawa Khalifah Hârûn Ar-Rasyîd. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa suatu ketika, Hârûn Ar-Rasyîd datang ke Ar-Raqqah. Ia melihat orang berbondong-bondong di belakang Abdullâh Ibnul Mubârak untuk melihat dan menyalaminya. Istri Hârûn Ar-Rasyîd melihat hal itu dari jendela istananya, lalu bertanya, "Siapa itu?" Orang-orang yang ada di sana menjawab, "Seorang ulama Khurasan datang ke Ar-Raqqah. Namanya Abdulâh Ibnul Mubârak." Istri Hârûn pun berkata, "Demi Allah, inilah seorang raja sejati, bukan Raja Hârûn yang tidak bisa mengumpulkan orang kecuali dengan polisi dan para pembantunya."

Pada bulan Ramadhân tahun 181 H., Abdullâh Ibnul Mubârak meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari peperangan. Saat itu ia berusia 63 tahun. Ketika mendengar berita kematiannya, Hârûn Ar-Rasyîd berkata, "Penghulu para ulama telah meninggal dunia hari ini."

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

Artikel Terkait