Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Akhlak Tercela

Lalai Dalam Menjalankan Amal Ibadah Sehari-hari (Bag. 1)

Lalai Dalam Menjalankan Amal Ibadah Sehari-hari  (Bag. 1)

Lupa kepada Kematian dan Berbagai Kesulitan yang Akan Dihadapi Setelahnya

Lupa kepada kematian dan berbagai kecemasan serta kesulitan yang akan dijalani setelahnya bisa menjadi penyebab munculnya kelalaian dalam melakukan ibadah sehari-hari. Setiap manusia pasti kelak akan menjadi mayat, sepanjang apa pun umurnya. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya):

· "Setiap jiwa (diri) pasti akan merasakan kematian." [QS. Âli `Imrân: 185]

· "Kami tidak menjadikan hidup itu abadi bagi seorang manusia pun sebelum engkau (Muhammad), maka jikalau engkau mati, apakah mereka akan kekal?" [QS. Al-Anbiyâ': 34]

Kematian itu bahkan lebih dekat kepada diri manusia daripada tali sandal yang ia kenakan. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar. Lalu mereka tidak kuasa membuat suatu wasiat pun dan tidak (pula) dapat kembali kepada keluarga mereka." [QS. Yâ Sîn: 49-50]

Setelah kematian itu, akan ada berbagai kesulitan dahsyat yang bahkan mampu membuat anak-anak beruban dan hati manusia terlepas dari tempatnya. Tidak ada jalan keselamatan dari semua itu kecuali dengan cara merutinkan amal ibadah sehari-hari.

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya):

· "Maka bagaimanakah kalian akan dapat memelihara diri kalian jika kalian tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban. Langit (pun) menjadi terpecah-belah pada hari itu. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana." [QS. Al-Muzzammil: 17];

· "Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian; sesungguhnya keguncangan hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat dahsyat. (Ingatlah) pada hari (ketika) kalian melihat keguncangan itu, lupalah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya, dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan engkau lihat manusia (seperti) dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras." [QS. Al-Hajj: 1-2];

· "Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari Kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. Orang-orang yang lalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya." [QS. Ghâfir: 18]

Orang yang lupa semua itu, sudah pasti akan ditimpa oleh penyakit kelalaian. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah berdiri di dekat sebuah kuburan seraya berkata, "Wahai saudara-saudaraku, persiapkanlah diri kalian untuk menghadapi masa-masa seperti ini."

Utsman—Semoga Allah meridhainya—apabila berdiri di dekat kuburan biasanya menangis, seraya berkata, "Sesungguhnya kuburan adalah tempat pertama dari rangkaian hari Akhirat. Jika seorang hamba selamat di kuburan ini, maka apa yang sesudahnya akan lebih mudah. Tapi Apabila tidak selamat di sana, maka apa yang setelahnya akan lebih dahsyat."

Merasa Telah Sempurna

Perasaan telah mencapai kesempurnaan juga bisa menjadi penyebab munculnya kelalaian dalam menjalankan amal ibadah sehari-hari. Karena manusia mungkin saja lupa kepada dirinya sendiri, juga lupa bahwa betapa pun ia beramal dan beribadah siang dan malam, sesungguhnya ia belum akan sanggup mensyukuri satu nikmat pun dari sekian banyak nikmat Allah pada dirinya. Sifat lupa ini bersama faktor-faktor lainnya membawa ia merasa telah mencapai titik kesempurnaan. Ketika itu, muncullah kelalaian dalam menjalankan amalan harian.

Barangkali inilah yang bisa kita pahami dari sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sementara orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya, lalu berangan-angan mendapatkan karunia Allah."

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Hitunglah (amal) diri kalian sebelum kelak kalian dihitung (di hadapan Allah), dan berhiaslah untuk menghadapi hari Kiamat. Sesungguhnya perhitungan hari Kiamat akan ringan bagi orang yang senantiasa menghitung dirinya di dunia."

Maimun ibnu Mahrân juga pernah berkata, "Seorang hamba tidak akan menjadi bertakwa sampai ia menghitung dirinya sebagaimana ia menghitung teman (kongsi) usahanya dari mana makanan dan pakaiannya."

Banyaknya Beban dan Kewajiban

Banyaknya beban dan kewajiban juga mungkin dapat membawa kepada kelalaian dalam menjalankan amalan sehari-hari. Karena di saat pekerjaan menumpuk, beban dan kewajiban begitu berat, manusia terkadang melalaikan ibadah hariannya dengan alasan sempitnya waktu di tengah tuntutan berbagai kewajiban. Ia melakukan itu karena lupa atau pura-pura lupa bahwa bekalnya untuk bisa keluar dari semua tuntutan itu justeru terletak pada kontinyuitasnya melakukan ibadah sehari-hari. Karena waktu, kemampuan, dan kesempatan adalah milik Allah, semuanya ada ada di tangan Allah. Ketika Allah melihat hamba-Nya mau menghadapkan diri serta menikmati saat-saat ibadah dan zikir mengingat-Nya, niscaya Allah akan menganugerahkan kepada sang hamba keberkahan waktu, kekuatan obsesi, keteguhan meraih tekad, dan kebenaran pikiran.

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya):

· "Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan tambahkan petunjuk untuk mereka dan memberikan ketakwaan kepada mereka." [QS. Muhammad: 17];

· "Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan memberikan untuknya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah membuat ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." [QS. Ath-Thalâq: 2-3]

Menunda-nunda Aktivitas

Sikap menunda-nunda pekerjaan juga dapat menjadi penyebab kelalaian seseorang dalam menjalankan ibadah hariannya. Karena siapa yang biasa menunda-nunda pekerjaannya pasti akan dihimpit oleh berbagai kewajiban dan beban yang terus menumpuk. Dan ketika ia ingin lepas dari himpitan itu, ia terlanjur merasakan semuanya sudah menjadi berat dan sulit. Di saat itu, tidak ada lagi yang akan lahir kecuali kelalaian dan pengabaian. Barangkali inilah maksud dari sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Bersegeralah melakukan amal kebaikan sebelum datang tujuh perkara; apakah kalian menunggu miskin yang melupakan, atau kaya yang menimbulkan kesombongan, atau sakit yang merusak, atau tua renta yang melemahkan, atau kematian yang menyudahi segala sesuatu, atau Dajjal yang merupakan sejelek-jelek makhluk yang ditunggu, atau hari Kiamat yang sangat berat dan menakutkan."

Para shahabat—Semoga Allah meridhai mereka—sangat menyadari hal ini. Mereka pun begitu hati-hati dalam menggunakan kesempatan dan memanfaatkan umur sebelum semuanya berlalu. Cukuplah di sini kita menyimak ucapan Umar—Semoga Allah meridhainya, "Tanda kekuatan diri itu adalah bahwa engkau tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok."

Menyaksikan Sosok Teladan yang Sedang Berada Dalam Kondisi Lalai

Terakhir, menyaksikan orang-orang yang biasa menjadi teladan sedang berada dalam kondisi lalai juga dapat menyebabkan manusia tidak kontinyu dalam menjalankan ibadah hariannya. Karena seorang muslim terkadang memandang orang-orang yang menjadi teladan sebagai manusia istimewa yang tidak mungkin dihinggapi kelalaian dan kekurangan. Sehingga ketika muncul dari mereka atau dari sebagian mereka satu kelalaian, pandangan seperti ini mungkin membawanya untuk meniru mereka. Ia lupa bahwa tidak ada konsep yang membolehkan taat dan meniru perilaku maksiat (dosa). Meniru dan taat hanya boleh dilakukan dalam hal-hal yang baik.

Barangkali inilah faktor yang membuat Islam sangat tegas melarang umatnya melakukan dosa secara terang-terangan. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Semua umatku diampuni kecuali orang yang terang-terangan (dalam melakukan maksiat). Dan termasuk perilaku terang-terangan melakukan maksiat adalah ketika seorang melakukan (maksiat) pada malam hari, dan Allah telah menutupinya, kemudian ia malah berkata, 'Wahai fulan, tadi malam aku telah melakukan begini dan begini'. Allah telah menutupi (aib)-nya pada malam itu, tetapi ia sendiri justeru membukanya pada pagi harinya."

Nabi juga telah memberi arahan agar umat Islam mencontoh orang-orang shalih, tapi tidak menjadikan kesalahan mereka sebagai justifikasi atas kesalahannya. Dalam arahan ini barangkali dapat dilihat sebuah usaha untuk mengantisipasi keinginan sebagian orang yang digoda oleh nafsunya agar mencontoh orang lain yang melakukan kesalahan. Karena tidak ada konsep meneladani dalam keburukan, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Janganlah kalian menjadi orang yang hanya ikut-ikutan. Ia berkata, 'Aku ikut bersama orang banyak. Jika mereka melakukan kebaikan aku pun akan melakukan kebaikan, dan jika mereka melakukan kejahatan aku pun akan melakukan kejahatan'. Tetapi tanamkanlah di dalam diri kalian, bahwa jika orang-orang melakukan kebaikan kalian juga akan melakukan kebaikan, tapi jika mereka berbuat jahat kalian akan menjauhi kejahatan mereka itu."

Terakhir, kelalaian dalam menjalankan amal ibadah harian memiliki pengaruh yang besar dan sangat buruk terhadap pribadi dan kerja-kerja dakwah. Tentang hal ini, insyâallâh akan kita bicarakan pada artikel mendatang.

Walhamdulillâhi Rabbil 'âlamîn

Artikel Terkait