Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Akhlak Tercela

Syamâtah (Merasa Senang dengan Musibah yang Menimpa Orang Lain)

Syamâtah (Merasa Senang dengan Musibah yang Menimpa Orang Lain)

Islam sangat menekankan pendidikan umatnya di atas nilai-nilai persaudaraan, dan persatuan, serta mewanti-wanti mereka dari segala hal yang bertentangan, atau melonggarkan keteguhan ikatan ini. Di antara perilaku buruk yang dapat membahayakan tali ikatan ini adalah perasaan senang seorang muslim dengan musibah yang menimpa saudaranya sesama muslim, baik musibah itu menimpa dunianya, ataupun agamanya. Perilaku inilah yang disebut dengan syamâtah.

Dengan demikian, perilaku syamâtah sangat tidak patut bagi seorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim selamanya. Bahkan ia adalah sifat musuh yang diwanti-wanti oleh Allah dengan firman-Nya (yang artinya): "Jika kalian memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kalian mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepada kalian. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan." [QS. Âli `Imrân: 120]. Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga berfirman (yang artinya): "Jika kalian mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kalian ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata, 'Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi perang)' dan mereka berpaling dengan rasa gembira." [QS. At-Taubah: 50]

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—sendiri selalu memohon perlindungan kepada Allah dari syamâtah para musuh. Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memohon perlindungan kepada Allah dari beratnya bencana, tertimpa kesengsaraan, takdir yang buruk, dan syamâtah para musuh." [HR. Al-Bukhâri]

Termasuk salah satu hal yang penting dalam masyarakat muslim adalah mendidik anak-anak mereka agar merasa gembira dengan kegembiraan saudara-saudaranya sesama muslim, serta turut bersedih dengan kesedihan yang menimpa mereka. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah menetapkan hukuman bagi siapa saja yang bersifat syamâtah terhadap saudaranya berupa bencana yang setara dengan sebab syamâtah-nya. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Janganlah kamu memiliki sifat syamâtah terhadap saudaramu, shingga Allah merahmati ia, dan menguji kamu." [HR. At-Tirmîdzi: hasan gharîb]

Di antara syamâtah yang dicela oleh syariat adalah seorang hamba yang telah bertaubat dari dosa, lalu datanglah saudaranya, dan mencelanya dengan dosa itu. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah melarang perbuatan ini dengan sabdanya, "Barang siapa yang mencela saudaranya dengan suatu dosa, maka ia tidak akan mati sampai ia sendiri melakukan dosa itu." [HR. At-Tirmîdzi: hasan gharîb]. Kalaulah syamâtah tidak memiliki bahaya selain bahwa ia dapat mendatangkan murka Allah—Subhânahu wata`âlâ, dan menyebabkan diangkatnya sifat rahmat (kasih sayang) dari hati orang yang memiliki sifat syamâtah, niscaya cukuplah hal itu sebagai alasan larangan untuk mendekatinya. Lalu, bagaimana jika bahayanya lebih dari itu? Karena sifat ini dapat melahirkan permusuhan, dan meretakkan hubungan masyarkat, serta dapat mengantarkan pemiliknya kepada bencana.

Artikel Terkait