Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Islam
  5. Puasa

Mengunjungi Orang yang Sedang Beriktikaf

Sebuah hadits diriwayatkan dari Shafiyyah bintu Huyaiy—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, "Suatu ketika Rasulullah sedang beriktikaf. Lalu aku datang untuk mengunjungi beliau dan berbicara dengan beliau. Setelah itu aku berdiri dan berbalik keluar. Beliau pun ikut berdiri dan mengantarku keluar—tempat tinggal Shafiyyah adalah rumah Usâmah ibnu Zaid. Saat itu lewatlah dua orang laki-laki dari kaum Anshâr. Ketika mereka melihat Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam, mereka mempercepat langkah. Lalu Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—bersabda, 'Pelan-pelanlah, sesungguhnya ia adalah Shafiyyah bintu Huyaiy (istri beliau)'. Mereka pun menjawab, 'Subhânallah, wahai Rasulullah, (kami tidak mungkin berprasangka buruk)!' Beliau kemudian bersabda, 'Sesungguhnya Syetan mengalir dalam diri manusia melalui aliran darah, dan aku khawatir ia membisikkan keburukan (atau sesuatu) ke dalam hati kalian'." Dalam riwayat lain disebutkan: "Sesungguhnya Syetan dapat melakukan sesuatu terhadap manusia seperti yang dilakukan oleh darah." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Sementara itu dalam versi lain, hadits ini diriwayatkan dari Ali ibnu Al-Husain—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, "Suatu ketika Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—berada di mesjid bersama istri-istri beliau. Kemudian mereka semua beranjak pergi. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—kemudian bersabda kepada Shafiyyah bintu Huyaiy, 'Jangan terburu-buru supaya aku bisa keluar bersamamu'—tempat tinggal Shafiyyah adalah di rumah Usâmah. Lalu Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—keluar bersamanya, dan ketika itu ada dua orang dari kaum Anshâr berpapasan dengan beliau. Mereka memandang kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—lalu mempercepat langkah. Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—bersabda kepada mereka, 'Kemarilah kalian, sesungguhnya ia (perempuan yang bersamaku) adalah Shafiyyah bintu Huyaiy'. Mereka menjawab, 'Subhânallah, wahai Rasulullah (kami tidak mungkin berburuk sangka)'. Beliau bersabda, 'Sesungguhnya Syetan mengalir dalam diri manusia melalui aliran darah, dan aku khawatir ia membisikkan sesuatu ke dalam hati kalian." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Kandungan dan Hukum-hukum dalam Hadits

Pertama: Hadits ini menunjukkan kasih sayang Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—terhadap umat beliau, perhatian beliau terhadap kemaslahatan mereka, serta arahan beliau kepada mereka untuk sesuatu yang dapat menjaga hati mereka. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—khawatir Syetan membisikkan ke dalam hati kedua laki-laki tersebut prasangka buruk terhadap beliau, sementara berprasangka buruk kepada para Nabi adalah suatu tindakan kekufuran. [Syarhun Nawawi]

Imam Asy-Syafi`i—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—mengatakan hal itu kepada mereka berdua, karena beliau khawatir mereka terjatuh ke dalam kekufuran jika berprasangka buruk kepada beliau. Oleh karena itu, beliau segera memberitahu mereka, sebagai nasihat bagi mereka sebelum Syetan membisikkan ke dalam diri mereka suatu prasangka yang berpotensi mencelakakan mereka." [Fathul Bâri]

Kedua: Dibolehkan mengunjungi orang yang sedang melakukan iktikaf. Dibolehkan pula bagi seorang istri untuk mengunjungi serta berbicara dengan suaminya yang sedang beriktikaf di mesjid, baik siang maupun malam hari. Hal itu tidak merusak nilai iktikafnya. Akan tetapi melakukan hal itu terlalu sering dapat mengganggu ibadah, dan bisa saja mengakibatkan timbulnya perbuatan yang dapat membatalkan iktikaf, seperti tergoda untuk berhubungan badan dengan sang istri.

Ketiga: Wajib bagi setiap muslim untuk menjaga dirinya dari tempat-tempat yang berpotensi mendatangkan tuduhan buruk serta lokasi-lokasi yang meragukan. Jika ia khawatir akan ada prasangka buruk dari orang lain, hendaklah ia memberi penjelasan yang dapat menghilangkan prasangka itu. Terutama bagi para ulama dan orang-orang shalih yang menjadi teladan banyak orang. Mereka tidak boleh melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan prasangka buruk terhadap diri mereka, walaupun mereka memiliki alasan untuk itu. Karena hal itu dapat menjadi sebab orang-orang tidak mau mengambil manfaat dari ilmu mereka.

Termasuk ke dalam hal ini adalah keharusan seorang hakim memberi keterangan yang jelas kepada penerima vonis hukum tentang vonis yang ia terima, guna menepis tuduhan ketidakadilan dalam memutuskan hukum.

Keempat: Kewajiban berhati-hati menghadapi berbagai tipu daya Syetan. Karena ia mengalir dalam diri anak Adam melalui aliran darah.

Kelima: Dibolehkan mengucapkan tasbîh (lafaz: subhânallah [maha suci Allah]) karena kagum atau takjub terhadap sesuatu. Dalam ayat tentang Hâditsatul Ifki (kisah tentang tuduhan dusta terhadap Aisyah—Semoga Allah meridhainya) di dalam Al-Quran disebutkan: "Maha Suci Engkau, sesungguhnya hal ini adalah fitnah yang besar." [QS. An-Nûr: 16]

Keenam: Dibolehkan bagi seseorang yang sedang beriktikaf untuk melakukan perkara-perkara mubâh (yang dibolehkan), seperti mengantar dan berdiri bersama orang yang mengunjunginya, berbicara dengan orang lain, dan lain sebagainya. Akan tetapi hendaknya tidak memperbanyak melakukan hal-hal seperti itu.

Ketujuh: Dibolehkan bagi orang yang sedang beriktikaf untuk mengajar dan menghadiri ceramah, mencatat perkara-perkara Agama, dengan syarat tidak sering melakukannya. Karena tujuan iktikaf adalah mengkhususkan waktu untuk melakukan ibadah-ibadah mahdhah (murni ibadah).

Kedelapan: Dibolehkan bagi orang yang sedang melakukan iktikaf untuk membeli kebutuhannya ketika beriktikaf, seperti makanan dan sejenisnya.

Kesembilan: Dibolehkan bagi seorang yang sedang beriktikaf untuk berduaan dengan istrinya dengan menghindari hubungan badan.

Kesepuluh: Dibolehkan bagi perempuan untuk keluar rumah pada malam hari jika terjamin keamanan dirinya.

Kesebelas: Dibolehkan mengucapkan salam kepada laki-laki yang sedang bersama dengan istrinya, karena dalam beberapa riwayat seputar hadits ini disebutkan bahwa kedua laki-laki tersebut mengucapkan salam kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam, dan beliau tidak mengingkari perbuatan mereka itu.

Kedua belas: Dibolehkan bagi seseorang yang sedang bersama istrinya atau mahramnya untuk berbicara dengan laki-laki lain, terutama ketika orang tersebut memiliki keperluan, seperti menjelaskan hukum Agama, mencegah terjadinya keburukan, dan sejenisnya. Dan hal tersebut tidaklah mengurangi kehormatan dirinya.

Ketiga belas: Dibolehkan bagi seseorang yang sedang beriktikaf untuk menepis prasangkan buruk orang lain terhadap dirinya dengan perkataan dan keterangan seperti yang dilakukan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam. Orang yang sedang beriktikaf dibolehkan membela dirinya secara langsung dari orang yang ingin mencelakainya. Sebab, orang yang beriktikaf tidak lebih formal daripada orang yang shalat. Jika orang yang sedang shalat saja dibolehkan untuk membela dirinya ketika ada orang yang lewat di hadapannya, tentu hal itu lebih boleh bagi orang yang sedang beriktikaf. Ia boleh membela diri dengan menggunakan tangan dari tindakan orang yang ingin mencelakainya, dan hal itu tidaklah membatalkan iktikafnya.

Keempat belas: Hadits ini mengandung perintah untuk bersikap tenang dan tidak terburu-buru dalam segala hal apabila tidak dalam keadaan terpaksa. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—kepada dua orang shahabat tadi, "Perlahan-lahanlah!"

Kelima belas: Hadits ini menunjukkan keadilan Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—terhadap para istri beliau. Para istri beliau menjenguk beliau ke tempat iktikaf beliau. Ketika mereka hendak pergi, beliau berkata kepada Shafiyyah, "Jangan terburu-buru." Perintah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—agar Shafiyyah tetap tinggal bersama beliau sesaat lebih lama adalah karena Shafiyyah datang lebih lambat dari istri-istri yang lain. Rasulullah memerintahkannya untuk tinggal sejenak agar ada kesamaan waktu antara para istri itu untuk duduk bersama beliau. Alasan lain adalah bahwa rumah para istri yang lain lebih dekat dari rumah Shafiyyah, sehingga Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—khawatir ia tertimpa bahaya. Demikianlah, setiap muslim harus bersikap adil terhadap para istrinya, serta selalu menjaga dan memperhatikan mereka.

Artikel Terkait