Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. KELUARGA DAN MASYARAKAT
  4. Anak-Anak

Metode Mendidik Anak (Bag. 1)

Metode Mendidik Anak (Bag. 1)

Anak-anak adalah buah hati kita. Bagaimana kita mendidik mereka secara benar, sehingga menjadikan mereka sebagai individu-individu yang baik serta bermanfaat bagi agama dan bangsa mereka?

Tugas mendidik bukanlah tugas yang mudah, justru merupakan tugas yang sangat sulit dan berat bagi ayah dan ibu. Oleh karena itu, beberapa universitas di Barat membuka pintu pendaftaran bagi para ayah dan ibu untuk mempelajari seni mendidik!!

Jika pendidikan anak telah menjadi sebuah cabang ilmu yang telah diakui di banyak universitas di dunia, maka Islam sesungguhnya telah mendahului universitas-universitas tersebut dalam hal ini. Islam telah meletakkan garis-garis besar pendidikan anak yang efektf mengembangkan bakat dan mendidik akhlak mereka.

Mungkin ada ibu muslimah yang bertanya: Apa dasar-dasar pondasional yang dapat saya jadikan pijakan dalam mendidik anak-anak saya?

Jawabannya, ada beberapa metode yang dapat diterapkan oleh ibu muslimah dalam mendidik anak-anaknya. Di antara metode tersebut adalah: metode qudwah (teladan yang baik), penghargaan dan hukuman, praktik, cerita, nasihat, dan perumpamaan.

Qudwah (Teladan)

Qudwah merupakan metode mendidik anak yang paling penting, karena anak memiliki kemampuan luar biasa dalam meniru dan memperagakan. Anak bagaikan sebuah "radar" yang dapat mendeteksi segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya, merekam semua tindakan yang dilakukan oleh ibunya dan orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, ibu memiliki tanggung jawab serius, yaitu harus berkomitmen di hadapan Allah—Subhânahu wata`âlâ—untuk menjadi teladan yang baik dan contoh mulia bagi anaknya. Karena gerak-geriknya, isyarat-isyaratnya, kata-katanya, dan sebagian besar perilakunya akan dimintai pertanggungjawaban. Jika anak melihat ibunya berdoa, berzikir, mengasihi kaum miskin, dan menyayangi kaum yang lemah, maka semua tindakan itu akan terpatri di dalam benaknya, dan ia pun akan berusaha meniru.

Ibu juga dapat mengajarkan kepada anaknya adab dan etika Islam melalui perilaku dan tindakannya di dalam dan di luar rumah. Jika ibu menggunakan tangan kanannya untuk mengambil dan memberi, dalam makan dan minum, serta membaca basmalah ketika hendak makan dan membaca hamdalah setelah selesai, maka anak pun akan berperilaku seperti perilaku ibunya itu.

Jika anak melihat ibunya sopan dalam berinteraksi dengan tetangga, ikut bergembira dengan kegembiraan mereka, ikut bersedih dengan kesedihan mereka, maka anak juga akan tumbuh dewasa dengan mencintai tetangganya dan berinteraksi dengan mereka secara baik.

Jika anak melihat ibunya mengenakan pakaian islami saat akan keluar rumah, maka si anak juga tidak akan merasa aneh dengan pakaian itu setelah dewasa kelak, sehingga ia akan komitmen dan disiplin memakainya.

Pendidikan dengan qudwah memang bukan tugas ibu semata. Akan tetapi peran ibu dalam hal ini memang paling vital dan paling berpengaruh dibandingkan para anggota keluarga yang lain.

Walau demikian, pendidikan dengan qudwah tidak akan bermanfaat kecuali jika seluruh anggota keluarga merupakan teladan mulia yang akan dicontoh oleh anak. Sebab jika tidak demikian, maka segala upaya ibu akan sia-sia belaka.

Anak tidak boleh sama sekali melihat perilaku ibunya bertentangan dengan perkataannya. Karena dengan demikian, ia berarti telah memberi contoh yang buruk kepada anak. Bagaimana mungkin seorang ibu menyuruh anaknya untuk berkata jujur sementara ia sendiri berbohong?! Atau menasihatinya untuk bersikap amanah, sementara ia sendiri menipu dan berkhianat?! Bagaimana mungkin ibu menyuruh anaknya untuk menjauhi kata-kata kotor, sementara kata-katanya sendiri kotor?! Seorang penyair berkata: "Akankah diharapkan dari seorang anak kesempurnaan (akhlak), sementara ia menyusu dari payudara perempuan yang kekurangan (buruk akhlaknya)."

Maka tidak ada faedah yang bisa diharapkan dari perkataan yang tidak diterjemahkan ke dalam perbuatan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan amal yang shalih, serta berkata: 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?'." [QS. Fushshilat: 33]

Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga berfirman (yang artinya): "Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar murka Allah bila kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan." [QS. Ash-Shaff: 2-3]

Akan tetapi, karena manusia adalah makhluk yang tidak akan terlepas dari kesalahan dan lupa, maka ibu harus mengikat anaknya dengan sosok teladan yang maksum. Teladan paling agung yang dijaga oleh Allah dari kesalahan. Dialah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat, dan ia banyak berzikir kepada Allah." [QS. Al-Ahzâb: 21]

Demikian pula, ibu harus bercerita kepada anaknya tentang generasi Salafushshâlih, tentang para istri Rasulullah, dan tentang para shahabat beliau, untuk merealisasikan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka." [QS. Al-An`âm: 90]

Sa`ad ibnu Abi Waqqâsh—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Kami mengajarkan kepada anak-anak kami (kisah-kisah) peperangan Rasulullah sebagaimana kami mengajarkan kepada mereka sebuah surat di dalam Al-Quran."

Ketika anak mendengarkan kisah-kisah kepahlawanan dan nilai-nilai akhlak yang disandang oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, serta para shahabat, dan tabi`in, niscaya kisah-kisah itu akan terpatri dalam ingatannya, sehingga ia akan tumbuh dewasa di atas mental keberanian dan ketangguhan.

Harus ada kerjasama yang baik antara keluarga dengan sekolah dalam mendidik anak menggunakan teladan yang baik. Pendidikan keluarga tidak akan berbuah jika lingkungan sekolahnya tidak baik, atau jika perilaku para guru tidak terpuji.

Ali ibnu Abi Thâlib—Semoga Allah meridhainya—pernah menjelaskan pengaruh qudwah dalam perilaku individu, dalam perkataannya, "Barang siapa yang menjadikan dirinya sebagai pemimpin bagi orang banyak, hendaklah ia memulai dengan mengajar dirinya sendiri sebelum mengajar orang lain. Hendaklah ia mendidik dengan perilakunya terlebih dahulu sebelum ia mendidik dengan lidahnya. Seorang yang menjadi guru dan pendidik bagi dirinya sendiri lebih layak dihormati daripada seorang guru dan pendidik manusia yang tidak mampu mengajar dan mendidik dirinya sendiri."

Ibu harus menyadari bahwa pendidikan dengan qudwah merupakan landasan utama dalam meluruskan perilaku anak dengan nilai-nilai dan etika Islam.

Artikel Terkait