Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Tokoh Islam

Yûsuf ibnu Tasyfîn

Yûsuf ibnu Tasyfîn

Pada pertengahan pertama abad ke-5 H., di ujung negeri bagian barat Arab, sekelompok orang berkumpul mengikuti seorang ulama dan faqih bernama Abdullâh ibnu Yâsîn. Mereka bersatu untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, serta menyebarkan ajaran Islam. Mereka dinamakan dengan kelompok mulatstsimûn (orang-orang yang bercadar), karena mereka selalu menutup wajah mereka. Dan itu merupakan tradisi yang mereka warisi dari generasi ke generasi. Ketika Abdullâh ibnu Yâsîn meninggal pada tahun 461 H. / 1068 M. dalam sebuah peperangan dengan bangsa Barghawata, ia digantikan oleh Abû Bakar ibnu Umar. Abû Bakar ibnu Umar kemudian menunjuk saudara sepupunya, Yûsuf ibnu Tasyfîn sebagai pemimpin kelompok bertopeng itu, karena ia sendiri sibuk berperang dan menumpas pemberontakan para penyembah berhala di bagian selatan negeri itu.

Yûsuf ibnu Tasyfîn memiliki sekumpulan sifat yang membuat ia dicintai banyak orang. Ia cerdas, tegas, dan pemberani, ditambah lagi dengan kemampuannya dalam memimpin serta wibawanya yang besar. Sifat-sifat itu membuat banyak orang tertarik untuk menjadi pengikutnya, menolongnya dalam menjalani operasi-operasi militer, menyebarkan Islam di wilayah Barat Jauh, serta membangun negara Murâbithîn. Ketika Abû Bakar ibnu `Umar selesai menumpas pemberontakan, ia melihat Yûsuf ibnu Tasyfîn telah memiliki kedudukan yang tinggi di tengah tentara dan rakyatnya. Oleh sebab itu, ia pun mengundurkan diri secara resmi sebagai raja, lalu mengukuhkan sepupunya itu sebagai penggantinya.

Yûsuf ibnu Tasyfîn memilih kota Marrakesh yang ia bangun untuk menjadi ibu kota negaranya pada tahun 465 H., sebagai titik tolak untuk menyatukan dan memadukan kabilah-kabilah di wilayah Barat Jauh di bawah kekuasaannya, sekaligus membangun sebuah negara yang kuat. Ia juga membuat kapal perang untuk merebut kawasan yang berbatasan dengan selat Jabal Tariq (Giblaltar), sehingga memudahkannya untuk menguasai kawasan tengah di wilayah barat itu. Ibnu Tasyfîn kemudian menjalin hubungan politik dengan para pemimpin negeri-negeri tetangganya. Ia juga membentuk sekelompok pengikut (pegawai) yang mengatur urusan negara, sehingga negaranya bercorak kerajaan.

Pada saat yang bersamaan, dinasti Andalusia sedang mengalami perpecahan di bawah pimpinan raja-raja wilayah yang sibuk menghadapi ancaman invasi kerajaan Kristen. Saat itu, para raja Kristen berhasil menghegemoni dan menuntut secara keras para gubernur muslim melakukan hal-hal yang tidak mampu mereka lakukan. Yûsuf selalu memikirkan kondisi kaum muslimin di Andalusia dan apa yang dilakukan oleh orang-orang Kristen terhadap mereka. Ia kemudian berdoa kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ, untuk minta petunjuk dan memohon pertolongan-Nya. Bila dipaksa untuk berbicara, ia mengatakan, "Aku adalah orang pertama yang maju untuk menolong Agama ini. Tidak ada yang memikul tugas ini selain aku."

Para pemimpin Andalusia meminta tolong kepada Ibnu Tasyfîn agar menyelamatkan mereka dari ancaman orang-orang Kristen. Yang paling terdepan meminta tolong kepadanya adalah Al-Mu`tamid ibnu `Abâd, gubernur wilayah Sevilla. Ibnu Tasyfîn kemudian menyiapkan pasukannya untuk memenuhi permintaan itu. Sebelum menyeberangi laut menuju Andalusia, ia mengangkat tangannya seraya berdoa, "Ya Allah, seandainya Engkau mengetahui bahwa dalam menyeberangi laut ini terdapat kebaikan bagi kaum muslimin, maka mudahkanlah kami dalam menyeberanginya. Namun seandainya tidak demikian, maka sulitkanlah jalan bagi kami sehingga kami tidak dapat menyeberanginya."

Lalu bertemulah pasukan kaum muslimin dengan pasukan Kristen yang dipimpin oleh Alfonso VI dalam perang Zallaqah pada tahun 480 H. / 1087 M. Pasukan Ibnu Tasyfîn mendapatkan kemenangan besar dalam pertempuran itu. Setelah meraih kemenangan itu, ia menyatukan wilayah Barat (Afrika) dengan Andalusia di bawah pemerintahannya. Tokoh-tokoh kerajaan Murâbithîn memandang apa yang telah dilakukan oleh Yûsuf adalah sesuatu yang luar biasa. Karena itu, mereka pun sepakat mendaulatnya seraya berkata, "Engkau adalah khalifah di wilayah Barat. engkau lebih besar daripada sekedar dipanggil sebagai seorang gubernur. Kami akan memanggilmu Amirul Mukminin." Namun ia menjawab, "Aku berlindung kepada Allah dari dipanggil dengan nama ini. Yang berhak mendapat panggilan ini hanyalah para khalifah. Sementara aku hanyalah seorang pekerja khalifah Dinasti Abbasiyah yang melakukan tugas dakwahnya di wilayah Barat ini." Mereka berkata, "Tapi engkau harus memiliki gelar yang membedakanmu dengan yang lain." Ibnu Tasyfîn kemudian berkata, "Kalau begitu, panggilah aku dengan Amirul Muslimin."

Setelah perang Zallaqah, raja-raja dan gubernur Andalusia yang ikut dalam perang itu membaiat Yûsuf ibnu Tasyfîn menjadi Amirul Muslimin. Mereka berjumlah 13 orang. Yûsuf berhasill menghentikan serangan pasukan Kristen dan mengembalikan tanah Andalusia yang mereka kuasai. Kekuasaannya semakin luas, mencakup Andalusia dan Barat Jauh. Pada masa pemerintahannya, negeri-negeri itu mengalami kemajuan yang gemilang.

Yûsuf kemudian menciptakan mata uang khusus. Dalam mata uang dinarnya tertulis kalimat: Lâ ilâha illallâh muhammadur rasûlullâh (Tiada tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah). Di bawahnya tertulis: Amirul Muslimin, Yûsuf ibnu Tasyfîn. Sedangkan dalam lingkarannya tertulis ayat (yang artinya): "Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan ia di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi." Lalu pada bagian sebelahnya tertulis: Amîr Hamba Allah, Amirul Mukminin Al-`Abbâsi. Dan dalam lingkarannya ditulis tanggal dan tempat pembuatan uang dinar itu.

Ibnu Tasyfîn adalah pribadi yang suka memaafkan dan dekat dengan para ulama. Jika ada ulama yang menasihatinya, ia selalu khusuk mendengarkan, hatinya akan demikian mudah tersentuh, dan itu terlihat dari gelagatnya. Ketika Imam Abû Hâmid Al-Ghazâli mengetahui sifat-sifat baiknya dan kecintaannya kepada para ulama itu, ia pun bertekad menemuinya. Namun ketika sampai di Alexandria, dan telah menyiapkan segala bekal yang dibutuhkan, ia mendapat kabar bahwa Ibnu Tasyfîn telah wafat. Imam Al-Ghazali pun mengurungkan kembali niatnya itu.

Yusuf ibnu Tasyfîn jatuh sakit pada tahun 498 H. Sakit inilah yang mengantarkannya ke gerbang kematian. Ia dikuburkan di kota Marrakesh.

Orientalis Joseph Ocbach berkata tentang Yûsuf Ibnu Tasyfîn, "Yûsuf merupakan salah seorang tokoh besar yang memperlihatkan betapa takdir telah memilih mereka untuk mengubah jalan peristiwa dalam bentang sejarah. Ia telah menebarkan sebuah semangat yang demikian kuat ke dalam diri kabilah-kabilah dan masyarakat yang ia pimpin, melalui berbagai aturan dan metode baru yang ia ciptakan. Semangat itu kemudian sukses menciptakan berbagai keajaiban."

Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat-Nya yang luas sebagai balasan atas apa yang telah ia dedikasikan untuk Islam dan kaum muslimin.

[Sumber: Ensikopedia Keluarga Muslim]

 

 

Artikel Terkait